Tam Arang dan Utiah Kapeh

WARGA LEPAU MAK GAMBUANG TAK LAGI AKAN MEMBAHAS RSUD PAINAN YANG TERBENGKALAI (Bag: 20)

Yang belum baca Bag 1 s.d bag 19 klik link di bawah ini;

RSUD Painan Yang Terbengkalai Dialihfungsikan Jadi Hotel Berbintang 5 (Bag; 19)

Sambungan dari Bag 19..

Batang Kapeh, Pilarbangsanews.com, —
Bunyian Burung Ting Alaw saling sahut bersahut dari atas pelepah daun kelapa. Sebentar-sebentar terbang dari pohon kelapa yang satu ke pohon kelapa lainnya. Ada 3 pasang jenis fauna burung Ting Alaw pagi ini terdengar jelas dari Lepau Mak Gambuang.

Bupati Hendrajoni dilahirkan dan masa kecilnya berada di Mudiak Kambang. Sebuah kecamatan yang bernama Kecamatan Koto Baru di Kabupaten Pesisir Selatan. Dulu Koto Baru Kambang ini adalah sebuah kanagarian (desa) tapi pada tahun 1987, di zaman Ismil Ismail Lengah jadi bupati, dimekarkan dari induknya Kecamatan Langayang. Jadilah Nagari ini menjadi Kacamatan Koto Baru dengan kantor camat nya terletak di Balai Kamih Kambang.

Hendrajoni sudah lama tak mendengar bunyian Burung Ting Alaw dialam terbuka seperti pagi ini. Ia baru saja datang di Lapau Mak Gambuang sebentar ini, dan baru tercecah duduk di pale pale di sebelah Utiah Kapeh. Tapi karena mendengar suara burung Ting Alaw, dia bangkit lagi dari duduknya. dan langsung keluar dari Lepau Mak Gambuang.

“Kamano pak?” tanya Utiah Kapeh heran, karena melihat pak bupati berjalan seorang diri kearah belakang Lepau Mak Gambuang.

“Itu Tiah…, saya sudah lama tak melihat Burung Ting Alaw. Bagus bangat fiona burung yang satu itu. Warna bulunya kuning seperti kunyit,” jawab bupati sambil jalan.

Bang Fadli (ajudanl dan bang Dodot (staf pribadi) melihat bosnya berjalan, sendirian, mereka membuntuti dari belakang.

“Fadli di Kampuang awak lai masih ado burung Tiang Alaw itu, kini,” kata bupati sambil tetap menengadahkan mukanya mencari dimana arah burung itu bertengger dan “bernyanyi”.

“Ndak ado tadanaga lai pak. Dulu semaso awak bujang bujang, sebelum masuak polisi, banyak juo lah buruang-buruang itu. Tapi setelah awak pulang habih masa dinas dari Aceh, tak ado tadanga nyanyian burung itu lai, pak, ” kata Fadli.

“Iyo…., saya pun tak ada lagi mendengar bunyian burung Tiang Alaw itu. Sadah lama banget. Tapi disini kayaknya masih banyak tu? ” kata Bupati Hendrajoni sambil menunjuk arah pelepah kelapa condong dihadapannya.

“Iyo pak, jawab Fadli.

Tapi di tempat saya di Parak Karakah Padang, saya mendengar bunyi burung Ting Alaw itu, pak Bupati, ” kata Bang Dodot menyela.

“Banyak?” tanya Bupati melirik ke arah Bang Dodot.

“Ndak doh pak. Cuma saekor nyo, milik tetangga,” Bang Dodot menjawab.

Kata pemilik burung itu kepada Bang Dodot, burung tersebut dia pelihara dari kecil baru tumbuh bulu. Dia beli dari salah seorang anak tetangga emaknya di Kampung, sekitar 2 tahun lalu. Kini burung itu menjadi burung yang “nyinyir” bernyanyi.

” Murai Kampuang kini sarik juga saya lihat,” kata Bupati kadang masih terasa kental logat Kambang nya.

Bupati Hendrajoni, mulai meninggalkan kampung halaman pada usia masih relatif sangat muda. Dia merantau ke Jakarta pada usia 15 tahun. Waktu itu dia baru tamat SMP.

“Amak guru SD, ayah seorang petani penggarap lahan yang luasnya tak seberapa. Waktu itu gaji guru hanya bisa sepekan untuk menghidupi kelurga besar kami. Anak amak 8 orang jumlahnya,” kata Bupati mengenang masa kecilnya bercerita satu kali pada Utiah Kapeh.

Waktu itu uda Ujang, kata Bupati lebih lanjut, beliau sekarang sudah almarhum. Beliau anak tuo amak. Waktu itu pulang kampung dari Jakarta. Ketika dia akan kembali lagi berangkat ke Jakarta, Saya dibawanya serta untuk meringankan beban orang tua. “Jadi SMA saya di Jakarta sampai masuk polisi,” kenang Bupati.

Tanya Bupati terkait Murai kampung dijawab oleh Alex (sopir mobil dinas Bupati) : ‘Iyo pak dulu banyak Murai kampuang itu pak. Dek banyaknyo sampai-sampai acok Murai itu tabang sambil bakicau masuak ke dalam rumah awak, pak,”

“Kok sekarang burung burung itu punah ya?” tanya Bupati

Murai kampung sudah lama tak terdengar lagi kicauannya di Kabupaten Pasisir Salatan.

Generasi milenial yang kini berumur 10 tahun, kalau ditanya kepada mereka apa itu burung Murai, mungkin kesulitan menjawabnya, karena mereka tak pernah lagi melihat burung-burung itu ada dialam sekitar mereka sejak mereka dilahirkan dari rahim ibu masing masing.

Kedua jenis fauna burung ini dulunya, banyak terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan. Sekarang fauna ini menjadi jenis burung yang langka. Namun fungsi Murai di Kabupaten Pesisir Sultan kini telah digantikan oleh sebagian kecil facebooker.

Kalau dibuka Facebook, hampir setiap hari “Murai Murai” berkicau mencoba mengkritik kebijakan ataupun hasil lakek tangan Hendrajoni selama jadi Bupati Pesisir Selatan.

Ada ada saja “Murai Murai” di Kabupaten Pesisir Selatan, membuat kalimat kalimat dalam bentuk pertanyaan atau mempertanyakan program ini kenapa gak jadi? Program itu gagal dan dananya puluhan milyar rupiah kembali ke pusat. Kalimat kalimat ini mereka posting di linimasa Facebook tak lupa ditambah dengan hiyasan tanda pagar gantibupati2020.

Salah mereka berkicau? Siapa bilang salah. Itu hak mereka sebagai warga negara yang dijamin oleh UU untuk menyampaikan pendapat.

Tapi sayangnya kalimat kalimat kritis yang bunyinya bak murai kesiangan itu, tak akan didengar oleh Hendrajoni jika tak ada yang menyampaikan kepadanya. Sebab Hendrajoni adalah seorang Bupati yang kurang mengerti dunia maya jejaring sosial.

Dari sekian banyak aplikasi HP pintar, yang dia punya dan pakai paling Whatsapp. Itupun jarang dia lihat. Hendrajoni lebih suka menggunakan telp seluler jika ingin berkomunikasi jarak jauh.

ooOoo

Setelah puas melihat dan mendengar bunyi Ting Alaw saling bersahutan dan kicauan Murai Kampung di belakang Lepau Mak Gambuang, bupati kembali ke masuk dan duduk di pale pale Lepau Mak Gambuang.

“Apo carito awak pagi ko Ngku Labai,” kata Bupati menyapa Lebai Litak yang duduk dipojok kiri bersebelahan dengan Mas Tartok.

“Kalau carito RSUD Painan nan tabangkalai tu alah mah pak, lah tarang dek kami sadonyo. Tapi walaupun lah kito bahas, interpretasi warga apak tetap akan berbeda-beda dan tatap akan menimbulkan kontroversi di Kabupaten Pesisir Selatan,” kato Labai Litak…..

Bersambung ke Bag 21…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *