.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 31…

.

Bagi yang belum sempat baca Bag 1 s.d Bag 30 klik disini ;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 30…

Sambungan dari Bag 30…

selesai makan, lelaki tinggi besar ini berjalan, ke tempat pemilik kedai.

“Mana duit yang diberikan anak muda itu tadi….” bentaknya.

Pemilik kedai ini tak mau cari penyakit. Dia memberikan duit itu. Lelaki besar tersebut berjalan mengitari meja, dan kini dia berada di dekat pemilik kedai. Tangannya meraih laci, membukanya dan dari dalam dia menggeruk uang yang ada, kemudian memasukkannya semua ke dalam uncangnya.

“Anak beruk itu mencilok duitku di dalam kedaimu ini. Karena itu kau wajib menggantinya…” ujarnya sambil mendorong kepala pemilik kedai tersebut.

Si pemilik kedai sebenarnya juga seorang pesilat. Tapi dia yakin ketiga lelaki anak buah Pandeka Sangek ini bukan tandingannya. Karena itu dia hanya menunduk diam. Meskipun hasil pencahariannya dalam sepekan ini ludes sudah.

Kemudian ketiga lelaki itu berjalan meninggalkan lepau tersebut. Si pemilik kedai membetulkan pintu kedainya yang sudah copot kena terjang. Kemudian membetulkan meja.

“Orang bagak nampaknya ketiga orang tadi, Engku…’ ujar salah seorang lelaki.

Lelaki tua pemilik kedai itu menatapnya. Si gagap yang tadi kena hajar dan seorang temannya lagi sudah duduk dan menelungkup ke meja menahan sakit.

“Dia tidak hanya bagak. Tapi juga berkuasa. Mereka anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka tengah mengadakan pembalasan dan pengejaran terhadap beberapa pengungsi yang datang dari Pariaman…!!”

“Hmm… nampaknya orang Pariaman itu juga orang bagak….”

“Mereka membunuh ada alasan. Isteri pimpinan pengungsi itu hampir diperkosa oleh anak buah Pandeka Sangek. Itu sebabnya dia dibunuh….”
Lelaki pemilik kedai itu berhenti bicara, tatkala di balik gelas gelas dia melihat bungkusan kecil. Dia mengambilnya, dan membuka bungkusan itu. Matanya terbelalak, di dalam bungkusan itu terdapat banyak sekali uang perak dan benggol.

Tak pelak lagi duit itu pastilah duit si tinggi besar tadi. Anak muda berbaju putih dan bergiringgiring perak itu rupanya telah menyikat seluruh duit milik lelaki itu. Dan meletakkannya di dekat gelas ketika akan ke luar.

Anak muda itu rupanya sudah menduga, bahwa si lelaki besar itu pasti akan menyikat duit pemilik kedai. Dan kini, pemilik kedai itu mendapat ganti puluhan kali lebih banyak dari duitnya yang disikat anak buah Pandeka Sangek tadi. Mukanya berobah jadi berseri seri.

“Anak muda luar biasa. Berhati budiman….” katanya sambil menyimpan duit itu.

Keenam lelaki dari Lima Kaum itu pada terheran heran.

“Siapa yang luar biasa dan budiman?”

“Anak muda bergiring giring perak itu….”

“Anak muda kerempeng tadi?”

“Ya….”

“Puih, saya lihat dia diam saja ketika si tinggi besar itu menolakkan kepalanya ketika mereka akan duduk di sisinya tadi. Tak ada orang yang mau kepalanya dipegang begitu saja. Kalau kepala saya tadi yang didorong begitu, nyawa ketiga lelaki itu pasti sudah saya habisi….”

Lelaki tua pemilik kedai itu hanya tersenyum. Dia tahu, lelaki dari Lima Kaum ini hanya besar bual. Padahal tadi dia diam saja ketika dua temannya hampir disunat oleh lelaki tinggi itu.

oOo

Akan halnya si Giring Giring Perak, begitu mendengar cerita lelaki besar dalam kedai itu bahwa Datuk Sipasan dalam bahaya, segera berjalan cepat menuju ke rumah datuk itu di Silaiang.

Sudah lebih dari sepekan dia pergi meninggalkan rumah datuk itu. Dia telah mengitari negeri negeri di sekitar Silaiang ini untuk mencari ayah dan ibunya. Namun usahanya tetap tak berhasil. Tak seorang pun yang pernah mendengarkan tentang ada keluarga yang kehilangan anak.

Dalam terpaan angin dingin serta gerimis yang menusuk tulang, dia berlari cepat menuju rumah Datuk Sipasan. Firasatnya mengatakan bahwa datuk itu pasti tengah dalam bahaya besar. Saat itu, di dalam rimba Silaiang, Datuk Sipasan dan teman temannya tengah dikepung oleh anak buah Pandeka Sangek.

Anak anak dan perempuan mereka letakkan di tengah lingkaran yang mereka belakangi. Datuk Sipasan tahu bahwa nyawa mereka dalam bahaya besar. Dia berfikir cepat, sementara lebih dari dua puluh lelaki kini dengan pedang di tangan maju langkah demi langkah memperkecil kepungan mereka.

Bersambung ke Bag 32…

Catatan Redaksi: Foto ilustrasi foto Lisda Hendrajoni bersama Dewi Lunang dengan Batik Tanah Liek, Kabupaten Pesisir Selatan Sumbar, tidak ada kaitan dengan cerbung ini..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *