.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 47…

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d 46 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” ( Oleh; Makmur Hendrik) Bag 46…

Sambungan dari Bag 46…

Akan halnya Pandeka Sangek, sejak peristiwa itu seperti lenyap dari negeri Silaiang dan Kabunsikolos. Banyak yang menduga, bahwa dia bersemedi dan menghimpun tenaga di Gunung Rajo.

Malah secara seloroh ada yang mengatakan bahwa dia kembali mengulang menuntut ilmu pada gurunya. Tapi satu hal yang pasti adalah, mereka sedang menanti kesempatan untuk menuntut balas.

Sementara cerita tentang perkelahian dahsat di rimba Silaiang itu pecah dari mulut ke mulut. Tersebar mulai dari Luhak Tanahdatar sampai ke Luhak Agam dan Limapuluh. Nama si Giring Giring Perak disebut penuh kekaguman dari mulut ke mulut. Meski orangnya belum pernah mereka lihat.

Namun Bukit Tambuntulang tetap saja menjadi momok bagi orang yang lalu di sana. Dua rombongan orang orang yang akan ke Padang dan lewat di sana, habis kena babat. Jumlah mereka enam belas orang. Lelaki dan pesilat semua.

Terakhir dua regu tentara Belanda yang menuju Padang, juga lewat di sana dengan pasukan berkuda dan bersenjata lengkap. Dua puluh orang di antaranya mati disembelih oleh anak buah Gampo Bumi. Tiga orang lainnya sempat lolos dan melarikan diri kembali ke Tanahdatar.

Nama Bukit Tambuntulang kembali menjadi momok. Suatu kerajaan hukum rimba yang membuat orang merasa linu tulang belulangnya bila harus lewat di sana.

Peristiwa pembunuhan dan penyamunan terhadap dua regu tentara Belanda itu menyebabkan murkanya Kolonel De Cappelen di Batusangkar. Dia memerintahkan pada Kapten Verde di Kabunsikolos dekat Silaiang untuk menyapu semua penyamun di sana.

Kapten ini justru memanggil Pandeka Sangek. Karena dia mendengar bahwa antara Pandeka itu dengan Gampo Bumi punya sangkut paut. Dia meminta pada Pandeka Sangek untuk membujuk Gampo Bumi agar mau menyerah padanya. Tapi Pandeka Sangek dengan tegas menolak.

“Saya bukan hanya sekedar kenal dengan Gampo Bumi. Tapi lebih daripada itu dia adalah adik seperguruan saya….” katanya pada perwira Belanda itu tatkala dia datang ke markas kapiten tersebut di Kabunsikolos.

Good! Bagus! Kalau begitu, kamu orang harus panggil adik kamu yang ajarnya kurang itu. Suruh dia datang pada saya di sini….”

“Itu tak mungkin!” kata Pandeka itu tegas.

“Apa sebab?”

“Dia penguasa di Bukit Tambuntulang itu. Setiap tindakan yang dia lakukan sepenuhnya tanggung jawab dia. Meski kami seperguruan tapi kami tak boleh mencampuri urusan kami masing masing. Seperti halnya dia juga tak lagi bisa mencampuri urusan saya di negeri ini….”

“Hmm… semacam otonomi, he…?”

“Begitulah….”

“Bagaimana kalau dia kita undang kemari untuk minum minum….”

“Itu urusan Kapitenlah….”

“Tapi kita ingin Pandeka Sangek sampaikan kita punya undangan….”

“Maaf, banyak kerja saya yang lain….”

“Pandeka tak menghargai persahabatan kita….”

“Apakah persahabatan yang Tuan maksudkan adalah agar saya membujuk adik seperguruan saya kemari, lalu Tuan tangkap dan Tuan bunuh. Begitu persahabatan yang Tuan inginkan? Ambek cah…!”

Muka kapiten itu jadi merah padam mendengar pernyataan yang amat menghina dan amat menantang itu. Mereka saling tatap. Pandeka Sangek, yang sudah sebulan tak muncul sejak perkelahiannya dengan si Giring Giring Perak di rimba Silaiang itu, kini membalas tatapan kapten Belanda itu tanpa berkedip.

Dia sudah lama juga merasa muak akan Belanda di negerinya ini. Soalnya bukan karena mereka merasa dijajah, tapi mereka merasa kekuasaan mereka untuk bermahasirajalela jadi berkurang. Inilah yang membuat dia berang.

Kapiten itu mau saja melampang dan menangkap inlander busuk itu. Tapi dia tahu, inlander yang seorang ini punya ikutan yang banyak. Terdiri dari pesilat pesilat tangguh. Sementara mereka hanya dua belas orang di Kabunsikolos ini. Salah salah perhitungan, bisa habis serdadunya disembelih Pandeka ini.

Dengan perhitungan begitu, Kapiten tersebut terpaksa menahan berangnya. Tapi tak urung dia menyumpah nyumpah dalam bahasa nenek moyangnya yang tak diketahui oleh Pandeka. Dan si kapiten lalu menukar siasat, dia menanyakan berapa kekuatan anak buah Gampo Bumi di Bukit Tambuntulang itu.

“Saya tak tahu….” jawab Pandeka.

“Tapi bukankah di bukit keparat itu kamu orang dahulu belajar silat?”

“Bukan bukit keparat. Tapi Bukit Tambuntulang….”

“Persetan dengan Tambuntulang atau Tambun taik, saya ingin tahu berapa anak buah si Gampo taik itu…. bentak kapiten itu mulai berang.”

Pandeka Sangek tersinggug harga dirinya. Dia tak senang bangsa asing ini membentak – bentak dirinya di negerinya pula. Dia tegak, dan dengan sikap menantang lalu bicara.

“Tuan ingin tahu jumlah mereka di sana?”

“Ya. Berapa jumlah mereka, dan dimana mereka berdiam di rimba itu….”

“Datang sendiri ke sana, dan tanyakan pada Gampo Bumi!”

Sehabis berkata Pandeka Sangek dan si Pitok, anak buahnya, melangkah keluar.
Godverdoommm!!! Anjing, kendik, beruk, kentut. Kentut kowe! kapten itu memaki dan bercarut bungkang.

Tapi dia mempergunakan bahasa Belanda. Dan karena dia berbahasa Belanda Pandeka tak tahu bahwa dia dikatakan anjing, kendik, beruk dan

Bersambung ke bag 48…

Catatan Redaksi: diatas bukan kapitan Verde di Kabunsikolos, tapi dia Direktur Saleema Foundation yang membantu Bedah Rumah di Kabupaten Pesisir Selatan, foto diatas tidak ada hubungan dengan cerbung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *