KUDETA KONSTITUSI!
Oleh : Anton Permana
(Tanhana Dharma Mangrwa Institute) *)
Tanpa kita sadari, sejatinya amandemen terhadap UUD 1945 di awal era reformasi adalah sama dengan pembubaran terhadap negara bernama Indonesia. Sesuai dengan yang tercantum alinea ke 4 pembukaan UUD 1945 (tentang bentuk negara, visi negara, misi negara, dan tujuan bernegara). Dan juga banyak yang masih belum menyadari bahwa UUD atau konstitusi yang kita jadikan hukum tertinggi saat ini adalah UUD versi baru, UUD 10 Agustus 2002 tanpa penjelasan, tanpa dasar, dimana ketetapan MPR (TAP MPR) disahkan tanpa nomor yang berarti cacat konstitusi.
Kayaknya sederhana. Tapi lihatlah hari ini dampak kerusakan sistem bernegara yang terjadi. Negara menjadi kehilangan arah. Pancasila dan UUD 1945 hanya jadi slogan hiasan di bibir semata. Padahal semua sudah mati suri dan tidak berfungsi lagi.
Pancasila itu lahir dari sebuah perdebatan, renungan, pikiran, dan karya monumental para pendiri bangsa ini. Pancasila lahir dari kristalisasi nilai dan norma kebaikan yang hidup, tumbuh berkembang dari rahim nilai luhur bumi nusantara ini. Dimana Pancasila diterjemahkan secara paripurna mulai dari pembukaan, batang tubuh dan penjelasan di dalam UUD 1945 yang asli. Artinya ; Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Seperti pidato Soekarno pada 17 agustus 1961, “…. Pancasila dan UUD 1945 adalah anak kandung dari Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus tahun 1945..”. Makanya kalau satu bahagian saja yang di otak-atik dirobah, maka sama saja merobah bentuk negara Indonesia secara total. Merobah konstitusi sama saja membubarkan Indonesia hasil proklamasi 17 Agustus tahun 1945.
Akhirnya yang terjadi dari hasil amandemen konstitusi itu hari ini adalah ; Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berubah menjadi kedaulatan partai politik. Negara Indonesia sebagai negara hukum menjadi negara kekuasaan. Negara yang beradasarkan Pancasila berubah menjadi negara individualistis, kapitalis dan liberalis. Negara kesatuan menjadi negara semi federal, negara dengan sistem presidensial menjadi semi parlementer, dan negara kebangsaan sekarang ini menjadi negara koorporasi. Tak ada lagi “Nation state of Indonesia” yang ada adalah “Citizen State of Indonesia” dengan dihapuskannya hak pribumi Indonesia sebagai syarat menjadi Presiden dalam pasal 6 UUD 1945.
Jadi jangan heran kalau saat ini terjadi kesemrawutan yang parah dalam kehidupan kita dalam bernegara di semua lini. Politik jadi panglima. Ketidak adilan terjadi dimana-mana. Kepentingan rakyat dan kedaulatan negara kalah oleh kepentingan elit kekuasaan. Rakyat menjadi objek politik. Sumber daya nasional dikelola tanpa mementingkan nasib rakyat.
Terjadi pergeseran nilai dan orientasi dalam tata kelola pemerintahan kita hari ini. Indonesia tidak lagi Pancasilais, tetapi berubah menjadi kapitalis, liberalis, dan individualistis.
Padahal Pancasila itu adalah norma anti tesa dari semua itu. Tidak mungkin akan ada keadilan sosial kalau ada kapitalisme. Tak akan mungkin ada persatuan kalau ada oligarki dan individualistis. Tak akan mungkin ada nilai KeTuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradap kalau ada liberalisme dan sekulerisme.
Lalu bagaimana sebaiknya untuk memperbaiki ini semua? Jawabannya adalah, tidak ada sebaik kembalikan konstitusi kita kepada Pancasila dan UUD 1945 yang asli, sebagai ruh dan jati diri bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. Jika konstitusi rusak, maka negara juga pasti akan rusak. Caranya bagaimana?
1. Kembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan sistem perwakilan rakyat bukan hanya partai politik. Yaitu diadakannya kembali unsur/unsur keterwakilan komponen masyarakat Indonesia sesuai dengan Pancasila. Sila pertama berarti perwakilan dari tokoh agama. Sila kedua, berarti dari perwakilan para tokoh bangsa, pejuang, negarawan, pegiat, aktifis atau utusan golongan. Sila ke tiga dari unsur TNI-Polri, sila ke empat dari perwakilan daerah dan bisa juga dari perwakilan keturunan raja-raja nusantara sebagai symbol pribumi Indonesia, dan terakhir sila ke lima dari para kalangan profesional, insinyur, teknokrat, para pakar dan tenaga ahli di bidangnya.
Tujuannya apa? Agar tak ada lagi kekuasaan penuh oleh oligarki partai politik bersama cukong dan aparat negara yang cenderung pragmatis dan oppurtunis. Yaitu perselingkuhan antara Politisi-Cukong-Elit aparat negara.
2. Kembalikan ketentuan pribumi asli sebagai persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden. Agar kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa bernama Indonesia total kembali tegak dan berdiri. Tutup pintu masuk dari anasir asing untuk menguasai Indonesia. Dimana hanya pribumi asli Indonesia yang boleh jadi calon presiden dan wakil presiden.
3. Kembalikan penggabungan TNI-Polri menjadi satu kesatuan sesuai dengan doktrin dan sistem pertahanan negara kita yaitu Sishankamrata. Dimana tidak ada pemisahan antara dimensi pertahanan dan keamanan yang kemudian bergantung kepada keputusan politik penguasa oligarki.
Kembalikan TNI-Polri itu kembali menjadi “Dari rakyat untuk rakyat, bukan untuk kekuasaan”. Hentikan upaya politik belah bambu memisahkan antara TNI dan Polri yang secara filosofis adalah saudara kandung yang lahir dari rahim rakyat Indonesia.
Sebuah negara akan kuat apabila sistem pertahanannya kuat. Jadi hentikan upaya anasir jahat pelemahan negara dengan mengkebiri TNI secara sistematis. Kembalikan jati diri TNI-Polri kita sesuai sumpah setia prajurit sapta marga. Yang setia kepada negara (Konstitusi dan rakyat), bukan pada penguasa.
4. Kembalikan proses rekrutmen kepemimpinan nasional kita kepada sistem keterwakilan. Karena sistem pemilihan langsung adalah sistem neo liberal yang bertentangan dengan Pancasila sila ke 4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.
Jadikan proses rekruitman kepemimpinan nasional kita kepada pola jenjang karier yang terukur, berkualitas dan bermartabat. Agar lahir kader kepemimpinan yang berkualitas.
5. Ada rembuk nasional, konsolidasi nasional, serta gerakan-gerakan yang menggelorakan kembali rasa persaudaraan, rasa persatuan antar sesama anak bangsa tanpa memandang SARA.
Privatisasi seluruh aset nasional bangsa yang strategis, sebagai instrumen geopolitik-geostrategi nasional untuk kembali bangkit berdiri.
Naturalisasi program media dari tayangan sampah bermuatan menebar rasa saling bermusuhan, kebencian, kompetisi harta-cinta, hedonisne, sinisme, dengkisme, kesyirikan (penangkalan akidah) dan materialisme. Karena tayangan dan program TV inilah yang telah merusak pranata sosial, menggeser perilaku masyarakat Indonesia pasca reformasi ini menjadi labil, liberal, dan lemah tidak berkarakter (jati diri). Dan type masyarakat ini rentan untuk dihasut dan disusupi kepentingan asing-aseng.
Karena sejatinya basis dasar sikap orang Indonesia itu adalah baik, bangsa yang ramah, welas asih, ramah, tolong menolong dan tengggang rasa.
Negara yang besar itu adalah negara yang menghargai para pahlawannya, para pejuangnya, dan para pendahulu, para Bapak pendiri bangsa yang sedemikian rupa telah meletak kan pondasi negara ini dengan begitu paripurna.
Sudah kewajiban kita semua mempertahankan ini semua dengan segenap jiwa raga kita. Atau, Indonesia akan hilang dari peta dunia.
Batam, 12 Mei 2020.
*) Penulis adalah Alumni Lemhannas RI PPRA LVIII Tahun 2018.
**) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis