KEMURNIAN DALAM PUISI “KEBENARAN TANPA RASA TAKUT” SASTRI BAKRY (Oleh: Indra Intisa)
.
.
“Sesungguhnya kebenaran itu adalah mata tombak. Ke arah mana kau tusukkan” (Ompi)
***
Apa yang kau pikirkan tentang telanjang? Apakah itu bebas? Tanpa penghalang? Semua terlepas? Atau bagaimana? Atau bagaimana dengan anak-anak yang asyik bermandikan air hujan dengan wajah ceria, berlarian di jalan tanpa sendal, kecipak bunyi air, tanah-tanah basah (berlumpur), memenuhi kaki mereka, lalu air kembali mengikisnya, apa yang kau lihat? Apa yang kau rasa? Apakah itu sebuah kebebasan? Kebahagiaan? Dan tanpa kau sadar, di tengah ketelanjangan mereka, ada wajah polos, murni dan tulus. Mereka membunuh hingar-bingar dunia dengan sikap positif. Dan bahkan jika mereka terjatuh, menangis. Dan kembali tertawa. Mereka akan melupakan kembali luka yang merobek. Begitulah hakikat puisi diafan, yang ditulis oleh penyair Sastri Bakry.
Puisi diafan adalah puisi polos dengan pemaknaan yang tidak berbelit dan pecah. Puisi diafan sering disebut juga sebagai puisi telanjang, yaitu puisi yang terlepas dari simbol-simbol gelap, bercabang yang kadang menimbulkan multitafsir–yang menyebabkan banyak makna–bisa pula menyebabkan orang tersesat di jalan yang benar atau benar di jalan yang sesat? Kajiannya ini luas sebab-akibatnya. Itu berbeda dengan puisi gelap yang penuh dengan metafor dan simbol gelap sehingga sulit ditafsirkan oleh orang-orang awam yang tidak paham sastra khususnya puisi itu sendiri.
Sebagaimana kita tahu, sebagian orang di zaman now masih berpikir bahwa puisi gelap jauh lebih baik dan istimewa dibandingkan puisi diafan. Itu seperti membandingkan sesuatu yang abstrak dari sudut pandang masing-masing. Di dalamnya bisa berbalut ego, prinsip, cara pandang, kesukaan, dan sebagainya. Padahal, jika kita bisa berdiri di tengah, kesemuanya punya pakem dan tempat masing-masing. Jika ada kurangnya, bukan terkait diafan atau gelapnya. Tetapi pada puisi itu sendiri.
Sebenarnya, puisi kontomprer di tahun 70-an, era puisi diafan juga mulai meledak, sebagaimana kita simak beberapa puisi naratif yang sifatnya prosais. Ditambah pula lahirnya puisi-puisi nakal yang lebih kita kenal sebagai puisi mbeling. Puisi mbeling yang dibawa oleh Remy Sylado, Jeihan dan kawan-kawan melalui majalah Aktuil ini, awalnya ingin memberikan angin segar dan lawan dari puisi mapan yang terlanjur besar di zaman itu. Puisi yang awalnya disebut sebagai puisi awam dan puisi lugu ini memang tidak banyak memainkan metafor, kecuali bermain-main dengan puisi itu sendiri, mengandung humor dan kritik cerdas. Tetapi pada hakikatnya juga termasuk puisi diafan. Pantang membuat kening pembaca berkerut. Di era-era modern, puisi diafan juga banyak dirasuki oleh puisi-puisi yang bersifat prosais. Tetapi apakah sepuh besar lebih cenderung puisinya gelap dan prismatis? Jika mau disimak dalam-dalam, beberapa puisi Taufik Ismail dan Rendra yang termasuk tokoh sastra yang paling berpengaruh ini, juga dalam bentuk diafan dan sedikit lugas. Tetapi sebenarnya, di zaman lampau pun, tradisi puisi diafan juga terdapat ruhnya dalam syair dan gurindam. Hanya keterikatannya yang kuat menjadinya putik yang khusus.
Kembali ke Sastri Bakri, yaitu penyair yang pernah mendapatkan Anugerah Srikandi Tun Fatimah dari Ketua Menteri Melaka yang disematkan oleh PM Abdullah Badawi (Melaka, 2007), ini adalah penyair yang teguh dan konsisten dalam menulis karya sastra. Salah satu ciri khas dari puisi-puisi Sastri Bakry adalah bentuknya (pemaknaannya) yang diafan—terlihat lugas, jelas dan tidak bertele-tele. Terkait hal ini, mengingatkan saya juga kepada penyair yang aktif di Facebook beberapa tahun belakangan, saya mengenalnya sebagai Ibu sekaligus tempat diskusi sastra dan perkembangannya di Indonesia dan dunia—adalah Riri Titronegoro Vadim atau dikenal dengan Roro Mendut (merujuk nama di Facebook). Beliau termasuk penyair yang teguh dalam mempertahankan dan memperjuangan puisi-puisi diafan. Penyair yang sudah mendunia ini, pernah tercatat juga sebagai salah satu penyair yang puisinya tersimpan di salah satu museum—menjadi rujukan di negeri asing. Dan Sastri Bakry punya kekhasan lain dari bentuk puisi-puisi diafannya, adalah kemurnian dari setiap isi puisinya.
Menurut KBBI, murni adalah: 1) tidak bercampur dengan unsur lain; tulen: cincin itu terbuat dari emas –; 2) belum mendapat pengaruh luar; polos; lugu: sikap anak itu masih — , belum dipengaruhi oleh kehidupan kota besar; 3) tulus; suci; sejati (tentang cinta): cinta ayah dan ibu kepada anaknya adalah cinta yang –; 4_ ki belum terpengaruh oleh dunia luar; asli: kebudayaan masyarakat itu masih –; 5) ki dalam keadaan yang masih suci (perawan); belum ternoda; belum pernah menikah. Sedangkan makna dari kemurnian adalah 1) perihal murni; keaslian: – hutan tropis harus dilestarikan; 2) kesucian; kebersihan. Ada beberapa kata penting di dalam kata murni itu, seperti “suci”, “polos”, “tulus”, “lugu”, dan “bersih”. Unsur-unsur ini mengingatkan kita kepada tingkah polah anak-anak ketika bermain—anak-anak berlarian di saat hujan turun? Betapa bahagia di dalamnya tanpa ada niat apa-apa selain bermain, menyenandungkan hari, dengan sikap iklas dan jujur. Poin penting ketika orang dipercaya adalah sikap ini. Seperti pada puisi berikut ini:
KEBENARAN TANPA RASA TAKUT
Kebenaran tanpa rasa takut
Mestinya kita suarakan bersama
Tetapi kenapa kalian tinggalkan aku
Padahal kemaren kalian dengan lantang bersuara
Mendorong dan menertawakan aku karena tak berani
Bersuara demi kebenaran
Hari ini aku jadi corongmu
Dengan lantang aku suarakan kebenaran yang kau sampaikan
Tanpa rasa takut
Tapi kenapa sekarang kalian tidak hendak menyarakannya lagi?
Kalian bersembunyi di ketiak mereka
Dan aku masih di sini
Memperjuangkan kebenaran tanpa rasa takut
Di manapun aku
Entah sampai kapan
(Padang, Maret 2009)
Puisi di atas pada hakikatnya adalah puisi yang sifatnya mengajak dalam bentuk kritik. Dianggap murni sebagai dasar sifat manusia ketika melihat ketidakbenaran, kebobrokan dan kesalahan yang dibiarkan semena-mena, tentu saja akan memunculkan keadaan baru, sebuah ketidakadilan yang memimpin di sebuah negeri, tempat atau di mana saja tempat yang nyaman tentang pembiaran ini. Lihatlah, ada banyak orang-orang yang terjepit, meresa ketidakadilan menjepit negeri ini, ketika mereka menyuarakan kebenaran, merasa seperti kehilangan ekor yang berdiri (dalam artian, hilangnya ruh perlawanan). Ketakutan dan kecemasan yang muncul kadang tidak sewajarnya. Ada orang takut karena a, b, c, dst. Ada pula hanya karena segan, “Kenapa harus mengurus orang lain?”, “Selagi tidak mengganggu diriku”, “Tidak apa mengalah asal selamat.” Padahal ketika pembiaran itu terjadi maka kita sendiri sudah ikut membesarkan kesalahan itu sendiri. Bayangkan saja ketika kita melihat anak-anak yang diperkosa, lalu kita mengabaikan dengan banyak alasan. Keberanian itu adalah ruh yang murni. Sekalipun dalam keberanian bisa saja ditumpangi oleh niat-niat yang tidak baik—untuk tujuan politik, uang, kekuasaan, dan sebagainya. Untuk menciptakan sesuatu yang bersih, maka diperlukan sebuah keberanian. Hanya orang-orang yang jujur, polos dan lugu yang berani menyuarakan ketidakbenaran tanpa ada rasa takut tanpa embel-embel x di belakangnya. Lihatlah anak-anak yang bermandi hujan, mereka terus bernyanyi dan tertawa tanpa takut akan sakit dan demam. “Anakku, jangan kalian mandi. Nanti demam.” Toh mereka terus saja berlalu. Atau anak-anak yang mandi di sungai, sekalipun sungai tersebut deras, ada buaya, dan sebagainya. Dan kita sebagai orang dewasa akan berpikir, “Untuk apa? Karena apa? Kenapa harus? Untungnya apa?”
***
Ke mana jiwa-jiwa suci dan murni yang masih terus menyuarakan kebenaran? Apa kau sudah terlalu dewasa sehingga takut untuk membela dan menyuarakan yang benar? Atau tulang ekormu sudah putus dipotong oleh mereka di sana?
Dharmasraya, 2018
Indra Intisa, Penikmat Puisi.