.

MEMAKNAI NILAI MORALITAS MASA KECIL DAN POLITIK HARI INI (Oleh : Anton Permana)

Ada yang terlintas tiba-tiba didalam benak pikiran penulis hari ini. Ketika pasca pembacaan putusan MK selesai, seharusnya polemik tentang kasak-kusuk pilpres sudah berakhir. Namun ternyata tidak. Masing kubu kayaknya sulit berhenti melemparkan statemen panas yang provokatif satu sama lain. Salah satunya adalah tentang masalah perlu tidaknya sebuah pengakuan dari paslon 02 kepada paslon 01 yang telah ditetapkan menjadi pemenang Pilpres.

Bagi kubu 01 menganggap seharusnya paslon 02 legowo dan ucapkan saja pengakuan atas hasil putusan MK. Karena putusan MK tersebut final dan mengikat. Secara ‘legal konstitusional’ paslon 01 adalah sah untuk dilantik menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2019 – 2024. Dan tidak seharusnya lagi ada kata-kata seakan tak mau membuat pengakuan dan ucapan selamat kepada paslon 01 atas nama persatuan dan kesatuan.

Begitu juga sebaliknya. Bagi kubu paslon 02, masalah kata atau ucapan selamat serta pengakuan adalah ‘hak’ dari kandidat paslon 02 mau mengucapkan atau tidak. Karena, bagi paslon 02 walaupun MK dan KPU bahu membahu untuk memuluskan kemenangan buat paslon 01 bersama aparat dan institusi negara lainnya, kubu 02 menganggap ‘legitimasi’ rakyat berada ditangan mereka. Karena merasa dikalahkan dengan cara curang. Walau bagaimanapun kubu 01 bersama para ‘dayang-dayang institusi’ pemerintahan menutupinya dengan seksama.

Dua gelombang argumentasi saling dilemparkan masing pendukung kubu baik disosial media maupun di talk show televisi. Hiruk pikuk ini seakan enggan berhenti bagaikan gemuruh suara ombak dilautan yang tak pernah lelah menghempas pantai dan batu-batu karang.

Pada momentum inilah, tiba-tiba penulis teringat kenangan masa kecil yang begitu indah, natural dan masih segar dalam ingatan sampai saat ini. Yaitu tentang bagaimana, suasana permainan masa kecil (sekitar tahun 1988 – 1996) masih jauh dari sentuhan teknologi dikampung penulis sebuah kota kecil bernama Payakumbuh. Tepatnya kelurahan Balai Nan Duo Nagari Koto Nan Ompek.

Sebagai bahagian dari generasi ‘X’ yang lahir tahun 1981. Penulis merasakan sebuah masa kecil yang sangat indah walaupun hidup apa adanya dan jauh dari kehidupan glamour ibu kota. Semua permainan boleh dibilang penuh kreasi, out door, dan natural. Sebut saja main kelereng, mancik-mancik (petak umpet), sepak tekong, main gambar, main kuaci, main lopis, main perang-perangan ala pejuang 45 lengkap dengan senapan pohon pisang plus ikat kepala merah putih yg menggunakan kacu pramuka.

Lebih hebboh lagi kalau bulan ramadhan datang. Jenis permainan makin seru dan beragam. Selain untuk ‘melengahkan’ haus dan lapar dengan bermain, juga sekalian jadi ajang alasan keluar rumah hingga waktu sahur untuk memukul tiang listrik atau meneriak kan sahur membangunkan masyarakat menggunakan toa masjid.

Berbagai bentuk permainan begitu ahli dan apik kita mainkan. Siapa yang rajin berlatih dan punya jam terbang banyak dalam permainan, biasanya akan jago dalam bermain.

Ada juga kita mengenal permainan tokok lele, perang meriam dari bambu, dan pacu golong-golong menggunakan ban bekas sepeda motor. Pokoknya, hampir segala jenis permainan “ tools “ dan perlengkapannya kita buat dengan kreasi sendiri dan upaya sendiri. Khusus permainan gambar, kuaci, dan kelereng. Karena bahannya buatan pabrik, ini kita mainkan dalam bentuk taruhan melalui adu skill kelereng main tiga lobang, cipotok babi pada kelereng. Main polok batu pada gambar, dan main ‘dopap’ pada kuaci. Amazing… Begitu indah, semangat, penuh tantangan dan juga sangat emosional membentuk jiwa kompetensi penuh kebersamaan diantara kita.

Kenapa hal ini penulis kaitkan dengan kondisi politik kita hari ini. Karena penulis merasakan saat ini sebuah pergeseran yang begitu jauh dan dalam telah terjadi ditengah masyrakat kita, khususnya dilingkungan penulis sendiri.

Apa intisari yang kita dapatkan dari kisah masa kecil diatas. Dibandingkan dengan kondisi politik kita hari ini adalah sebagai berikut :

1. Ada pergeseran NILAI dan MORALITAS antara masa kecil kita dulu dengan sekarang. Yaitu makna dari sebuah nilai persaudaraan. Kebersamaan. Gotong royong. Welas asih. Saling menghargai. Dan yang terpenting JUJUR dalam setiap keadaan walaupun itu dalam bentuk sebuah permainan anak kecil.

Kalau dulu seandainya ada saja ‘oknum’ yang bermain curang (galia) alias tidak JUJUR. Maka siap-siap akan disisihkan dan tak ada yang mau bermain karena curang tadi.

Perlakuan ini bagaikan sebuah hukuman sosial yang sangat menyakitkan bagi kita diwaktu kecil itu. Takut ditinggal bermain. Takut tak ada kawan bermain. Sehingga boleh dikatakan tak ada satupun yang berani main curang dalam bentuk apapun. Padahal kalau dipikir hari ini, semua aturan itu tak ada dalam bentuk tertulisnya. Hanya ada dalam pikiran dan komitmen bersama yang tidak tampak secara kasat mata. Tetapi begitu tertanam kuat didalam hati dan prilaku kita.

2. Namanya anak kecil, pasti juga tidak terlepas dari konflik dan perkelahian satu sama lain. Namun ajibnya kita dulu. Setiap perkelahian cukup diselesaikan dilapangan bermain itu saja. Tak ada pernah kita bawa-bawa ketumah atau orang tua dan rumah. Malah sehabis berkelahi, walaupun berdarah-darah, kepala benjol, hidung berdarah, namun semua bisa diselesaikan dengan hanya saling ‘mengkaitkan kelingking’ dan kemudian bermain kembali seperti biasa.

Kalaupun ditanya dirumah kenapa ada luka dan benjol, masing kitapun seakan sepakat menyembunyikannya. Kalaupunlah ketahuan, para orang tua akan menganggapnya biasa-biasa saja.

3. Dimasa kecil. Sehebat apapun kita bermain. Selengkap apapun peralatan bermain dan modal ‘tak’ bahan permainan kita. Tetapi kita tetap mengutamakan kebersamaan dan kesetaraan. Tak ada kita mengenal diskriminasi berdasarkan SARA. Kalau ada peralatan dan bahan berlebih, kita tak sungkan berbagi kepada yang lain. Dan paling bahagia kalau bisa berbagi dimana rumah kita dijadikan tempat ngumpul bermain.

Sebenarnya banyak lagi kenangan indah dan perbedaan nilai yang bisa dijelaskan. Namun, pada intinya adalah. Ternyata waktu, tahun, teknologi, informasi, budaya, telah banyak merobah kita. Telah banyak menggeser kita. Bahkan telah jauh membentuk karakter budaya tipologi masyarakat kita.

Sejatinya masyarakat Indonesia itu sangat baik dan ramah. Suka saling membantu. Menjunjung tinggi nilai kejujuran dan moralitas. Suka bergotong royong dalam kebaikan. Saling memghormati kepada yg lebih tua, guru, tokoh agama, masyrakat, dan pemerintah.

Namun lihatlah wajah masyarakat kita hari ini. Baca dan resapilah setiap komentar mereka disosial media hari ini. Semua larut dalam sebuah permusuhan yang tajam. Kata-kata yang dikeluarkan penuh kebencian mendalam. Hujatan dan cacian sudah menjadi biasa. Tak peduli berbicara dengan siapa. Dan semua itu awal terjadinya hanya karena beda pilihan politik. Beda pilihan kandidat capres. Beda pilihan partai. Sampai agama dan isu SARA pun diexploitasi sedemikian rupa.

Apa yang salah terhadap negeri ini ??? Siapa yang salah ???

Lihatlah betapa indahnya masa kecil yang coba penulis ceritakan diatas. Betapa jauh berbedanya dengan kondisi sekarang ini. Bagai bumi dan langit.

Dan yang paling utama menjadi perbedaan itu adalah, telah lunturnya sebuah makna nilai dan moralitas didalam kehidupan masyarakat kita. Kehidupan sosial politik bangsa kita telah berubah begitu liberal. Yaitu begitu bebas tanpa nilai. Budaya malu sudah jauh tenggelam dibawah himpitan oppurtunity dan pragmatisme matrealistis hedonisme gaya kehidupan.

Nilai kejujuran seolah jadi bahan cemoohan. Semu jadi terbalik. Yang baik dikatakan jahat. Yang penjahat dicitrakan jadi orang baik. Yang pintar dikebiri, yang bodoh disanjung-sanjung seperti nabi. Yang idealis membela kebenaran dikriminalisasi, yang bejat asal pro penguasa dilindungi. Agama yang seharusnya jadi pedoman, justru direkayasa seolah jadi ancaman.

Masyarakat Indonesia yang aslinya ramah, sekarang berobah jadi pemarah. Masyarakat kita yang biasa tolong menolong dalam kebersamaan, sekarang berobah saling cakar karena beda pilihan.

Pemerintah yang seharusnya berwibawa berdiri ditengah sebagai bapak diantara dua kepentingan, tapi sekarang justru ‘si bapak’ jadi centeng yang gebukin salah satu pihak hingga terkoyak-koyak.

Begitu mahalnya nilai kejujuran dan moralitas sekarang dinegeri ini. Hampir semua lini kehidupan, patokan nilai yang digunakan adalah ‘mereka dipilpres dukung siapa’. Jadi cebong apa kampret. Dua kutub pilihan politik ini telah membelah bangsa ini begitu dalam penuh kebencian. Masa kecil kita yang indah sekarang telah berganti dengan masa yang penuh amarah. Yang penuh pecah belah untuk saling menghabisi. Namun disatu sisi, kita semua tidak sadar kalau kita sedang dipreteli satu persatu.

Entah sampai kapan ini akan berakhir. Sekarang kita baru sadar, bahwa betapa indahnya kebersamaan dulu. Betapa mudah dan latahnya bangsa ini terhasut propaganda atas nama reformasi. Hari ini kita baru sadar, bahwa semua hanya permainan politik neo-PKI. Yang memboncengi reformasi untuk bangkit dan berkuasa kembali.

Hingga penulis hanya bisa berharap dan menghimbau, agar kita semua kembali menjadi bangsa yang mandiri dan berkarakter. Menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, kejujuran dan moralitas. Sebagaimana masa kecil kita dahulu. Yang penuh kebersamaan dan persaudaraan.

Masa, musim dan waktu akan terus berubah. Tinggal kita memaknainya menjadi apa. Rembulan atau matahari. Mati dalam keadaan sia-sia, atau memberi manfaat buat agama, bangsa dan negara. Dan semua harus dimulai dari diri dan keluarga kita sendiri. InsyaAllah.

Jakarta, 04 Mei 2019.

Catatan: Isi artikel jadi tanggung jawab penulisnya.

Baca juga :

KEMENANGAN YANG TERTUNDA, ANTARA DEJURE dan DEFACTO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *