.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 34…

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 33 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 33…

Sambungan dari Bag 33…

dijawab dengan tawa bergumam oleh orang yang bernama Pandeka Sangek yang masih tetap berada dalam gelap. Datuk Sipasan menandai arah gelak Pandeka Sangek.

Tapi ternyata tempat datangnya suara gelak lelaki itu berpindah pindah. Dia cukup waspada nampaknya. Dan kembali terdengar suaranya, kali ini dari arah belakang Datuk Sipasan.

“Waang yang baru saja bicara dan bercarut bungkang, ini rimba larangan. Tak ada orang yang boleh bercarut di sini. Untuk itu waang harus mati….!”

Datuk Sipasan ingin berseru mengingatkan Tan Teno agar hati hati. Tapi terlambat. Suara berdesing yang halus terdengar di malam gelap itu. Tan Teno sendiri bukan lelaki kosong. Dia tahu ada senjata menyerang. Dia memutar keris di depan dadanya.
Sebuah pisau kecil yang melayang kencang berhasil dihantam jatuh dengan kerisnya. Namun dua pisau kecil berikutnya, yang dilemparkan dengan mahir sekali, tak bisa dielakkan Tan Teno. Pisau pertama menancap di pahanya. Dia terpekik. Ketika dia menunduk, pisau kedua menghantam punggungnya. Dia tertegak.

“Nah, Ajo yang datang dari Piaman, nyawa waang tamat di sini…!!”

Seiring dengan suara itu, empat batang tombak melesat. Empat teman Tan Teno yang lain, termasuk Datuk Sipasan, berniat untuk menolong. Tetapi lelaki yang bernama Pandeka Sangek itu nampaknya cukup arif. Makanya, tombak itu tak hanya diarahkan pada Tan Teno. Tapi juga diarahkan pada empat lelaki yang lain.
Dengan demikian, Datuk Sipasan dan teman temannya terpaksa menangkis lebih dahulu tombak yang diarahkan pada diri mereka. Dan saat itulah keempat batang tombak untuk Tan Teno itu melayang.

Keempat lelaki dari Piaman itu berhasil memukul tombak yang diarahkan pada mereka. Akan halnya Tan Teno, sudah menyerahkan dirinya pada nasib. Dia memejamkan mata, yakin dirinya akan mati saat itu. Namun terjadi keajiban. Keempat tombak itu terpukul di perjalanan!

Tidak hanya jatuh, tapi berbalik arah dan melesat ke dalam semak semak di balik obor itu berada. Terdengar pekik dan suara hiruk. Tak pelak lagi, pasti ada sekurang kurangnya dua lelaki mati kena tombak yang berbalik arah itu!

Datuk Sipasan dan teman temannya jadi heran. Sebelum sadar apa yang terjadi, Siti Nilam yang berada di tengah lingkaran, yang tadi menunduk, berseru tiba tiba.

“Giring Giring Perak …”

Suaranya bernada kerinduan dan diiringi rasa haru. Semua mereka segera jadi ingat anak muda itu. Meskipun dia belum kelihatan dalam rimba yang gelap itu, namun siapa lagi yang akan menolong mereka, dan siapa pula yang punya kepandaian setinggi itu kalau tidak si Giring Giring Perak?

“Giring Giring Perak …!”

Hampir bersamaan lelaki dan perempuan dari Piaman itu berseru setelah ucapan Siti Nilam tadi. Suara mereka seperti suara orang orang yang bangun dari kematian. Mereka seperti mendapat nyawa tambahan. Perempuan perempuan malah pada menangis karena terharu.
Pandeka Sangek dan anak buahnya mendengar juga Giring Giring Perak itu disebut. Mereka sebelumnya juga telah diberi ingat oleh kurir dari Bukit Tambuntulang, bahwa ada anak muda tak bernama tapi menyebut dirinya sebagai Giring Giring Perak, teman Datuk Sipasan, adalah anak muda yang amat tangguh.

Tapi saat itu mereka tak melihat orangnya. Pandeka Sangek yang duduk dengan santai di sebuah tunggul kayu, yang terlindung dalam kegelapan, memberi isyarat pada anak buahnya. Kembali delapan tombak melayang ke arah rombongan Datuk Sipasan.
Kali ini tombak itu tidak hanya spesial bagi Tan Teno yang tadi mencaruti Pandeka Sangek, tapi juga diarahkan pada semua mereka. Termasuk anak anak dan para perempuan. Namun begitu suara tombak bersuit, begitu terjadi lagi hal yang luar biasa. Empat tubuh terlambung ke udara dari dalam kegelapan.

Keempat tubuh itu berpapasan di udara dengan delapan batang tombak tadi. Tak ampun lagi, keempat tubuh itu menjadi sasaran tombak. Dan ketika tubuh itu terjatuh, ternyata mereka sudah mati semua!

Dan keempat mereka adalah anak buahnya Pandeka Sangek. Mereka nampaknya memang sudah mati sebelum dilemparkan menyongsong tombak tadi. Anak buah Pandeka Sangek yang lain jadi gempar. Mereka berlarian ke tempat Pandeka Sangek.

Pandeka itu sendiri jadi tertegak. Dia jadi amat berang.

Hei monyet. Siapa waang yang berani pamer kepandaian yang hanya seujung kuku itu di

Bersambung ke Bag 35…

Catatan Redaksi: foto ilustrasi Bupati Pessel dan. Kapolres Pessel saat berada di pantai Sago, Pesisir Selatan, tidak ada kaitannya dengan cerbung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *