Artikel

SEANDAINYA PANCASILA JADI HAKIM dan PANGLIMA (Oleh : Anton Permana.

I. PENDAHULUAN.

Kisruh penyelenggaraan Pemilu/Pilpres serentak yang memakan korban ratusan jiwa, adalah catatan buruk perjalanan roda demokrasi dinegara kita. Kerusakan paranata sosial ditengah masyarakat yang terjadi akibat polarisasi emosional antar dukung mendukung kandidat presiden menjadikan wajah demokrasi kita hari ini terburuk sepanjang sejarah. Penuh caci maki dan bully membully.

Tidak hanya korban nyawa dan biaya yang habis puluhan trilyun. Tetapi energi bangsa ini terkuras habis dan berujung kepada perpecahan yang sangat tajam dan dalam ditengah masyarakat. Pemerintah begitu represif kepada rakyatnya, rakyat juga krisis kepercayaan (kecewa) kepada pemerintahnya. Masyarakat terbelah antara kubu yg pro pada penguasa dan yg anti pada penguasa alias oposisi. Padahal secara instrumen politik tidak ada istilah pro atau oposisi dalam sistem perpolitikan Indonesia.

Apakah ini wajar terjadi ? Apakah ini memang bahagian dari dinamika demokrasi an-sikh ?Sehingga reformasi yang kita cita-citakan membawa kebaikan dan kenyamanan dalam pengelolaan roda pemerintahan yg transparan, akuntabel serta profesional bisa terwujud untuk masyarakat ?

Membangun negara tidak cukup hanya dengan membangun fisik kapital semata. Konsepsi negara Indonesia yg konstitusional adalah bagaimana menciptakan masyarakat yg adil dan makmur. Dengan misi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia sesuai pembukaan UUD NRI 1945 alinea 2 dan 3. Artinya konstitusi negara kita menekankan sebuah visi dan misi pengelolaan negara berdasarkan kepada sebuah NILAI luhur yang semestinya dapat menjadi ‘guidance’ atau instrumen bernegara yang hakiki. Sebuah NILAI yg menjiwai setiap pelaksanaan amanat pengelolaan negara (pemerintah/user) yg mempunyai daya gerak, daya ungkit, daya proteksi, serta daya kontrol sosial agar setiap individu dan institusi menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan benar. Sehingga dengan penerapan nilai-nilai ini dalam menjalankan roda pemerintahan dapat menghasilkan persatuan, kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah sumber nilai itu ? Jawabannya adalah PANCASILA.

Secara filosofis holistik. Pancasila adalah sebuah bentuk abstraksi nilai luhur bangsa Indonesia yang diformulasikan kedalam bentuk kumpulan norma hukum, norma sosial, dan adab budaya berupa 5 (lima) sila lengkap dengan kristalisasi pedoman butir-butir uraian terjemahannya. Norma dan nilai-nilai yg termaktub dalam Pancasila inilah yg seharusnya dapat menjadi ruh dan sumber hukum pengelolaan negara. Ini kalau kita berbicara secara idealnya.

Sedikit “ flashback “ kebelakang. Sebagai negara yang lahir dari sebuah perjuangan yg berat dan berdarah-darah. Para founding father bangsa kita dulu dimasa awal kemerdekaan, sangat brilian dan peka akan membaca kondisi bangsa ini kedepan. Bagaimana sebuah negara yg begitu luas, begitu majemuk, dapat berjalan menembus pusaran badai gelap berkompetisi sejajar dgn negara-negara dunia dalam menjalankan geopolitik dan geostrateginya masing-masing. Untuk itu salah satu dasar lahirnya rumusan Pancasila itu adalah, untuk menjadi ‘jalan tengah’ ideologi negara dari tarikan berbagai kutub kekuatan ideologi dunia yg sampai sekarang saling berkompetisi untuk saling menguasai dan pegang hegemoni didunia.

Baik itu kutub konservatif (negara yg bersumberkan kepada nilai agama dan budaya lokalnya) maupun liberal dan sosialis (negara yg menjunjung tinggi nilai kebebasan dan pemikiran manusia / memisahkan urusan negara dgn agama).

Benturan kutub-kutub kekuatan ideologi dunia ini sampai sekarang masih terus berjalan. Bahkan semakin tajam. Kalau meminjam istilahnya Samuel Huntington “ The clash of civilization “ (perang peradaban) masing kutub ideologi dunia ini dibagi secara garis besar seperti ; kapitalisme-liberalisme (barat), sosialisme-komunisme-atheisme (China-Rusia-Korut), dan Islam.

Kenapa hal ini penting penulis sampaikan kembali. Karena bangsa kita mesti paham bagaimana urgensi historikal dari sebuah penetrasi pengaruh tarikan kutub ideologi dunia ini yg selalu berupaya untuk mempengaruhi bahkan menguasai dunia termasuk Indonesia untuk dijadikan bahagian dari hegemoninya. Tujuannya apa ? Agar Indonesia tunduk dan patuh dalam memenuhi segala kepentingan, kebutuhan, keinginan mereka. Karena perang era moderen sekarang ini, tidak saja berupa ancaman perang fisik (symetric war), tetapi juga perang non-fisik (asymetric war) yaitu perang ideologi, perang budaya, perang ekonomi, bahkan perang digital. Bedanya, perang simetris menggunakan kekuatan militer membutuhkan biaya dan energi yg begitu besar, sedangkan perang era moderen yaitu perang asymetris cukup dgn operasi khusus tersistematis menguasai sistem politik sebuah negara, menginfiltrasi ideologi negara plus pemerintahannya, menggeser prilaku sosial budayanya, mendesign regulasi hukum negara, memguasai aset-aset vital ekonomi negaranya, dan menghancurkan tatanan sosial karakter bangsanya (national caracter) agar mudah terpecah belah, lemah, untuk kemudian mudah dikuasai.

Ancaman perang militer fisik dan non-fisik (tidak tampak) ini, sebenarnya sudah diprediksi oleh para pendiri bangsa ini sejak dulu. Untuk itulah, para funding father kita ini merumuskan sebuah tatanan nilai yang bernama PANCASILA, yg diharapkan dapat menjadi jalan tengah, payung untuk merangkul perbedaan menjadi satu, dan juga sebagai “ role of law “ agar terciptanya One Vision, One Mision, dan One Value bangsa Indonesia menuju negara yg adil dan makmur. Sesuai amanah konstitusi UUD NRI 1945.

Nah, pertanyaanya ada kepada kita sekarang. Apakah harapan dan cita-cita para pendiri bangsa ini sudah terwujud sekarang ini ? Apakah Pancasila sudah dijadikan sebagai dasar nilai dalam pengelolaan negara ? Apakah setiap tindak prilaku pemerintahan, serta prilaku rakyat Indonesia hari ini sudah ber-Pancasila ????

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu kita tak bisa secara emosional dan ego sektoral. Mari kita bersilancar sejenak menyelami dan memaknai nilai Pancasila dengan mengurai satu persatu Sila nya dalam pembahasan singkat dibawah ini.

II. PEMBAHASAN.

1. KETUHANAN YANG MAH ESA.

Sila pertama ini memberikan makna kepada kita bersama, bahwa negara Indonesia mengakui adanya TUHAN. Artinya, TUHAN adalah symbol holistik dari sebuah nilai spritual agama yang tertinggi di Indonesia. Negara Indonesia secara tegas mengakui agama sebagai salah satu sumber hukum, sumber nilai, dalam menjalankan pemerintahannya. Hal ini diperkuat lagi dengan UUD NRI 1945 pasal 29 (ayat) 1 dan 2 yang berbunyi, “ Negara Indonesia Berdasarkan Kepada KeTuhanan Yang Maha Esa “. Dan selanjutnya , “ Negara Menjamin Kemerdekaan Setiap Penduduk Untuk memeluk dan Menjalankan Agama serta Kepercayaannya, Sesuai Dengan Agama dan Kepercayaannya Masing-Masing “.

Dalam bahagian ini sangat tegas dan dijelaskan bahwa, tidak ada alasan apapun untuk negara memusuhi agama. Artinya, negara dan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Justru agama dapat dijadikan refrensi utama dan sumber hukum utama dalam pengelolaan negara.

Jadi sangat disayangkan ketika terjadi upaya sistematis untuk membentuk “ framing “ seolah negara dan agama harus terpisah, malah seakan dibenturkan seolah agama itu adalah ancaman. Apapun nama agama dan bentuk alirannya.

Untuk itu, negara berkewajiban menjaga dan memelihara agama berserta symbol, ajaran, dan ummatNYA agar tetap harmonis tanpa diskriminasi. Negara harus menghormati, peka dan selektif dalam mengelola isu yg terkait dengan agama. Jangan sampai, negara terjebak upaya sistematis sebuah kekuatan “ Invisible Hand “, dari luar yang membenturkan negara dgn agama atau sampai agama seolah menjadi musuh ancaman negara. Karena apabila negara jauh terpisah dari agama, sama saja dengan membiarkan negara itu berjalan tanpa nilai, tanpa “ guidance “ spritualitas yg bisa berbahaya dan rentan menjerumuskan negara kedalam jurang soft-atheisme super liberalis.

2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB.

Isu kemanusiaan adalah isu sensitif bagi bangsa Indonesia. Karena pernah mengalami fase sejarah begitu pahit getirnya masalah kemanusiaan ratusan tahun dibawah masa penjajahan. Untuk itu, masalah kemanusiaan mesti menjadi preferensi utama negara dalam menjalankan pemerintahan. Narasinya sangatnya jelas.

Jangan sampai terjadi lagi tragedi kemanusiaan di bumi pertiwi. Karena bangsa ini sudah merdeka. Jangan sampai ada lagi satu nyawa pun yang terzalimi, hilang begitu saja tanpa sebab. Negara harus menjamin keamanan, keselamatan, setiap nyawa yang hidup di atas bumi Indonesia. Kenyamanan maksudnya adalah : bagaimana seluruh rakyat Indonesia dapat hidup tenang tanpa ada rasa takut, mendapatkan persamaan perlakuan yg berperi-keadilan, tanpa ada lagi penganiayaan, adanya perlindungan hukum, kesetaraan perlakuan dimata hukum, dan bebas dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi oleh siapapun juga.

Bangsa Indonesia harus dapat merasakan nikmatnya suasana kemerdekaan yang adil dan beradab. Karena kemanusiaan adalah fitrah, keadilan adalah hak, dan beradab itu adalah strata nilai keniscayaan harapan sebuah bangsa yang terhormat dan bermartabat. Dan itulah makna esensial dari Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (humanity order).

3. PERSATUAN INDONESIA.

Karakteristik bangsa Indonesia itu adalah kemajemukan dan keberagaman. Kemajemukan dalam suku bangsa dan bahasa, keberagaman dalam bentuk sosial prilaku dan kewilayahan yang begitu luas. Telah hidup dibumi Indonsia 700an ragam suku dan 1105 macam bahasa. Yang tersebar di 17 ribu pulau yang membentang seluas 5 juta kilometer baik darat maupun lautan.

Secara kultural, sebenarnya secara umum bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa berkultur feodalistik ala kerajaan yang kemudian bermetaforsa menjadi sebuah negara moderen berbentuk republik yang diadobsi dari pemikiran barat.

Oleh karena itulah, masalah persatuan menjadi salah satu tonggak utama dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena apa ?? Karena tidak mudah untuk menyatukan keberagaman nusantara yang begitu kaya ini dari sisi SARA (Suku, Adat, Ras, Agama). Butuh sebuah komitmen dan pengorbanan yg sangat besar yang telah dipelopori oleh raja-raja nusantara dimasa dahulu untuk kemudian memberikan mandat agar terbentuknya sebuah negara bangsa (nation-state) bernama Indonesia.

Dititik ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa Indonesia lahir dari mandat daerah (para raja nusantara), para syuhada, para pejuang, cendikiawan, ulama, kiyai, tokoh intelektual, yang bersepakat, satu nasib dan cita perjuangan untuk keluar dari belenggu penjajahan. Artinya, kesadaran persatuan ini muncul secara kolektif dan suka rela untuk bersama-sama membentuk sebuah negara. Karena hanya dengan persatuan seluruh nusantra inilah, akhirnya bangsa ini bisa merdeka.

Jadi sangat disayangkan, apabila masih ada dari kelompok dan bahagian anak bangsa ini yang masih mendikotomikan rakyat Indonesia kedalam isu SARA. Menstigmakan sebuah daerah dengan isu SARA untuk menyudutkan musuh politiknya. Karena Indonesia ini adalah milik kita bersama, milik seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada istilah dari suku mana, daerah propinsi mana, agama apa, warna kulit apa, pakai bahasa apa, bahkan istilah mayoritas dan minoritas pun tidak boleh digunakan kalau kita pahami makna esensial dari persatuan Indonesia ini.

Ketika para pendahulu kita bersepakat untuk menjadi SATU dalam bingkai NKRI, maka tak ada lagi perbedaan diantara kita dalam konsepsi bernegara. Apapun suku, agama, bahasa, warna kulit, status, jabatan kita.

Jadi sangat memilukan sekali, tiba-tiba saat ini ketika perbedaan pilihan politik merusak rasa persatuan dan kebersamaan bangsa Indonesia. Perbedaan garis politik dikelola menjadi alat propaganda kekuasaan memecah belah bangsa. Siapa yang tidak sejalan dengan kepentingan politiknya, maka akan dijadikan musuh negara. Yang akhirnya terjadi adalah rezim kekuasaan partai politik yg seharusnya jadi bahagian instrumen politik bernegara, bergeser menjadi instrumen alat kekuasaan kelompok kepentingan tertentu. Pergeseran dari pemahaman pragmatisme politik inilah yang menjadi ancaman serius pemecah belah persatuan bangsa. Dan ini mesti dihentikan segera demi persatuan Indonesia. Apapun kepentingan individu dan kelompok wajib tunduk dibawah kepentingan bersama atas nama persatuan Indonesia.

IV. KERAKYATAN YG DI PIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN DAN PERWAKILAN.

Konstitusi negara Indonesia menjadikan kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Karena negara ini lahir dari rahim rakyat. Dari perjuangan rakyat seluruh nusantara. Indonesia terbentuk tidak dari sebuah hadiah kemerdekaan ataupun penaklukan oleh kolonialisasi. Dan Indonesia adalah salah satu dari 3 (tiga) negara di dunia yg merdeka dari perjuangan senjata (Vietnam, Aljazair).

Artinya. Kedudukan hukum rakyat jelas berada diatas kekuasaan negara. Daulat tertinggi negara Indonesia berada ditangan rakyat yg dijewantahkan melalui hikmah kebijaksanaan (value morality/wisdom) perwakilan dan permusyawaratan (harmonisasi musyawarah/humanity deligecy/self-help/coorporate) yang diatur oleh Undang-Undang dan tata kelola pemerintahan dalam prinsip negara demokrasi.

Esensi kerakyatan dalam tata kelola negara Indonesia menjadikan rakyat sebagai pemegang saham terbesar dari negara. Adagium inilah yg menginspirasi jargon TNI sebagai alat pertahanan negara dengan istilah, “ Bersama Rakyat, TNI Kuat “. Sebagai bentuk penghormatan (legacy) TNI kepada ibu kandung negara yaitu rakyat.

Sedangkan makna permusyawaratan dan perwakilan yang dimaksud adalah, bahwasanya untuk mendelegasikan wewenangnya secara konstitusional, rakyat mengamanatkan kekuasaan pengelolaan negara kepada pemerintah (executive), serta DPR/MPR/DPD/DPRD sebagai legislatif dan penegakan hukum (judicative) kepada Kejaksaan, Hakim, dan Polri. Siapakah perwakilan itu (legislatif) kalau kita selami lebih dalam yang paling tepat itu adalah para utusan daerah, golongan, kerajaan nusantara, yg sejatinya pemilik saham dan pemegang mandat atas negara ini.

Namun seiring bergulirnya era reformasi, entitas inti bangsa Indonesia yg terbentuk dari mandat daerah, kerajaan nusantara, kelompok dan golongan ini “ ter-liberalisasi “ menjadi partai politik. Jadi kita jangan heran dan kaget, fakta hari ini kekuasaan hegemoni politik negara kita didominasi dan dikendalikan oleh oligarki rezim partai politik. Partai politik lah pemegang kekuasaan negara hari ini. Bukan rakyat.

V. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA.

Selaras dengan visi bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur (pembukaan UUD NRI 1945). Kata ‘adil’ disini penekanannya adalah pada “ Social-justice “. Keadilan sosial yg meliputi segenap ruang hidup bangsa Indonesia. Mulai dari bidang kesejahteraan, ekonomi, sosial budaya, hukum, kehidupan layak, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan seterusnya.

Musuh dari keadilan sosial ini adalah kemiskinan, kebodohan, stunting, diskriminasi dan kriminalisasi hukum. Negara yg diberikan mandat oleh rakyat, wajib hukumnya menggunakan segala daya potensi negara untuk mensejahterakan rakyat yg berkeadilan. Tentu tanpa mengabaikan azas profesionalitas dan proporsionalitas. Karena berlaku adil itu bukan berarti pro-rata (merata), tetapi proporsional (seimbang).

Begitu juga dalam kehidupan sosial politik. Tidak boleh terjadi tebang pilih dalam penegakan hukum. Negara harus memegang prinsip hukum “ equality before the law “. Yaitu : Kesamaan hak dan kedudukan setiap warga negara didepan hukum. Jangan sampai antagonis. Hukum tajam kebawah, tumpul keatas. Warga negara sama dihadapan hukum, tapi ‘berbeda didepan penegak hukum’.

Keadilan sosial yg dimaksud inilah, yang perlu menjadi catatan khusus wajah demokrasi kita hari ini. Ketika ada pergeseran pemahaman perbedaan antara negara (National state/country state) dengan pemerintah (govermment) pemerintah dengan kekuasaan, kekuasaan (authority power) yg didelegasikan rakyat (people) kepada sistem politik (political of law system). Padahal secara konstitusi kekuasaan tertinggi itu ada ditangan rakyat, dan konstitusi dibuat untuk mengekang kekuasaan. Bukan sebaliknya.

Kenapa perlu ini disampaikan, karena ada pemahaman keliru bahwasanya negara-pemerintah-penguasa-partai politik itu adalah satu kesatuan kekuasaan yg memegang penuh power of authority atas negara. Kelompok kekuasaan ini adalah negara. Ini jelas pemahaman keliru dan berbahaya. Dan pemahaman ini sangat bertentangan dgn prinsip dasar negara Pancasila dan UUD NRI 1945. Yaitu kedaulatan ada ditangan rakyat, dan ada pemisahan (bukan pembagian) antara kekuasaan dgn negara, negara dgn pemerintah, dan partai politik. Kalau tidak dipisahkan maka akan rentan terjadi “ abuse of power “. Yg artinya Indonesia kembali mundur ke zaman otoritanism totalitarian.

III. KESIMPULAN.

Dari pembahasan singkat diatas, penulis sengaja mengingatkan kita semua kembali tentang urgensi pentingnya PANCASILA kembali menjadi HAKIM dan PANGLIMA dalam kehidupan bernegara kita hari ini.

Propaganda dan manuver politik yg brutal bebas nilai hari ini, menjadikan kita sulit membedakan entitas sebuah kebenaran yg sejatinya benar. Semua pihak dan kubu merasa benar. Wasit juga jadi pemain. Rakyat bingung harus percaya kepada siapa lagi, karena hampir semua sendi negara terjebak dalam politik praktis kekuasan. Trias politika kita hari ini lumpuh. Media jadi partisan. Akhirnya kebenaran pun dikontrol dan dikendalikan oleh siapa yg memegang kendali kekuasaan. Dan sekali lagi ini berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia kedepannya.

Tapi seandainya nilai-nilai PANCASILA kembali jadi hakim (penjaga keadilan) dan hukum jadi panglima yg menjiwai setiap detak jantung pemimpin kita hari ini, insyaAllah bangsa ini akan maju berdaulat menuju negara yg adil, makmur dan sejahtera.

Kita tidak peduli lagi siapa yg akan menang atau kalah dalam setiap kontestasi politik melalui Pemilu/Pilpres. Karena negara sdh berjalan “ by system “. Karena ciri negara kuat itu dalam theory paradigma negara adalah, ketika pengelolaan negaranya sdh by system (strong state).

Untuk itu mari, Pancasila kita optimalkan kembali sebagai falsafah negara yg menjadi standarisasi nilai implementasi pengelolaan negara. Karena sejatinya, Pancasila itu adalah “ abstract “. Dimana mau jadi hitam-putih, jantan-betina, hidup-mati, nya Pancasila itu tergantung komitmen para “ User “ yaitu pemerintah atau pemegang kekuasaan (pemimpin). Jangan justru sebaliknya. Pancasila hanya dijadikan symbol propaganda, dan alat pemukul (gebuk) bagi pihak yg bersebrangan dgn kekuasaan tanpa memahami apa makna holistik dari Pancasila. Dan kalau ini terjadi, berarti para pelaku itu adalah para pengkhianat negara yg telah mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa dan rakyat sebagai pemegang daulat. Wallahu’alam.

Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan pemahaman kita bersama, untuk kembali berdiri ditengah. Berkumpul bersama dalam sebuah rembuk dan rekonsiliasi nasional. Hilangkan perbedaan, dendam, serta perpecahan yg begitu dalam. Karena sebenarnya kita adalah satu bangsa, satu jiwa, satu cita-cita untuk keutuhan NKRI. Dan mari kita jadikan kembali Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa yg hakiki dan final. InsyaAllah. Salam Indonesia Jaya !.

Jakarta 21 Juni 2019.

(Penulis adalah pemerhati sosial-politik dan Alumni PPRA LVIII Lemhannas RI Tahun 2018).

Artikel ini menjadi tanggung jawab penulisnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *