.

KEMANA ARAH KONSEPSI PERTAHANAN PRABOWO ? (Oleh : Anton Permana)

Jakarta,

“Kita adalah bangsa cinta damai, tetapi kita juga lebih cinta kemerdekaan”. Demikian pernyataan presiden pertama Indonesia Ir Soekarno dalam sebuah pidatonyo dimasa awal kemerdekaan bangsa Indonesia

Sebagai bangsa yang berdaulat, dalam kehidupan bernegara aspek pertahanan dan keamanan (Hankam) merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara. Kemampuan suatu negara untuk mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan dalam negeri sangat ditentukan oleh kekuatan dari unsur-unsur pertahanan dan keamanan negara tersebut.

Masing-masing negara baik secara lateral maupun regional, mempunyai cara tersendiri dalam menjaga eksistensi negaranya. AS bersama negara Eropah membentuk aliansi pertahanan atlantik utara bernama NATO dalam mempersiapkan diri menghadapi ancaman Uni Soviet ketika era perang dingin terjadi antara blok barat dan blok timur. Serta membangun 7 gugus tempur armada kapal induknya yang mengisi titik strategis di penjuru dunia dalam meneguhkan dirinya sebagai polisi dunia.

Kerajaan Brunei Darussallam, menyewa tentara asing dari Nepal untuk menjaga negaranya di bawah supervisi dan perlindungan Inggris. Begitu juga negara Arab Saudi membentuk koalisi 34 negara berpenduduk mayoritas Islam dalam menghadapi ancaman strategi ‘bulan sabit syiah’ yang dipelopori Iran-Suriah.

China sebagai raksasa baru dunia juga membangun poros kekuatan dengan menjadikan Rusia sebagai mitra strategis dan ideologis, serta memperkuat negara benteng geografis kultural di sekitarnya seperti Korea Utara, Myanmar, Laos, Kamboja, dan beberapa negara kecil di Asia Selatan.

Tidak hanya itu, dikawasan Asia Tenggara juga telah terbentuk aliansi pertahanan abadi para negara persemakmuran bekas jajahan Inggris bernama FPDA (Five Power Defense Arrangement) yang terdiri dari Inggris, Australia, Singapore, dan Selandia Baru yang dulu di zaman pemerintahan Soekarno pernah terlibat konflik senjata secara langsung dengan angkatan perang RI di masa operasi ganyang Malaysia tahun 1960an. Dan tentu, aliansi ini akan aktif kembali sesuai dengan kondisional ancaman yang ada.

Dari perkembangan dan fakta ini, tentu lahir pertanyaan bagaimana dengan Indonesia ? Kemana arah pertahanan yang dibuat oleh negara ini ?

Secara konstitusional, dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4 mengatakan,”Negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut dalam menjaga ketertiban dunia”.

Artinya, negara wajib mempunyai kemampuan untuk menjaga kedaulatan bangsa dari segala aspek dan hakikat ancaman. Apa itu ? Yaitu ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Baik berupa ancaman berbentuk fisik militer (symetric war) maupun berupa non-fisik militer (Asymetric war) berupa ancaman perang ideologi, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi informasi.

Untuk itu, kehadiran sosok dan figur Prabowo menjadi Menteri Pertahanan RI telah memberikan arti penting bagi wibawa dan performance Indonesia kedepan di mata dunia internasional yang terakhir ini merosot turun karena terlalu sibuk berakrobat dalam permasalahan ‘national security’ (keamanan nasional dalam negeri). Dan seakan lupa memainkan peran geopolitik nasional dalam pergaulan dunia.

Sebagai mantan komandan pasukan khusus (Koppasus) yang disegani militer dunia, dan juga mantan calon presiden rival presiden terpilih hari ini, banyak yang ‘deg-deg’an menunggu kemana arah konsepsi pertahanan kita hari ini.

Sebagai negara demokrasi yang memegang azas supremasi sipil, kehadiran sosok Prabowo yang terkenal ultra patriotik juga mengundang pro dan kontra. Setidaknya, hal ini sedikit tercermin dari rapat dengar pendapat pertama Menhan bersama komisi I DPR RI yang sempat viral dengan perdebatan panas terkait urgensi anggaran militer pertahanan Indonesia di buka ke publik atau tertutup. Terlepas ini apakah sandiwara atau cuma sensasi entertaint politik ala Senayan.

Meskipun secara politis, telah terjadi rekonsiliasi politik antara Prabowo dan Jokowi di pemerintahan, namun secara psikologis masih terlihat ada ‘gap’ yang cukup dalam. Apakah itu personal atau memang kultural. Biar waktu yang menjawabnya.

Kembali ke pembahasan awal. Penulis melihat mulai ada sedikit yang berbeda dari Menhan Prabowo ketika kita berbicara analisis kemana arah konsep pertahanan negara ini akan di bawa. Apalagi, apabila nanti dikaitkan antara korelasi visi Presiden dengan mimpi seorang Prabowo terhadap sistem pertahanan Indonesia.

Secara umum, kita menganut sistem pertahanan semesta. Yaitu dimana TNI sebagai komponen utama negara, bersatu padu bersama masyarakat sipil (baik komponen cadangan dan pendukung) serta menggunakan seluruh sumber daya nasional yang ada dalam mempertahankan kedaulatan negara (pasal 30 (ayat) 1-5 UUD 1945.

Sebagai Menhan baru, langkah pertama yang diambil Prabowo dalam catatan penulis adalah melakukan komunikasi dan diplomasi pertahanan kepada negara sahabat terdekat. Di minggu pertama, ada kunjungan dari Dubes korea selatan, China, bahkan Amerika Serikat.

Selanjutnya dubes Australia, India dan Yordania. Kemaren, secara khusus Prabowo mengunjungi Malaysia dan bertemu dengan Menteri Pertahanan Malaysia.

Dari gerakan diplomasi ini, penulis menilai Prabowo sedang menerapkan apa yang disebut J Boone Bartholoomes Jr tentang instrumen MIDLIFE yaitu military, inteligence, diplomacy, legal, informational, finance, economy (Jakarta Post. 2010).

Yaitu sebuah instrumen hubungan pertahanan yang lazim digunakan sebuah negara dalam berinteraksi dengan dunia internasional. Yang sebagian besar tetap setia dengan doktrin ‘civis vacum parabaelum’ (kalau ingin damai, bersiap untuk perang). Pemahaman dari instrumen pertahanan ini adalah, bagaimana memahami bahwa sistem pertahanan negara moderen itu tidak saja meliputi militer ansikh. Tetapi juga melibatkan subsistem lainnya seperti diplomasi, ekonomi, politik, anggaran, budaya, kerja sama pendidikan, dan konstribusi lainnya. Sampai ada istilah, sebuah negara tidak akan berperang selama para politisi dan komandan tentaranya masih bersalaman dan tertawa di medan latihan.

Diplomasi militer, juga adalah bahagian yang tidak terpisahkan dalam menjaga hubungan baik antar negara. Karena dengan diplomasi ini memberikan sinyal dan ‘code of conduct’ kepada negara lain khususnya negara tetangga, bahwa Indonesia sebagai negara berdaulat bukanlah ancaman bagi negara lain. Seperti bagaimana Australia dalam buku putih pertahanannya menganggap Indonesia sebagai ancaman dari utara.

Namun Prabowo juga dengan tegas menyampaikan, “Indonesia akan fokus memodernisasi alutsista pertahanannya, tetapi jangan anggap hal ini sebagai sebuah ancaman bagi negara lain. Begitu juga sebaliknya, negara lain juga jangan mengancam negara Indonesia”. Artinya, sistem pertahanan Indonesia adalah defensif yaitu bertahan. Tidak akan menyerang kalau tidak diserang.

Statemen ini langsung menjadi santapan para pengamat militer tidak saja di tanah air. Baik yang pro maupun dan kontra. Baik yang positif optimis, maupun sinis dan responsif.

Namun, penulis mencoba merangkum dan menjelaskan apa substansi dan kemana seharusnya arah konsepsi pertahanan Indonesia dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto.

1. Rencana anggaran modernisasi alutsista dalam MEF tahap tiga ini sejumlah 1500 trilyun (2020-2024) adalah angka ideal kalau ingin negara Indonesia ‘berotot’ dalam militer.

Kita mesti sadar, dalam road map pertahanan MEF (Minimum Essensial Force) tahap dua kita masih memenuhi 70 persen saja. Sedangkan kalau kita memenuhi saat ini saja MEF tahap tiga ? Itupun masih tergolong terlambat kalau kita melihat perkembangan dan kemampuan alutsista regional negara tetangga. Jadi wajar, Menhan membuat terobosan luar biasa untuk mengenai ketertinggalan ini.

2. Penulis adalah kelompok yang menganggap ancaman militer (perang fisik) dari negara lain itu masih ada. Kita mesti belajar pada sejarah Eropah pada perang dunia I dan II. Ketika itu beberapa negara eropah sedang mabuk dengan konsep indah ‘policying democratic’ sebuah konsep membangun masyarakat civil society yang jauh dari campur tangan militer. Militer cukup di barak dan perbatasan saja, dan tak perlu beli senjata karena dunia dianggap damai dan tentram. Tapi ternyata, mimpi indah itu dimanfaatkan oleh Hitler dan terbukti Hitler dapat dengan mudah menghancurkan dan menduduki beberapa negara Eropah ketika itu seperti Polandia, Austria, Denmark, Belanda, bahkan Prancis dengan mudah melalui serangan militer kilat ‘blizkeziijk’. Begitu juga dengan kejadian Arab Spring, perang Suriah hari ini, yang ternyata dunia masih rentan akan ancaman invansi militer antar negara. Jadi lucu, kalau ada pihak dan kelompok yang menafik kan hal ini ? Atau jangan-jangan ???

3. Ada dua versi ancaman yang juga mesti kita pahami. Yaitu ancaman fisik militer dan ancaman non fisik. Baik yang belum nyata, tidak nyata, ataupun yang akan nyata.

Spektrum ancaman ini sudah banyak dikaji dan dibahas oleh TNI dan KemHan. Tinggal bagaimana konsepsi nyata negara kita menyiapkan kemampuan daya tangkalnya.

Secara ancaman fisik (symetric war). Ada perkembangan dan kelompok ancaman yang mesti kita pahami serius. Pertama, ancaman dari utara. Yaitu bisa datang dari negara manapun di utara. Konflik Laut China Selatan, dengan dibangunnya pangkalan militer oleh China secara sepihak di Kepulauan Spratly adalah sinyal negatif bagi keamanan regional.

Agresifitas belanja militer Singapore, Vietnam, dan Myanmar satu dekade ini juga tidak bisa dianggap remeh. Secara kekuatan udara, Singapore saat ini sudah memiliki pesawat tempur generasi ke 5 paling mutakhir F 35 buatan Lockeed Martin. Sebelumnya saja, Singapore sudah mempunyai beberapa skuadron tempur F 15 SE, F 16 Viper block 62 dan Super Hornet F 18/B.

Begitu juga Vietnam yang juga sudah memiliki dua skuadron Sukhoi MK30. Thailand juga baru membeli Gripen varian D buatan Saab Swedia. Malaysia juga tidak ketinggalan, akan mendatangkan secara bertahap pesawat tempur generasi 4,5 buatan Inggris Thypoon dan Rafale Prancis.

Secara kekuatan laut negara ini juga tak main-main. Dengan jumlah kapal selam saja negara kita masih ketinggalan karena dengan mereka. Indonesia saat ini memiliki 3 kapal selam, 2 kapal selam (Cakra 401, Nenggala 402) buatan eks Jerman 36 tahun yang lalu dan 3 kapal selam baru Cong Bo Go Class (U209) buatan Korea Selatan yang lisensi U-201 Jerman. Indonesia adalah user pertama dari kapal selam ini yang tentu butuh waktu untuk menguji kemampuannya. Beda dengan kapal selam negara tetangga kita yang sudah memiliki kapal selam kelas Scorphene buatan Prancis, dan Kilo Class butan Rusia yang secara quantity (jumlah) dan quality (kemampuan) sedikit jauh berada diatas kita.

Di selatan, negara kita juga tidak bisa anggap remeh Australia plus pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin. Di dalam buku putih pertahanan Australia mereka menjadikan Indonesia sebagai ancaman dari utara. Tidak hanya itu, Australia juga menempatkan 22 pangkalan missle (rudal) jarak menengah dan jelajah tomhawk mengarah ke Indonesia (pulau jawa). Dimana jangkauan rudal ini cukup fantastis 1200 Km dan bisa menyasar Jakarta, Jogja, dan Surabaya. Pangkalan militer Amerika di Darwin juga mesti kita sikapi serius. Karena penempatan 2000 pasukan marinir plus pesawat tempur US Navy adalah ancaman serius. Karena hanya butuh waktu 30 menit pesawat tempur mereka sudah bisa masuk kedaulatan wilayah Indonesia.

Jadi penulis melihat, ancaman perang fisik (militer) masih tetap ada. Baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri seperti ancaman Papua merdeka oleh OPM. Jadi sangat tepat kalau Prabowo mengambil inisiatif untuk meningkatkan 300 persen belanja alutsista Indonesia 4 tahun kedepan.

4. Penulis juga kaget ketika Menhan dan kemudian dilanjutkan oleh Kasau TNI yang mengatakan akan membeli dua skuadron pesawat tempur F 16 Viper blok 72 dari Amerika. Dan ini adalah varian F 16 yang paling canggih dari 3000 pesawat yang sudah di produksi serta paling banyak digunakan negara di dunia.

Hal ini memberikan sinyal kepada kita semua, telah terjadi kompromi yang baik antara Indonesia-Amerika pasca sanksi Amerika terhadap kontrak Indonesia-Rusia yang membeli 11 pesawat tempur Sukhoi SU 35 yang sampai saat ini masih terbengkalai. Apakah, ini berarti Indonesia borong dua jenis pesawat tempur berbeda ‘bapak’ ini agar tetap aman ? Biarkan waktu yang menjawabnya.

Namun, kalau hal seperti ini memang terjadi maka superioritas udara negara kita di regional kawasan baru bertaji dan berotot.

5. Kemampuan militer suatu negara akan linear dengan wibawa dan pengaruh negara tersebut dalam pergaulan internasional.

Power of influence (kekuatan pengaruh) negara ini, tentu juga akan berpengaruh terhadap kepentingan nasional (national interest), yang otomatis juga akan menjadi basic dasar dari geo strategi nasional (national strategic).

Kenapa hari ini Amerika jadi negara adi kuasa (super power), karena Amerika mempunyai kekuatan militer paling besar dan menakutkan saat ini.

Kenapa China sekarang juga mulai agresif dan ‘nakal’ ? Karena secara militer China juga lagi gila-gilaan belanja militernya.

Kenapa Israel begitu semena-mena terhadap Palestina padahal mereka dikepung negara Arab ? Karena militer Israel kuat.

Kenapa Turkey saat ini galak kepada Amerika dan sekutunya ? Karena militer Turkey juga kuat dan tulang punggung kekuatan NATO.

Kenapa era 60an Indonesia berhasil merebut Irian Barat dari Belanda ? Karena poros Jakarta-Moskow era Soekarno menjadikan militer Indonesia terkuaat saat itu di Asia.

Artinya, postur pertahanan dan kemampuan militer sebuah negara akan berpengaruh besar terhadap wibawa negara itu sendiri. Lihatlah Jepang yang raksasa dalam ekonomi. Namun kerdil dalam politik karena tidak punya kemampuan militer (pasukan beladiri) yang mempuni. Jadi wajar sering ‘kena gertak’ Korea Utara dan Rusia dalam konflik perbatasan.

Lihat juga India dan Pakistan. Walaupun secra ekonomi pas-pasan, tetapi secara militer mereka kuat bahkan punya senjata nuklir. Jadi wajar masuk top 10 negara militer terkuat versi majalah Military Global Power. Dimana Indonesia berada dalam urutan 14 di atas Australia dan Israel.

Proyeksi anggaran 1500 Trilyun dalam pemenuhan MEF tahap tiga mesti kita dukung. Karena secara ratio dan PDB sebuah negara. Secara ideal anggaran militer suatu negara itu akan ideal kalau 2 persen dari PDB negaranya. Saat ini Indonesia masih 0,8 persen dari PDB nya.

6. Selain ancaman perang fisik yang tetap mesti diwaspadai, ada juga spektrum ancaman yang lebih dahsyat. Tidak tampak tapi mematikan. Berbiaya murah tapi bisa menghancurkan sebuah negara. Yaitu ancaman perang asymetris. Berupa perang ideologi, perang ekonomi, budaya, dan operasi inteligent via proxy lintas negara.

Sebagai negara yang majemuk dan luas, serta berpenduduk 260 juta, stabilitas dalam negeri sangat krusial demi berlangsungnya kehidupan bernegara.

Apalagi sejarah juga membuktikan, bahwa telah terjadi beberapa pemberontakan baik yang berbasis ideologis maupun emosional kedaerahan yang mencoba menghancurkan Indonesia dari dalam.

Untuk itu sangat dibutuhkan sebuah sentuhan cerdas dan bijak dalam menghadapi ancaman perang asymetris ini. Negara tidak bisa represif. Negara harus bisa memisahkan mana yang politis dan mana yang strategis. Mana yang substantif dan mana yang manipulatif.

Maksudnya adalah, saat ini ada upaya besar untuk mengadu domba sesama anak bangsa agar terpecah belah dan terus semakin tajam dengan menjadikan isu SARA sebagai amunisi isu.

Untuk itu, sangat perlu edukasi dan pembinaan yang kuat terhadap masyarakat agar masyarakat punya daya tahan yang kuat berupa sikap nasionalisme, rasa persaudaraan sebangsa (patriotisme) yang baik agar tidak mudah diadu domba dan jadi pengkhianat bangsa

Program bela negara saja tidak cukup. Makanya penulis sangat apresiasi rencana MenHan untuk membuat program wajib militer bagi pelajar SMP dan SMA dalam menanamkan kesadaran bernegara dan nasionalismenya sejak dini.

Malaysia dan Singapore juga sudah lama menerapkan wajib militer ini terhadap rakyatnya. Dan sudah saatnya Indonesia juga menerapkannya. Sebelum generasi dan anak bangsa kita hari ini semakin jauh tersesat gaya hidup hedonisme, menjadi generasi alay, yang rentan terhadap pembusukan dari bahagian upaya pelemahan sebuah bangsa.

Diharapkan, dengan program wajib militer dan bela negara ini, generasi muda kita, anak-anak kita menjadi generasi yang tangguh, nasionalis, berkarakter, dan religius sesuai dengan nilai Pancasila. Yaitu menjadikan agama sebagai nilai dasar kehidupan dalam sila pertamanya.

Bukan seperti sekarang ini. Yang para tokoh pejabatnya malah menjadikan agama sebagai musuh negara, serta membuat doktrin agama seolah berbahaya dengan istilah radikal dan intoleransi. Ini murni bahagian upaya kelompok proxy yang berhasil menyusup kedalam tubuh pemerintahan untuk mempropagandakan hal ini agar rakyat terpecah belah secara emosional. Sangat lucu apabila ada upaya menjadikan agama mayoritas dinegeri ini yaitu Islam seolah musuh negara.

Banyak lagi hal yang menarik dibahas dan dianalisa bagaimana seharusnya konsepsi pertahanan negara kita periode sekarang ini.

Tapi penulis yakin, insyaAllah figur ultra patriotik dari seorang Prabowo memberikan angin segar bagi kita semua, dimana Indonesia bisa kembali berdiri dengan kepala tegak dalam pergaulan internasional. Karena figur menteri cita rasa presiden ini muncul pada saat yg tepat, dimana perpecahan bangsa sudah berada pada titik jenuh yang membahayakan.

Dan yang terpenting juga adalah bagaimana kedepan tak ada lagi upaya pembenturan antara rakyat dengan pemerintah. Negara dengan agama, dan seterusnya. Sudah saatnya kita semua kembali menerapkan nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan bernegara. Agar Indonesia kembali kuat, tangguh, karena persaudaraan dan semangat persatuan untuk Indonesia yang lebih jaya. InsyaAllah.

Jakarta, 16 November 2019.

(Penulis adalah Alumni Lemhannas RI PPRA 58 Tahun 2018).

Catatan; Isi artikel menjadi tanggungjawab penulisnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *