Hukum

Sisi Lain Dari Kisah Vonis Hakim Syuraih al-Qadhi

Hakim Syuraih al-Qadhi dia sangat terkenal adil dan tak pernah memihak pada atasannya.
Dia memutuskan perkara sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Vonis hukum yang terkenal berani dan tidak memihak dari Hakim Syuraih al-Qadhi dinukilkan dalam kisah vonis baju besi Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Hakim Syuraih al-Qadhi memvonis baju itu menjadi milik si Yahudi, meskipun seantero Mekkah orang pada waktu itu tahu baju tersebut memang milik Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Hakim Syuraih al-Qadhi sendiri sangat yakin bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak pula mungkin berdusta. Tak mungkin Khalifah Ali bin Abi Thalib mengatakan barang yang bukan hak milik beliau.

Tapi, karena sang hakim mengadili perkara sesuai dengan kaedah hukum yang berlaku maka dia memenangkan si Yahudi.

Khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagai pihak yang kalah dalam perkara a quo, menerima dengan ikhlas vonis yang diputuskan hakim Syuraih al-Qadhi.

Kisah kasus Sengketa Baju Besi Khalifah Ali bin Abi ini menjadi rujukan sampai saat ini bagi para hakim dalam memutus perkara yang mereka sidangkan dan menjadi bahan kuliah bagi para dosen sebagai pengantar ilmu hukum di Fakultas Hukum.

Kembali kepada kisah vonis hakim Syuraih al-Qadhi, keikhlasan Khalifah Ali bin Abi Thalib menerima vonis ternyata menyadarkan si Yahudi untuk mengakui bahwa Baju Besi itu memang milik Khalifah.

Si Yahudi mengaku bahwa baju besi itu dia pungut ketika baju itu terjatuh dari kuda Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Ending dari kisah ini si Yahudi mengembalikan baju besi kepada Ali bin Abi Thalib

Apakah baju itu diambil kembali oleh Khalifah?

Kalau diambil bukan Khalifah ar-Rasyidin Ali bin Abi Thalib itu, justru Khalifah Ali bin Abi Thalib memeberikan kudanya untuk lawan yang telah mengalahkannya dalam sengketa tersebut.

Si Yahudi pada akhirnya mengucapkan kalimat syahadat. Dia masuk Islam dan mati sebagai syahid dalam sebuah peperangan.

ooOoo

Bagaimana kisah Baju Besi Khalifah Ali bin Abi Thalib?

Silahkan lanjutkan membacanya.

Artikel ini kami kutip dari media Republik.co.id.

Banyak kasus yang ia tangani berakhir dengan sangat menakjubkan tanpa ada perpecahan di antara banyak pihak. Pengalaman perselisihan juga dialami Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Alkisah, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. “Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’,” kata Ali.

“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.

“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”

“Di antara kita ada seorang hakim Muslim.”

“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”

Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”

“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”

Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”

“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”

“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”

“Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”

“Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

Tepat
Keputusan Umar untuk mengangkat Syuraih sebagai hakim di Kufah amat tepat. Tinta emas sejarah mencatatnya sebagai hakim adil dan bertakwa. Syuraih adalah seorang lelaki Yaman dari suku al-Kindi.

Saat Jazirah Arab disinari cahaya Islam dan menyebar hingga ke negeri Yaman, Syuraih termasuk orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasulnya. Bahkan, ia termasuk orang yang memenuhi panggilan dakwah Islam.

Syuraih menjalankan amanah dan menegakkan keadilan itu selama 60 tahun lamanya. Di depan peradilan, ia tak pernah mengistimewakan pejabat atau kerabatnya sendiri.

(YY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *