.

SELAMAT DATANG ERA “POST TRUTH”. (Oleh: Anton Permana)

……………………………………

Didalam dimensi politik bersosial media sekarang ini, manusia mulai terjebak dengan apa yg disebut ‘ceruk buta keyakinan’. Orang sudah terpolarisasi kedalam cluster kelompok keyakinan dan satu kesepahaman politik. Sehingga apa saja yang tidak selaras dengan pemahaman kelompok keyakinannya semua akan dianggap salah dan parahnya lagi akan dinisbatkan sebagai musuh atau lawan.

Padahal, keyakinan (pilihan politik) didalam ilmu political engineering semua bisa diciptakan. Kebohonganpun bisa menjelma menjadi sebuah keyakinan, dimana kalau sebuah konten telah menjadi keyakinan (harapan) maka kebenaran pun akan dinafik kan atau diabaikan

Apapun fakta kebenaran yg akan diberikan, maka semua akan tertolak kalau semua itu tidak berasal dari kelompoknya dan tidak selaras dengan keyakinan (harapan) hasil interception narasi halusinasi yang dikemas sedemikian rupa masuk dalam kedalam alam bawah sadar otak manusia (corgbrain).

Keyakinan keyakinan semu hasil interception inilah yang rentan dan mudah menjadi taklid buta kepada sosok, dan kepentingan kelompok.
Hal ini terjadi karena hasil ketimpangan antara kecepatan arus informasi dengan kesiapan otak masyarakat awam dalam menerima informasi

Kekosongan akan literasi, dan budaya verbal masyarakat menjadikan masyarakat Indonesia khususnya mudah menjadi sasaran korban berita berita bohong (Hoaaxx). Apalagi berita berita pencitraan yang tertata sistematik menggunakan menajemen political marketing yang masive dan terstruktur melalui bombardir berita baik cetak, elektronik dan on line

Masyarakat akan kehilangan nalar objektifnya dalam memahami setiap isu yg berkembang. Parameter kebenaran yg mereka gunakan adalah bukan parameter nilai atau kebenaran. Tapi keyakinan, harapan, dan kesesuaian dengan kepentingan kelompoknya

Karena itulah informasi viral bisa mengalahkan sebuah kebenaran. Kebenaran direlativasi menjadi fakta alternatif yang sebenarnya itu adalah kebohongan terencana. Dan si perencana kebohongan akan selalu bermain di titik harapan dan keyakinan pengikutnya, dengan memainkan angka-angka akrobatik statistik kamuflase, yang akan di olah sedemikian rupa menjadi sebuah data yang seolah kredibel melalui kelembagaan yang notabone-nya dibawah kendalinya. Sebuah data, bahasa, kekuasaan, sangat efektif menjadi instrumen kebohongan yang terencana dalam menjustifikasi dan membajak sebuah kebenaran untuk membalik sebuah data kebohongan menjadi kebenaran, dan fakta hakiki kebenaran di reduksi menjadi kebohongan (Logical Fallacie).

Sebuah situasi sosial politik dimana fakta ditutupi dengan kebohongan kebohongan yang dibiarkan secara sistematis, ini semualah yang para ahli sebut dengan istilah “Post truth…”.

Dan “Post Truth” hanya bisa ditangkal dengan budaya literasi dari masyarakatnya. Kalau dalam bersosial media, ketersediaan digital literasi sudah menjadi sebuah keharusan agar masyarakat tidak lagi mudah terprovokasi dan terpengaruhi oleh berita hoax. Hoax boleh dikatakan sebagai anak dari Post Truth yang ditata sedemikian rupa melalui fallacie logical yang sistematis melalui strategi political engineering yang apik.

(Anton Permana. Lemhannas RI, Jakarta 02 Agustus 2018).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *