.

Djuwari Pemanggul Tandu Jenderal Soedirman Bergerilya Masih Hidup. Ini Kisahnya!

Pekanbaru – Kita mungkin tidak akan pernah lupa dengan sosok Jendral Soedirman yang merupakan jenderal perang terbaik sepanjang sejarah dan terkenal dengan Perang gerilyanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tapi apakah gaess juga mengenal seorang yang bernama “Djuwari”. Mungkin gaess banyak yang menjawab ‘tidak’.

Djuwari, dia memiliki segudang ‘prestasi’ dalam perjalanan sejarah bangsa ini, dia adalah saksi hidup sejarah.

Meski ketika itu, Djuwari hanya bertugas memanggul sang Jenderal Besar, tapi peran Djuwari sangatlah penting saat itu dan sungguh tidak mudah.

Betapa tidak, selama berpuluh – puluh kilometer, Djuwari harus memanggul Jenderal Soedirman.

Dia hanya berhenti setiap 30 km, semua itu dilakukan Djuwari dengan senyuman.

Karena dia berharap, sang Jenderal selamat dan mampu mengemban tugas – tugas penting kenegaraan.

Pria renta berusia 83 tahun tersebut hidup sebagai petani di kaki gunung Wilis, tepatnya tinggal di dusun Goliman, desa Parang kecamatan Banyakan, Kediri.

Sepintas tak tampak lagi kegagahan Pria 21 tahun yang 63 tahun lalu memanggul Jenderal besar kita, namun sorot mata Djuwari masih menyala dan berkobar menunjukkan semangat kemerdekaan.

Djuwari selalu bercerita kepada orang – orang bahwa memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada Jenderal Sudirman) adalah kebanggaan yang sangat luar biasa.

Dia juga mengaku jika menjadi pemanggul tandu Sang Jendral merupakan sebuah pengabdian.

Semua itu dilakukannya dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan sepeserpun.

Perjalanan mengantar perang gerilya Jendral Sudirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi dan dikawal banyak pria berseragam.

Rute perjalanan yang ditempuh teramat berat karena medan berbukit – bukit dan hutan yang teramat lebat dan gelap.

Seringkali perjalanan dihentikan untuk sekedar duduk dan beristirahat.

Kalau sempat dan ada bekal makanan, mereka akan makan.

“Dari Bajulan (Nganjuk) lalu kami kembali ke Goliman. Waktu itu kita diberi jarit dan sarung,” imbuhnya. Djuwari menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah wafat setahun yang lalu) amat senang menerima jarit pemberian Sang Jendral.

Karena seringnya dipakai, jarit pemberian itupun menjadi rusak.

Kini tinggal kisahnya ikut bergerilyalah yang bisa ia kenang.

Djuwari juga mengatakan Jenderal Besar Soedirman selalu berpesan kalau hidup itu harus yang rukun dengan semua orang.

“Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh,” katanya.

Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah mamanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup.

Sedangkan tandu yang dulu dipergunakan untuk memanggul Panglima Sudirman dalam Perang Gerilya mengusir penjajah, sekarang tersimpan rapi di Museum Satria. ***(mirza/pen)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *