.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” ( Oleh; Makmur Hendrik) Bag 24…

.

.

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 23 dapat dibaca klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 23…

.

Sambungan dari Bag 23…

menatapnya. Kedua perempuan ini yang mula mula sekali ditimpa bencana hampir diperkosa itu, adalah orang yang pertama mengingat dan mengharapkan kedatangan anak muda itu untuk menolong mereka.

Tidak ada yang melihat dia di pasar atau di kedai kopi? tanya Datuk Sipasan.

Semua pada menggeleng. Mereka tiba tiba saja mengharapkan kehadiran anak muda itu. Kalau dia ada, mereka yakin akan terhindar dari pembalasan dendam Pandeka Sangek. Tapi anak muda itu sudah enam hari pergi.

Dia memang tidak meninggalkan mereka untuk seterusnya. Dia mengatakan pergi hanya dua hari. Tapi kini sudah hari keenam, dia tetap tak muncul. Sampai malam merangkak larut, dia tak pernah muncul.

Ketika bunyi jangkrik melantunkan suaranya di malam pekat itu, di antara suara guruh yang menderam sesekali, keenam lelaki itu kembali naik dan berkumpul di ruang tengah. Datuk Sipasan sudah membaik kondisinya.

Rumah itu gelap. Yang hidup hanya sebuah lampu lilin yang dibuat dari sarang lebah. Terletak di tengah ruangan. Di keliling lilin kecil yang terletak dalam piring itu, duduk dengan diam keenam lelaki tersebut bersama anak dan isteri mereka.

Datuk Sipasan menatap kelima temannya. Sementara yang seorang tetap berada di luar, melihat kalau kalau ada orang yang datang.

“Apakah aman untuk memulai perjalanan?” tanya datuk itu.

Sidi Kasim mengangguk. Datuk Sipasan menoleh pada isterinya.

“Sudah dibungkus semua yang perlu dibawa?”

Perempuan itu mengangguk. Anak anak mereka pada diam. Ada yang tidur dalam pangkuan kain. Ada yang bangun, namun kanak kanak itu seperti punya firasat akan bahaya yang mengancam orangtuanya.

Tak ada di antara mereka yang menangis. Tak ada yang gelisah. Bahaya dan perjalanan malam di antara deram guruh atau hujan badai ataupun di antara terik panas yang membakar, nampaknya sudah tak menjadi halangan lagi bagi para perantau dari Pariaman ini.

“Baiklah, kita berangkat….” ujar Datuk Sipasan.

Kelima lelaki itu pada tegak. Isteri dan anak anak mereka juga. Dalam cahaya yang samar, Datuk Sipasan menghitung, ada 17 orang mereka semua. Lelaki dewasa, para wanita dan anak anak.Jadi delapan belas orang dengan yang menjaga di luar. Sidi Kasim memberi isyarat kepada teman yang di luar. Yang di luar memberi isyarat dengan bersiul kecil.

Kita lewat pintu belakang. Saya yang akan berada di depan sekali. Tak ada suluh atau damar yang boleh dinyalakan. Semua barang barang, dipikul oleh lelaki. Setiap orang harus berpegangan tangan untuk memudahkan perjalanan. Setelah jauh ke dalam rimba, kita baru bisa menghidupkan suluh….

Sidi Kasimlah yang bicara ini. Sudah dua hari ini dia menyiasati jalan untuk melarikan diri bila terpaksa. Sendirian dia telah menyelusupi hutan di belakang rumah Datuk Sipasan. Dia menemui jalan setapak yang mudah dilalui. Barangkali menjelang Subuh mereka bisa mencapai bahagian hulu air terjun Batang Anai.

Lilin dalam rumah itu dihidupkan dua buah lagi. Ditaruh di ruang tengah dan bilik serta di dapur. Dengan demikian, kepada orang yang mengintai, diberi kesan, bahwa penghuni rumah itu masih ada.

Kemudian Sidi Kasim mulai turun dari pintu belakang. Yang menjaga di depan yaitu Lebak Tuah meniup salung. Suara salung yang mengalun..

Bersambung ke Bag 25…

==============

Lisda Hendrajoni ( Ketua TP-PKK Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar)

=============

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *