.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 41…

.

Bagi yang belum mebanca Bag 1 s.d Bag 40 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 40…

Sambungan dari Bag 40..

Namun kali ini dia tak diberi kesempatan untuk membalas oleh Pandeka Sangek. Empat tendangan berputar dan beruntun lagi. Anak muda itu dibuat sibuk tanpa dapat membalas serangan.

Ketika enam belas jurus sudah berlalu dengan cepat, tiba tiba Pandeka Sangek membentak dia menepuk dada, dia menyerang dengan menggelinding di tanah. Inilah serangan dan aliran buayo lalok dari Pesisir Selatan.

Sambil mengelinding, kakinya menyerang dengan tendangan dan kibasan yang mematikan. Ada dua jalan yang bisa ditempuh si Giring Giring Perak untuk menghindar dari serangan berbahaya ini. Pertama melambung tinggi, kedua meloncat menjauhi serangan itu.

Bila melambung ke atas, bahaya masih tetap mengancam. Yaitu si penyerang bisa merobah serangan tiba tiba dengan berdiri dan mengirimkan tendangan pukulan kepada lawan yang belum siap itu. Sementara cara kedua lebih aman.

Cara kedua inilah yang ditempuh oleh si Giring Giring Perak. Dia berjumpalitan di udara, melambung ke belakang sekitar empat depa. Namun di sinilah kesalahannya. Dia melakukan kesalahan karena usia yang masih muda dan pengalaman yang kurang di dunia persilatan. Dan lawannya seorang yang tangguh.

Datuk Sipasan sendiri yang menatap perkelahian itu dengan mata tak berkedip, merasa lega tatakala anak muda itu melambung ke belakang. Memang itu cara yang aman, pikirnya.

Tapi dia dan juga si Giring Giring Perak dibuat terkejut, dan harus mengakui nama besar Harimau Tambuntulang tatakala muridnya ini dalam keadaan masih mengelinding, tubuhnya tiba tiba melenting seperti bola yang ditendang, memburu tubuh si Giring Giring Perak yang tengah berjumpalitan di udara itu.
Begitu kaki si Giring Giring Perak mencecah tanah, dia mendengar angin berkuak amat kuat di belakangnya. Dia yakin tak sempat lagi mengelak, makanya dia hanya menghantam tangan ke belakang menyambut serangan yang datang itu.
Tapi yang datang bukannya sembarangan serangan. Yang datang justru tubuh Pandeka Sangek yang ikut melambung. Dan kini, kaki kanannya dengan sisi telapak kaki menghunjam ke bawah melaju menerpa tengkuk anak muda itu.
“Celaka…!!”
Datuk Sipasan terlompat dan berseru kaget melihat peristiwa itu. Memang tak lain daripada celaka, yang diterima anak muda itu. Hanya saja dia masih untung. Pukulan tangannya ke belakang tadi, menyebabkan arah kaki Pandeka Sangek agak berobah.

Tidak lagi menghantam tengkuk, tetapi agak ke bawah. Tiba di bahu kanannya. Meski demikian, terdengar suara berderak. Tubuh anak muda itu terlambung sampai enam depa. Tangan kanannya tiba tiba terkulai lumpuh. Dari mulutnya menyembur darah segar!
Siti Nilam memekik dan menghambur. Namun Datuk Sipasan menahan gadis itu. Tendangan itu amat membahayakan nyawa anak muda itu. Isi dadanya terguncang. Dia mengalami luka dalam yang cukup berbahaya.

“Silat Harimau….!!” hampir bersamaan si Giring Giring Perak dan Datuk Sipasan bergumam perlahan.

Pandeka Sangek sendiri merasa kaget tatkala serangannya yang mematikan itu ternyata hanya mampu mengenai bahu anak muda tersebut. Sementara kaki kanannya yang dihantam oleh pukulan membelakang oleh anak muda itu tadi terasa kesemutan dan linu.
Itulah kenapa kini dia tetap saja tertegak. Tak mampu melanjutkan serangan. Dia coba melangkah. Tapi kakinya terasa lumpuh. Pukulan itu ternyata berisi tenaga dalam yang lumayan. Kalau saja anak muda itu tadi memukulnya dalam posisi yang betul dan konsentrasi penuh, maka dia yakin dirinya akan celaka.

Dia menatap anak muda itu. Si Giring Giring Perak untuk kedua kalinya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dia tak berniat untuk menggerakkan tangan kanannya. Karena dia tahu betul tulang belikatnya pecah dan terlepas kena tendangan yang telak itu.
Satu satunya jalan yang bisa dia tempuh ialah menghimpun tenaga batinnya, menyalurkan ke tempat yang terluka. Dia tak bisa mengobati tulang belikatnya yang pecah dan lepas karena harus mendahulukan mengobati isi dadanya yang terluka.

Siti Nilam sudah menangis melihat penderitaan anak muda itu. Pandeka Sangek mengumpulkan pula tenaga batinnya. Menyalurkan ke kakinya yang linu dan lumpuh. Mereka tetap saling pandang. Kemudian terdengar suara anak muda itu perlahan.

“Silat Harimau sanak sangat sempurna… Saya benar benar mendapat pelajaran yang berharga….”

Pandeka Sangek tersenyum. Dia mengagumi anak muda itu. Dia yakin pujian itu bukan sekedar basa basi. Tapi suatu kejujuran.

“Tenaga dalammu juga sangat ampuh Giring Giring Perak. Saya sampai tak bisa beranjak setelah engkau pukul….” ujarnya dengan jujur pula.

“Ah, tendanganmu justru meremukkan belikat saya. Dan membuat luka dalam yang bisa merengut nyawa….”

Pandeka Sangek tertawa bergumam.

“Kalau saja orang lain, yang kepandaiannya cukup tinggi yang kena seranganku tadi, saya jamin mati hanya karena tendangan itu. Saya yakin hal itu….”

Teman teman Datuk Sipasan dan anak buah Pandeka Sangek mendengar dialog kedua orang ini dengan terheran heran. Aneh, orang berkelahi, tapi mereka saling mengatakan celaka yang mereka alami akibat pukulan lawan. Bukankah hal itu berarti memberi tahu kepada lawan kelemahan kita sendiri?

Namun Datuk Sipasan arif, demikianlah cara pesilat pesilat tangguh berkelahi. Dan saat itu Pandeka itu sudah merasa kakinya kembali bisa digerakkan. Dia kembali mengangkat kedua tangannya setinggi dada.

Bersambung ke Bag 42…

Foto ilustrasi bukan Si Giriang Giriang tapi Acara Baralek Laman di Dharmasraya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *