Jakarta

Sekjend LPPKP Protes Keras Terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

JAKARTA, – Sekjend LPPKP (Lembaga Pengkajian dan Peningkatan Kapasitas Pemerintah) Marulitua Sianturi, SH melayangkan protes mengenai salah satu pasal dalam Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang dijadikan usul inisiatif DPR RI dalam pembahasan proses legislasi nasional.

Marulitua Sianturi, SH mengatakan, sekolah minggu bukan bagian dari pendidikan formal. Melainkan ibadah untuk anak-anak dalam bentuk pengajaran. Marulitua menyarankan, lebih baik sekolah minggu tidak dimasukkan ke dalam aturan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

“Atur saja khusus untuk Pesantren, jangan dimasukkan sekolah minggu di sana (RUU Pesantren dan Pendidikan Agama),” ujar Marulitua di Jakarta, Selasa (30/10/2018).

Dalam Pasal Krusial RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Pasal 69 di ayat (1) (1) Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis.

(2) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh gereja, organisasi kemasyarakatan Kristen, dan lembaga sosial keagamaan Kristen lainnya dapat berbentuk satuan pendidikan atau program.

(3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.

(4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Namun dua ayat berikutnya (3) dan (4) menjadi pertanyaan besar dari Sekjen LPPKP Marulitua Sianturi, SH dimana RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tersebut juga mengatur pendidikan agama di luar Islam, pungkasnya.

“RUU ini masih perlu dimaksimalkan dan perlu masukkan dari pimpinan agama,” kata Marulitua Sianturi, SH.

Aturan ini dinilai tak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja di Indonesia. Menurut Marulitua Sianturi, pendidikan Sekolah Minggu dan Ketekisasi merupakan bagian hakiki dari ibadan gereja yang tidak dibatasi oleh jumlah peserta, serta tidak perlu membutuhkan izin karena merupakan bentuk beribadat.

Dan perlu diingat bahwa pengaturan mengenai Sekolah Minggu dan Katekisasi pada RUU Pesantren adalah langkah mundur dalam jaminan menjalankan ibadah beragama di negeri ini.

Pada hakikatnya kebebasan beragama di Indonesia telah di lindungi oleh konstitusi yaitu di dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Begitu pula dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.” Selain itu dalam Pasal 28I “ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

“Ini juga suatu intervensi dalam menjalankan keberagamaan. Menjalankan keberagamaan biarkanlah diatur oleh agama masing-masing karna negara tidak berkompoten untuk melakukan intervensi pengaturan. Tidak sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945” tegas Marulitua Sianturi mengakhiri pesan rilisnya kepada media ini.

(M-B)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *