.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 45…

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 44 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” ( Oleh: Makmur Hendrik) Bag 44…

Sambungan dari Bag 44

dan pucat oleh sinar matahari. Alangkah berbedanya dengan malam tadi.

Malam tadi damar itu menjadi pusat cahaya. Menerangi rimba ini. Tapi kini cahayanya jadi tak berarti. Datuk Sipasan batuk batuk kecil, kemudian berjalan menghampiri anak muda itu.

“Ada yang ingin saya tanyakan….” katanya perlahan.

Siti Nilam arif, bahwa dia harus kembali ke tempatnya. Dia menghormati datuk itu seperti ayahnya sendiri. Dia melangkah ke tempat perempuan perempuan duduk bersama anak anak mereka.

“Teman teman bertanya, apakah akan meneruskan perjalanan di rimba ini menuju Balingka, atau kembali ke Silaiang. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini Giring Giring Perak?”

Anak muda itu tak segera menjawab. Dia lemparkan pandangan pada perempuan dan anak anak yang sedang makan. Kemudian pada lelaki yang tengah mengisap rokok nipah. Datuk Sipasan menoleh pula pada yang dipandang anak muda itu.

“Bagaimana pendapat Datuk sendiri?”

“Terlalu sulit meneruskan perjalanan. Anak anak dan lelaki yang luka. Akan kembali ke Silaiang, bukannya hal yang mustahil kalau Pandeka Sangek datang lagi menuntut balas setiap waktu….”

“Apakah ada jalan lain?”

“Kemungkinan lain adalah tetap pindah dari Silaiang. Mungkin ke Agam, Kamang atau Pagaruyung. Bergabung dengan teman teman yang telah duluan ke sana. Tapi tidak mengikuti jalan hutan ini. Kita kembali ke Silaiang dan menempuh jalan pedati biasa….”

“Kalau memang akan pindah, kemana tujuan Datuk?”

“Barangkali lebih baik ke Balingka….”

“Kenapa ke sana…?”

“Dari situ dekat menghubungi teman teman. Dekat menghubungi pemuka Islam di Kamang, seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Piobang dan teman temannya yang lain. Kemudian jika kekuatan sudah terkumpul, jalan memintas dari sana cukup dekat untuk menyerang Belanda di Pariaman.
Dari Balingka naik menyelusuri pinggang Gunung Singgalang akan sampai ke Malalak, turun terus ke sebelahnya, akan sampai ke Sungailimau, dan Pariaman….”

“Apakah niat untuk kembali menyerang Belanda itu tetap harus dilaksanakan?”

Datuk Sipasan memandang si Giring Giring Perak atas pertanyaan itu.

“Maaf. Maksud saya, apakah tidak boleh lebih baik menghindar dari Pariaman yang selalu keruh itu. Hidup dengan tenang bersama keluarga di daerah darat ini yang lebih tenang?”

Datuk Sipasan menghela nafas panjang. Menatap pada perempuan dan anak anak yang duduk di tengah rimba Silaiang itu. Kemudian ia berkata perlahan.

“Maafkan kalau penjelasan saya berikut ini melukai hatimu. Tapi ini hanya sebagai perbandingan. Suatu saat kelak, bila engkau bertemu dengan ayah dan ibumu, atau kalau mereka telah meninggal kemudian kau ketahui dimana kubur mereka, pastilah engkau akan selalu ingin berziarah tiap tahun ke kuburannya itu.

Dan bila kelak kau ketahui dimana kampung halamanmu, sejauh jauh engkau merantau, pastilah engkau teragak untuk pulang. Meski tidak lagi ada sanak familimu di kampung itu. Meski tidak lagi ada yang mengenalmu di sana. Namun kerinduan pada kampung halaman adalah kerinduan setiap manusia akan negeri asalnya.

Kini negeri kami ini diserang bangsa lain. Diserang oleh Belanda, mereka ingin menguasai negeri dan merubah agama kami, mencemarkan gadis dan perempuan kami, kenapa kami tidak berniat untuk membelanya?

Di negeri itu sudah cukup banyak darah tertumpah. Semula kami tidak beragama. Ada agama animisme dan Hindu, tapi sudah ditinggalkan orang. Sebagian besar penduduk di sana lebih senang berjudi, minum tuak, main perempuan dan saling membunuh karena harta.

Keadaan begitu berlangsung terus sampai sepuluh tahun yang lalu. Saat itu datang ke negeri kami pedagang pedagang dari Aceh. Dari mereka, kami mengenal Islam, dan dari Islam kami mengetahui mana yang buruk mana yang baik.

Tak ada yang memaksa kami masuk agama itu. Siapa yang suka boleh masuk. Yang tidak, boleh melanjutkan kepercayaan masing masing. Namun enam tahun yang lalu, keadaan mulai berubah. Banyak kaum bangsawan atau orang biasa yang tak senang pada Islam. Karena terlalu banyak membatasi dan terlalu banyak mencampuri urusan dunia. Terjadi pertentangan.

Perkelahian terjadi antara orang Islam dari Aceh dengan penduduk Pariaman yang tidak Islam. Kaum bangsawan Pariaman meminta bantuan ke Pulau Cingkuk, pada Belanda yang ada di sana. Jika perkelahian itu hanya antara sesama puak Melayu, kami takkan sampai menyingkir.

Tapi karena sudah diikutsertakan bangsa asing, kami tak bisa berpangku tangan. Kami harus berpihak. Dan kami berpihak pada Islam, agama kami. Tapi kekuatan kami tak berimbang dengan Belanda. Kami sepakat dengan orang Aceh untuk sama sama menyingkir dari Pariaman.

Mereka kembali ke Aceh, meminta bantuan pada Sultan Iskandar Syah dan kami mencari bantuan ke Luhak Nan Tiga di darat ini. Kami hanya ingin menyelamatkan kampung halaman kami. Di sana banyak anak kemenakan kami yang harus kami selamatkan. Itulah semuanya.

Kerinduan kami pada kampung halaman, bukan hanya sekedar rindu untuk pulang. Tetapi berbaur dengan kerinduan untuk menegakkan keadilan dan menyiarkan agama Allah di negeri yang telah ratusan tahun diperbudak jahilliah itu.

Sekali lagi saya harap engkau tidak merasa tersinggung karena saya menyebut nyebut tentang asal usul. Tentang kerinduan pada kampung. Saya tidak bermaksud melukai hatimu. Hanya ingin memberikan penjelasan kenapa kami harus pergi dari sana. Kenapa kami harus mencari bantuan. Dan kenapa kami harus kembali lagi ke kampung itu.

Bersambung ke Bag 46…

Catatan redaksi: Foto ilustrasi diatas adalah foto gua di Painan Pesisir Selatan Sumbar. Gua tersebut baru ditemukan oleh pekerja proyek pelebaran jalan nasional di daerah itu. (foto dok Okis Mardinsyah)

Berita terkait gua klik disini;

Ada Gua Di Bukit Ransam Painan Pesisir Selatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *