Wartawan Harus Tahu Ini: Hak Jawab, Efektifkah? (Catatan Zakirman Tanjung)
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. [Al-Qur’an surah Al-Hujurat (49) ayat 6]
Benar, setiap detik kita sepertinya diselubungi begitu banyak berita yang dibawa, disebar atau dipublikasikan oleh orang-orang yang tak memahami tanggungjawab moral. Kita sering mendengar atau membaca berita yang diragukan kebenarannya. Banyak informasi beredar yang masih bersifat dugaan, masih mentah alias belum melalui pengolahan menurut semestinya.
Hanya karena oknum-oknum pewarta terlalu menurutkan nafsunya, ada di antara mereka yang bekerja tidak profesional; ketika memperoleh informasi yang dianggapnya penuh sensasi, lalu langsung saja menyiarkan tanpa melakukan pengecekan secara teliti dan mendalam, pun tanpa melakukan konfirmasi kepada pihak yang hendak diberitakannya. Akibatnya, terjadilah pemberitaan yang tidak berimbang, yang bisa sangat merugikan….
Dalam diskusi dengan Wakil Ketua dan sejumlah anggota Dewan Pers, pengamat pers, para pemimpin redaksi dan puluhan wartawan, Kamis 31 Agustus 2006, saya bahkan menandaskan :
1. Janganlah menjadikan ‘pemberian hak jawab’ sebagai alternatif utama atau kilah untuk menurunkan berita yang masih anda ragukan kebenarannya dan tidak berhasil memperoleh konfirmasi pihak yang hendak anda beritakan;
2. Sebab, penggunaan hak jawab oleh pihak yang terberitakan secara keliru / tidak benar, bukanlah solusi cerdas untuk menyelesaikan masalah.
Kenapa?
Pertama, orang-orang yang membaca berita pertama belum tentu membaca hak jawab. Akibatnya, tentu saja, pelurusan informasi keliru yang terlanjur terpublikasi tidak mencapai sasaran.
Kedua, orang yang tidak membaca berita pertama, yang kebetulan tidak menyenangi pihak yang terberitakan, ketika menemukan ada hak jawab niscaya akan mencari berita yang diluruskan. Akibatnya, penggunaan hak jawab justru menyebabkan makin banyak orang yang mengetahui informasi yang merugikan.
Solusi satu-satunya adalah; para pewarta / wartawan hendaklah menyiarkan informasi yang diyakini kebenarannya dan setelah melalui cek dan ricek serta melakukan konfirmasi sebelum menurunkan berita kepada pihak-pihak yang hendak anda beritakan. Jika tidak, berarti anda melakukan tindakan bodoh dan dzalim sebagaimana dimaksud QS 49: 6.
Dari sisi pihak yang terberita memang menjadi dilema sendiri. Jika tidak diluruskan dengan menyusulkan hak jawab, dikuatirkan pemberitaan tersebut akan menimbulkan pencitraan negatif pada opini publik. Anggapan demikian relatif sepihak lantaran anda mungkin berpikir pemberitaan itu sudah tersebar luas.
Mengapa pemikiran demikian relatif subjektif? Perlu dikaji, seberapa luas peredaran media yang memberitakan (koran, tabloid atau majalah) dan seberapa banyak oplaag-nya. Sedangkan jika pemberitaan melalui media elektronik kajiannya akan berbeda; terkait waktu siar/tayang.
Jadi, cara paling cerdas menyikapi pemberitaan yang tidak benar adalah dengan mengabaikannya. ‘Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu’; sejauh anda yakin tidak melakukan kesalahan apa-apa alias pemberitaan yang beredar hanyalah isu yang sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang kepentingan pribadi atau kelompoknya tidak anda penuhi karena alasan yang logis.
Meneriakkan, “Itu fitnah!” takkan menghasilkan apapun, hanya akan menjadi bahan bagi orang-orang yang tidak menyenangi anda untuk mempolitisasinya. Dalam hal ini, saya ingat jawaban seorang pejabat Depdiknas menyikapi pemberitaan yang menyudutkan dirinya oleh sebuah mingguan lokal, tahun 2001, bahkan hingga belasan edisi.
“Kalau saja yang memberitakan saya adalah media dengan modal kuat; saya modali pengacara Rp100 juta untuk menuntut secara perdata di pengadilan, masih ada harapan bagi saya untuk menerima Rp2 miliar, misalnya, jika memenangkan perkara. Tetapi media ini, untuk memenuhi biaya cetak dari edisi ke edisi, saya dengar sering ketar-ketir,” kata pejabat itu menanggapi tawaran saya.
Pilihan lain, jika anda merasa kelabakan oleh suatu pemberitaan yang mendekati kebenaran, adalah melakukan tawaran negosiasi berupa pemberian sejumlah uang atau fasilitas seperti pembelian mobil dan personal komputer. Akan tetapi, upaya ini bukan solusi cerdas. Lantaran ada dianggap oleh oknum pewarta sebagai ‘sumber mata air’ anda bakal jadi bulan-bulanan berkelanjutan. Amannya cuma sebentar, kemudian anda bakal kena bidik lagi. Lebih celaka lagi, jika si oknum pewarta mengoper kasus anda ke teman-temannya… maka anda bakal menjadi sapi perah.
Memang masih ada alternatif berikutnya; melakukan tindakan brutal; seperti meneror atau membunuh wartawan yang mengungkap borok anda. Hanya saja, cara ini jelas-jelas bukan solusi cerdas dan kasus anda takkan pernah tuntas.
Butuh konsultasi?
Hubungi saya via email: tzakirman@gmail.com atau WA 082384556699