GIRIANG GIRIANG PERAK ( Oleh : Makmur Hendrik)
Jika anda belum baca bag 1 s.d bag 67
Sambungan dari bag 66…
tak salah. Namun menurut adat turun temurun, tak boleh tidak, Nuri haruslah menikah dengan lelaki yang telah memeluknya….”
Suasana jadi hening. Si Giring Giring Perak sendiri jadi tak tahu apa yang harus dia perbuat. Dia melirik pada Puti Nuri. Tapi gadis itu menunduk.
“Nah, kami tak ingin Puti Nuri menjadi gadis yang mendapat aib. Kami tak mungkin menanyakan pendapatmu. Keadaan sudah banyak berubah. Anak anak muda tak dapat lagi untuk dipaksa. Namun dari pihak Nuri, dia rela menjadi pesuruhmu, kalau engkau tak mau menjadikan dia seorang isteri….”
Orangtua itu kemudian menyodorkan di tikar ke hadapan si Giring Giring Perak sebuah cerana emas. Di atasnya terletak sebuah keris dan sebuah cincin. Keris itu juga keris emas, panjangnya dua jengkal.
Ini adalah pusaka turunan kami. Yang akan diterima oleh suami puteri kami. Ingatlah, bukan karena kesaktianmu, tapi karena adat menghendaki, maka saat ini kami serahkan anak kami padamu. Jika engkau mau menikahinya, saat ini juga kadi siap untuk dipanggil.
Tapi, jika boleh kami meminta, berikan waktu sepekan. Kami akan berhelat besar. Sebab, dialah anak perempuan kami satu satunya. Namun jika engkau tak suka, engkau boleh membawanya sebagai pesuruh. Jika itu pun tak engkau sukai, engkau boleh meninggalkannya di sini.
Jika kelak engkau sudah mengambil keputusan, akan menceraikannya sebelum engkau nikahi, atau akan menikahinya, maka kembalilah kemari. Kami tahu, banyak tugasmu yang belum engkau selesaikan. Atau barangkali, ada gadis lain di hatimu. Terimalah keris dan cincin ini. Pertanda penyerahan anak gadis kami….”
Di akhir ucapannya ini, bangsawan itu suaranya terdengar jadi serak. Puti Nuri sendiri terdengar menangis terisak. Si Giring Giring Perak jadi terkejut dan pucat. Benar benar tak dia duga hal semacam ini akan terjadi.
Tak pernah terpikirkan sedikit pun di hatinya. Benar benar tak pernah Rumah itu jadi sepi. Yang terdengar hanya isak Puti Nuri.
“Maafkan saya, Tuanku. Kiranya saya telah berlaku lancang terhadap Puti….”
“Jangan minta maaf. Engkau tak bersalah. Percayalah, kami malah bersyukur engkau menyelamatkan anak kami. Bahkan kami berdoa pada Tuhan, semoga anak kami berkenan di hatimu, untuk dijadikan teman hidup….”
“Saya tak berani menerima penghormatan yang begini besar….”
“Tak ada yang memaksamu anak muda. Tak seorang pun. Kami hanya menjalankan apa yang bisa dijalankan menurut adat kami. Jika yang berbuat itu adalah anak kemenakan kami, maka kami bisa memaksanya. Atau menjatuhkan hukuman bila dia bersalah. Tapi engkau bukan anak kemenakan kami. Bak orang terpegang di keris, engkau terpegang di hulunya, kami di matanya….”
“Maafkan saya, Tuanku. Saya….”
Dia terhenti, karena Puti Nuri tiba tiba bangkit dan berlari ke biliknya, anak muda ini benar benar dibuat tak bisa berkutik. Apa jawab yang harus dia berikan. Ini bukan soal suka atau tak suka. Tapi soalnya dia belum siap untuk menikah. Dan kalaupun harus menikah, bukankah masih ada cara lain yang bisa ditempuh?
Dia teringat pada Siti Nilam, gadis yatim piatu yang kini tinggal bersama Datuk Sipasan di Balingka. Ah, kalau dia menikah, apa akan kata Siti Nilam? Tapi kalau kini dia menolak, apa kata Puti Nuri?
Ya, lebih baik dia bertanya pada Puti Nuri. Nampaknya ini semacam paksaan. Gadis itu pasti tak hendak menikah dengannya. Ia seperti dipaksa oleh orang tuanya. Dan orangtuanya sendiri, nampaknya hanya terpaksa oleh adat. Aneh, dia baru kali ini mendengar adat yang model begini.
“Maafkan saya Tuanku…” kalau diperkenankan saya ingin bertemu dan bicara dengan Puti….”
“Silahkan. Secara agama dia memang belum isteri Sutan. Tapi secara adat, dia sudah seperintah Sutan….”
“Saya rasa, besok saya akan bicara dengannya….”
“Saya rasa begitu juga baik. Kini mohon diterima keris dan cincin ini….”
Dia jadi tertegun lagi. Kalau dia terima pemberian itu, bukankah itu suatu pertanda, bahwa dia menerima ikatan jodoh tersebut? Bagaimana dia bisa menerima ikatan jodoh itu, kalu dia tak tahu sikap Puti Nuri?
Kalaupun dia bisa menerima, tetapi gadis itu menerimanya hanya karena takut aib disebabkan mereka telah melanggar adat, maka penerimaan demikian bukankah hanya suatu paksaan?
Rajo Tuo, ayah Puti Nuri nampaknya bisa membaca apa yang sedang dia pikirkan. Kembali orangtua berwajah anggun ini bicara.
“Tak usah cemas anak muda. Telah kami katakan, engkau tak terikat untuk menepati permintaan kami. Meskipun keris dan cincin ini telah engkau terima. Bila engkau tidak berkenan, engkau bisa meninggalkan saja benda benda ini di mana saja. Atau mengembalikannya pada kami
Tapi bila engkau menyukai keris dan cincin ini, meski tidak menyukai anak kami, engkau bisa membawanya. Dan kami akan tetap merasa bangga, engkau bersedia menerima pemberian kami….”
Si Giring Giring Perak menjadi malu. Betapa dia akan bisa menerima cincin dan keris dari emas murni itu kalau dia tak akan menerima Puti Nuri sebagai calon isterinya?
Maafkan saya, Tuanku. Tidak ada terniat pada diri saya untuk mengecewakan Tuanku sekeluarga. Puti Nuri dan pemberian ini, amat berharga jika dibandingkan dengan diri saya yang sebatang kara.
Jika kelak saya terpaksa mengembalikan keris dan cincin ini, yakinlah Tuanku, bahwa itu akan saya lakukan dengan hati yang amat berat dan semata mata karena takdir tidak mempertemukan kami. Tapi bila saya menerimanya, maka yakin pulalah Tuanku, bahwa itu saya lakukan bukan karena saya terpaksa.
Bukan karena saya tidak menghargai adat Tuanku, tak satu pun yang bisa memaksa saya. Kalau saya menerima ikatan ini, itu semata mata karena saya memang mencintai Puti Nuri dan karena dia juga mencintai saya. Tak bisa lain daripada itu.
Oleh karena itu, sebelum saya sampai pada putusan yang amat penting bagi diri saya, terutama bagi Puti Nuri ini, maka saya mohon untuk dapat bicara sendiri dengan Puti….”
Rajo Tuo menarik nafas lega. Demikian pula Datuk Nan Hitam, mamak Puti Nuri. Hampir serentak mereka mengucap Alhamdulillah. Datuk Nan Hitam membakar kemenyan di pedupaan. Asapnya mengepul. Baunya memenuhi ruangan.
Rajo Tuo membaca doa, yang lain mengaminkan. Dan sampai di sana sidang keluarga bangsawan itu pun berakhir. Si Giring Giring Perak menerima keris emas dan cincin belah rotan dengan ukiran burung elang itu. Kemudian melangkah ke bilik depan yang telah disediakan untuknya.
Dia tak bisa tidur sepicing pun. Kepalanya jadi pusing. Bagaimana dia akan menerima ikatan jodoh ini? Dan bagaimana pula caranya untuk menolak? Ini bukan soal cinta atau tidak cinta. Bagaimana harus mengatakan cinta, sedangkan kenal saja baru pagi tadi.
Terus terang saja, hatinya memang menyukai gadis itu. Dia menyukainya tatkala pertama kali dilihatnya gadis itu dalam pelukan sersan Belanda yang berniat melarikannya pagi tadi di Pasar Banto.
Dan sampai pun ketika mereka berhenti di tepi sungai kecil dalam rimba, membakar ikan, dia makin menyukainya. Masih dia ingat betapa gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahunya tatkala mereka berkuda menuju pulang. Rambutnya yang harum membelai wajahnya ketika angin tertiup kencang karena lari kuda.
Tapi, itukah yang dinamakan cinta? Letaklah dia mencintai Nuri, eh Puti Nuri, hmm, ini juga di luar dugaannya. Tak dia sangka bahwa gadis itu adalah seorang Puti. Turunan Raja. Tapi dia menyukainya bukan karena dia Puti. Melainkan karena dia perempuan.
Nah, letaklah dia mencintainya, tapi bagaimana dengan gadis itu sendiri? Adakah dia juga menaruh perasaan yang sama? Ah, dia menangis dan berlari ke dalam tatkala runding itu sedang berlangsung tadi.
Kenapa harus menangis dan lari ke dalam? Bukankah itu suatu pernyataan sikap bahwa dia tak menyetujui rundingan yang dibuat keluarganya? Dia jadi kasihan pada Puti itu. Apakah artinya kebangsawanan, kalau untuk menyatakan pendapat tentang siapa yang disukai saja tak bisa?
Alangkah mahalnya harga kebangsawanan itu. Dia jadi ingat pada Siti Nilam. Sedang mengapa gadis Pariaman itu kini di Balingka? Masih dia ingat betapa gadis itulah yang mengobati lukanya setelah perkelahian dengan Pandeka Sangek di rimba Silaiang beberapa bulan yang lalu.
Dia jadi demam karena luka bekas cakaran kuku Pandeka Sangek yang berbisa itu. Selama dia demam di rumah Datuk Sipasan, Nilamlah yang merawatnya. Gadis itu meramu obatnya. Menyuapkan bubur dan nasi. Mengurus dirinya dengan penuh kasih sayang.
Mereka memang belum pernah menyatakan isi hati mereka. Tetapi dia merasakan sayang yang amat dalam pada gadis yatim piatu itu. Dia juga yakin, Siti Nilam menaruh rasa sayang padanya. Tatapan mata dan sikap gadis itu selama ini menyatakan hal itu semua.
Tidak hanya itu, bahkan semua pengungsi dari
Bersambung ke 68…
Foto diatas bukan Puti Nuri ataupun Siti Nilam, tapi foto Lisda Hendrajoni caleg DPR RI dari Partai Nasdem..