“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 21…
.
.
Bagi yang belum baca Halaman sebelumnya bisa klik dibawah ini;
Sambungan dari Bag 20….
maka hentakkan kedua kaki ini bisa berbentuk hantaman sambil melompat tinggi, dan menghunjam ke bawah.
Kalau lawan masih tegak maka hantaman kaki itu menuju dadanya sambil melayang tinggi. Serangan beruntun dalam bentuk jurus rantai nan ampek ini amat ditakuti di daerah Padang dan Pariaman.
Suatu ilmu silat yang menjadi andalan pesilat pesilat di daerah Sungailimau, Sungairotan, Sungaigeringging dan Toboh. Suatu daerah yang terpisah di Pariaman, tetapi mempunyai induk silat yang satu. Yaitu silek rotan tuo di Korong Sungairotan.
Lawan datuk ini nampaknya cukup berisi. Dia tahu tendangan dengan kaki kanan itu adalah tendangan tipuan. Datuk Sipasan meneruskan serangannya dengan jurus pertama. Dia berputar sambil mencecahkan tangan ke tanah. Lalu kaki kirinya menyapu ke belakang, ke arah kaki lawan.
Lawannya cukup kaget melihat serangan yang ligat seperti gasing itu. Namun lelaki itu sempat mundur dua langkah. Dia terluput dari serangan. Tapi Datuk Sipasan memburu dengan serangan jurus kedua.
Begitu kaki kirinya tak mengenai sasaran, sebelum lawan sempat membuka serangan, Datuk ini melompat setinggi kepala, kemudian kaki kanannya menendang setengah putaran ke arah pangkal telinga lelaki itu.
Lelaki tersebut terkesiap kaget. Dia menunduk. Tendangan itu berdesing lewat tak sampai dua jari di atas kepalanya. Jurus kedua berakhir. Lelaki itu berniat membuka serangan, tapi Datuk Sipasan yang telah memijak lantai tiba tiba menunduk dan berbalik.
Lalu kaki kanannya dengan kecepatan kuat dan ligat, meluncur seperti peluru ke belakang. Daerah sasarannya adalah kerampang. Ketiga serangan ini benar benar berbahaya.
Jurus ketiga ini adalah cuek beleng yang umum terdapat dalam dunia persilatan di Minangkabau. Tapi karena dilakukan oleh seorang guru silat yang tangguh, maka tendangan itu bukan main berbahayanya.
Si lelaki yang berniat membuka serangan, terpaksa surut lagi dua langkah. Hampir saja dia terlambat. Kalau serangan itu mengenai kerampangnya, maka dia pasti berada di Yaumil Akhir dengan gelandut yang pecah. Kembali lelaki itu luput dari serangan.
Dan kini jurus keempat! Jurus terakhir! Begitu cuek belakangnya luput dari sasaran, Datuk Sipasan berputar cepat dan melambung tinggi serta menghunjamkan kedua kakinya ke arah dada lelaki berkeris dan bercelana kotok itu. Inilah jurus terakhir dari jurus rantai nan ampek itu!
Orang yang dia lawan itu ternyata luar biasa. Buktinya dia sanggup lepas dari tiga serangan terdahulu. Sementara di Pariaman, orang jarang yang luput dari serangan jurus pertama. Bukan karena jurus itu sulit, tapi karena dilakukan dengan cepat sekali setelah tendangan pancingan.
Yang utama dalam serangan ini adalah kecepatan. Kedua baru kekuatan. Kenapa kecepatan yang diutamakan? Karena keempat tendangan itu mengarah ke tempat yang amat berbahaya. Meski tanpa kekuatan sekalipun, artinya dengan tenaga biasa saja, maka serangan itu sudah cukup mematikan.
Kini serangan jurus keempat dilakukan oleh datuk ini dengan segenap kecepatan yang bisa dilakukan. Dan serangan ini memang luar biasa berbahayanya. Sehingga lelaki lawannya itu meski mundur tiga langkah, namun hujaman kedua kaki fatuk itu masih memburunya.
Dia sudah terkepere ke dinding, terjangan Datuk itu kini hanya sehasta dari dadanya. Tak ada jalan lain selain bergulingan ke lantai, dan melemparkan keris ke tubuh yang tengah memburunya itu.
Itulah gerakan yang masih bisa dia lakukan. Keris dia lemparkan dengan kuat dan serentak dengan itu dia menjatuhkan diri ke lantai. Datuk Sipasan berusaha mengelakkan keris yang menghujam ke arahnya itu. Namun karena dia berada dalam posisi melayang, keris itu menancap di perutnya.
Tapi saat yang sama, kedua kakinya mendarat di dada si lelaki yang tengah berusaha menggulingkan diri di lantai dalam usaha mengelakkan dirinya. Lelaki itu memang sempat berguling tapi tak sempat menggelinding menghindari injakan Datuk Sipasan.
Terdengar suara tulang dada remuk dan lelaki itu terlolong. Darah menyembur dari mulutnya tatkala kedua tumit datuk itu menghunjam ke dalam dadanya yang remuk. Mati!
Tetapi sebaliknya, Datuk itu jatuh terguling. Tubuhnya tiba tiba jadi lemah. Keris yang menancap di perutnya ternyata telah disepuh dengan sejenis racun yang berbisa. Tubuhnya terasa panas. Matanya berkunang kunang. Dari halaman dia dengar suara tangis anaknya.
Sedepa dari dirinya, isterinya kelihatan masih menelentang dengan kaki terbuka tanpa pakaian selembar pun. Di dekat pintu, dalam keadaan yang sama, tergolek tubuh Siti Nilam.
Sampai ajalku di sini…. desis datuk itu perlahan.
Dia berusaha memusatkan konsentrasi untuk menyalurkan tenaga dalam guna menahan mengalirnya bisa di pembuluh darahnya. Namun dia tak berhasil. Perkelahian yang melelahkan ini padahal terjadi tak sampai dalam waktu satu menit.
Memang tak sampai semenit. Dia hanya melakukan empat tendangan berantai yang cepat dalam jurus rantai nan ampek! Tapi, alangkah lamanya terasa. Datuk Sipasan yakin, dia takkan mampu menolong dirinya sendiri.
Karenanya kini dia merangkak ke arah tubuh isterinya. Jarak sedepa antara dia dan isterinya dia tempuh lebih dari dua menit. Dengan sisa tenaga, dia mengurut belakang telinga isterinya. Ketika isterinya mulai pulih jalan darahnya, datuk itu tersungkur dengan tubuh berpeluh dan muka mulai menghijau.
Isteri datuk itu segera arif akan bahaya yang mengancam diri suaminya. Sejak awal tubuhnya dipangku naik oleh bajingan itu tadi, dia sadar sepenuhnya. Dia dapat merasa sakit atau geli, tapi tak dapat melawan karena totokan itu. Dia dapat melihat perkelahian antara suaminya dengan kedua lelaki itu.
Kini dengan air mata membasahi pipi, dia menyambar kain panjangnya. Dengan melekatkan kain sekedarnya dia melompat turun. Menggendong kedua anaknya, lalu membawa naik ke rumah. Setelah meletakkan anak, dia mengurut tengkuk Siti Nilam.
Dan sebelum gadis ini sadar sepenuhnya, dia telah melompat turun. Kemudian bergegas ke tepi rimba di belakang rumah. Dari sana dia mengambil dua macam akar kayu, lalu empat macam dedaunan yang dia kenal sebagai ramuan obat.
Akar dan daun ini dia remas. Dia masih ingat cara pengobatan yang diajarkan oleh si Giring Giring Perak sebulan yang lalu di air terjun Anai tatakala mereka baru saja selamat dari serangan penyamun Bukit Tambuntulang.
Siti Nilam yang segera dapat bergerak, setelah melekatkan kain sekedarnya, langsung menendang kedua tubuh lelaki yang hampir saja menodai diri mereka itu. Begitu kakinya bergerak, tubuh lelaki itu bergantian terlambung ke bawah.
Bersambung ke Bag 22…