.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 48…

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 47 milik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 47…

Sambungan dari Bag 47…

kentut. Pandeka itu tetap saja meluncur pergi. Masuk ke pasar Kabunsikolos.

Di depan orang menjual lemang dia berhenti. Mengambil sebatang lemang. Memotongnya dengan keris. Kemudian memakan sekerat, dan yang sekerat lagi diberikannya pada si Pitok. Anak buahnya ini memakan lemang yang setengah batang itu sambil berjalan.

Pemilik lemang tak berani meminta duit. Karena setiap orang di Kabunsikolos itu tahu siapa yang orang itu. Pandeka Sangek, yang siap manyangek apa apa yang menghalanginya. Tak jauh dari tempat orang menjual lemang ia menendang tempayan orang yang berjualan cendol. Tempayan besar itu menghalangi jalannya.

Tempayan itu pecah. Cendolnya terbosai kemana mana. Orang yang kena siram cendol, maupun pemiliknya tertekur diam tak berkutik.

“Kalau jualan jangan di tengah jalan. Mengerti waang he?! hardiknya pada tukang jual cendol.
Ya om….!”

Andeang! Kalera, ba om-om lo waang ka den!” ujarnya, dan seiring ucapannya tangannya bekerja.
Dia membuat pekerjaan tangan di pipi tukang jual cendol yang terlanjur memanggil dengan sebutan om itu.

“Ampun Pak… ampun Pak. Awak silap….!”

“Siapa? Bapak waang. Pebila saya kawin dengan emak waang makanya saya waang sebut Bapak he!??”

Dan kembali dia membuat pekerjaan tangan. Pandeka ini memang orang yang rajin membuat pekerjaan tangan bila sesekali dia ke balai. Penjual cendol itu tak bicara lagi. Dia lebih baik diam daripada mendapat pekerjaan tangan terus menerus. Diam memang jalan yang aman baginya.
Si Pandeka berjalan meninggalkan tempayan cendol yang pecah dan muka penjualnya yang ada sidik jarinya.

oOo

kapiten Verde, komandan pasukan Kompeni di Kabunsikolos yang berang pada Pandeka Sangek itu memang berniat menyapu penyamun Bukit Tambuntulang.

Bukan karena mereka mengacau keamanan, malah Belanda Belanda itu merasa bersyukur di sana ada penyamun. Biasanya yang disamun hanya orang orang pribumi yang lewat. Itu menguntungkan taktik adu domba mereka.

Tapi kini perbuatan Gampo Bumi sudah kelewatan. Pasukan Kompeni juga mereka sikat. Inilah yang membuat dia berang.

Keadaan itu tak boleh didiamkan. Bisa membuat tak terhormatnya orang orang Belanda di Minangkabau.

Siang itu Verde mengumpulkan empat kaki tangannya yang ahli dalam menempuh rimba. Keempatnya orang Minang. Mereka ditemani oleh dua orang serdadu Belanda yang ahli dalam mencari jejak.

“Tugas kalian sederhana. Masuk ke rimba di Bukit Tambuntulang. Cari dimana perkemahan atau perkampungan penyamun di sana. Hitung berapa kekuatan mereka semua. Saya kasih kalian tempo satu pekan. Dalam waktu satu pekan kalian harus sudah melaporkan hasilnya pada saya di sini….”

Keenam orang yang ditugaskan itu saling pandang. Kapiten Verde melihat keengganan di wajah keenam bawahannya itu. Dia tak ingin tugas yang dia berikan ditolak.

“Ayo berangkat sekarang juga! Ambil perlengkapan atau apa pun yang kalian perlukan di bagian perbekalan….” sehabis berkata begitu dia lalu melangkah ke luar.

Dua orang pengawal mengiringinya. Dia masuk ke balai yang sedang ramai di Kabunsikolos itu. Dia berjalan dan mengangguk angguk pada beberapa orang yang dia kenal sambil melempar senyum.

Tugasnya di sana memang untuk mengambil hati penduduk. Menjaga agar penduduk mau menjual hasil hutan dan hasil bumi mereka pada VOC. Tapi senyum senyum begitu segera lenyap ketika tiba tiba dia memijak sesuatu yang licin.

Dia tersialir. Terkepere sejenak. Kakinya terangkat. Dan dengan bercarut dan menyumpah tak menentu kapiten itu terjengkang. Orang ramai pada terdiam. Kapiten ini merangkak bangkit dengan menyeringai.

Senyum senyum kambingnya yang tadi dia bagi bagikan pada orang lenyap. Mukanya merah padam. Di puncak hidungnya yang bengkok, dekat matanya, bergantungan beberapa benda kehijau hijauan. Dia meraih benda yang bergelemak di mukanya itu. Melihatnya, ternyata cendol.

Dia memperhatikan tempatnya jatuh. Ternyata penuh oleh cendol yang terserak. Cendol yang terserak itu adalah cendol yang tadi disepak oleh Pandeka Sangek. Dia menatap keliling. Tukang cendol yang dapat pekerjaan tangan tadi menunduk dengan mulut menggigil.

“Grrr! Zendol ziafa yang serak serak sini he!!??” bentaknya sambil bertolak pinggul.

Tak ada yang menjawab. Dia membentak lagi menanyakan cendol siapa yang telah membuat dia terjerangkang itu. Masih tak ada yang menjawab. Tapi sebuah kentut yang cukup keras meletus dari tengah orang ramai. Dia segera tahu siapa yang kentut itu.
Pengawalnya menyeret orang itu. Dia ternyata adalah pemilik cendol yang malang itu. Dia terkentut karena takut yang amat sangat.

“Kenapa kau kentut he!?
Karena Pandeka Sangek, Pak….!”

“Apa?!”

“Ya, apa. Eh anu, karena Pandeka Sangek, Pak. Dia yang menyipak cendol saya ini tadi hingga terserak. Dia memang harus Bapak lampang….”

“Diam!!”

“Ya, Om….”

“Monyet! Saya bukan om waang!”

“Amfuun, Pak… Kapital.. eh, Kapitenn….”

Malang benar tukang cendol ini. Akibat salah menyebut kapiten menjadi kapital karena gugup, Kapiten itu memberinya pula hadiah pekerjaan tangan empat kali. Kentutnya meletup-letup. Tup.. tuup! Kencingnya juga.

Dan watak asli Belanda itu segera kelihatan.

Bersambung ke bag 49…

Catatan redaksi: ilustrasi foto Lisda Hendrajoni (ketua TP-PKK Pesisir Selatan Sumbar) tidak berkaitan dengan cerbung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *