.

Pentingnya Dakwah Politik Ekosistem Lingkungan

Oleh Andrinof Alfakir Chaniago

Postingan ayat-ayat ekosistem kemarin, saya anggap perlu saya jelaskan. Walaupun sebagian besar pemberi komen di status tersebut bersuara mendukung, satu atau dua ada juga yang mengcounter.

Postingan beberapa ayat-ayat ekosistem itu berangkat dari kesimpulan pengamatan saya bahwa konten materi dakwah para ustadz/ustadzah dan khotib selama ini amat pincang antara ajaran tentang beriman dan ajaran beramal sholeh, termasuk amal sholeh terhadap ekosistem.

Bahkan, yang patut diprihatinkan, ada sebagian pendakwah dan politisi yang mencari dukungan suara dari ummat, jika terjadi bencana alam mereka spontan berkata bahwa bencana alam itu adalah adzab dari Allah. Ketika disimak penjelasannya, jelas pendakwah dan politisu jenis ini tidak paham ayat-ayat ekosistem yang ada dalam Al Qur’an yang seharusnya ia pahami dan ajarkan ke ummat. Juga, mereka tidak paham isi dari kisah-kisah Fir’aun, Kaum Luth, Kaun Tsamud atau Kaum ‘Ad dimana Allah selalu melindungi Nabi dan orang-orang beriman di tiap masa peristiwa itu sebelum mengadzab penguasa dan kelompok-kelompok yang mendzalimi Nabi dan pengikutnya. Para pendakwah dan politisi yang mengatakan bencana alam jaman sekarang sebagai adzab itu jelas tidak mau belajar hukum ekosistem yang prinsip-prinsipnya sudah disebut di dalam Al Qur’an dan tidak tahu cara membedakan mana yang adzab Allah turunkan dengan kekuatan ghaibNya kepada penguasa dzalim seperti yang disebut dalam Al Qur’an dan mana kerusakan lingkungan akibat ulah manusia spt yg disebut dalam Al Qur’an. Kualitas berdakwah seperti ini nyata di tengah ummat saat ini.

Benar bahwa sejak SD kita juga sudah diajarkan tentang beberapa hal tentang lingkungan oleh guru. Tetapi ingat, itu sangat tidak cukup. Apalagi banyak guru mengajarkan itu hanya dlm rangka menjalankan kewajiban sebagai orang yang menerima gaji. Para guru tidak mengajarkan pelajaran ekosistem karena guru itu sadar lingkungan. Mengajar beda dengan mendidik. Guru-guru banyak yang hanya mengajar karena kewajiban atas gaji yang diterima.

Lalu, apakah para pendakwah, ustadz/ustadzah, khotib sholat Jum’at sering mengajarkan ayat2 di atas berikut tafsirnya? Sepanjang ingatan saya menjadi jama’ah sholat Jum’at dan menjadi pemirsa siaran2 dakwah, konten dakwah ekosistem juga sangat jarang mereka sampaikan! Malahan yang sering mereka sampaikan konten yang keliru, seperti bencana alam itu adzab Allah tanpa melihat sebab-sebab kerusakan alam oleh tangan manusia. Kalau ada sebab karena ulah manusia, yang mereka maksud adalah perbuatan-perbuatan yang tidak berhubungan dengan perbuatan merusak lingkungan, seperti perbuatan maksiat di perkotaan, LGBT, dll.

Hubungannya apa antara kurangnya pesan2 pendidikan agama tentang ekosistem dari para pendakwah dan guru2 sekolah dengan kerusakan lingkungan yang ditandai oleh banjir dan longsor? Semua saling berhubungan untuk banyak faktor penyebab banjir. Benar, lemahnya aturan dan penegakan aturan adalah satu faktor. Keserakahan pengusaha tambang dan perkebunan, itu satu faktor lagi. (Mohon dicatat dengan bold bahwa saya tidak pernah mengingkari itu!).

Tetapi, faktor lain, yakni kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, termasuk kesadaran politik lingkungan, itu juga faktor penting lainnya.
Anjuran saya di status FB saya kemarin dimaksudkan agar para pendakwah meningkatkan porsi materi dakwah amal sholeh yg ada dlm Al Qur’an, termasuk soal amal sholeh dlm memperlakukan lingkungan, adalah karena fakta bahwa kesadaran amal sholeh (utk membedakan dengan kesadaran Beriman, sholat, berdo’a, dzikir, membaca Al Qur’an dlm arti hanya membaca) masyarakat amat rendah, dan apalagi kesadaran politik lingkungan masyarakat.

Nah, kalau kita tidak paham kaitan antara kesadaran masyarakat yang rendah karena perhatian para guru dan pendakwah agama dan kerusakan lingkungan itu berhubungan, maka saya khawatir akan tetap sulit berharap terjadi perubahan kebijakan dan perilaku para pihak terhadap ekosistem lungkungan. Maka, di sini saya mau memberi penjelasan lanjutan saya atas postingan beberapa ayat ekosistem tersebut untuk keperluan umum.

Kalau masyarakat umum sudah punya kesadaran lingkungan, maka, mestinya mereka juga punya kesadaran politik saat pemilu, baik Pilpres, Pileg dan Pilkada, dan juga tampak pada perilaku sehari-hari dalam membuang sampah, menanam pohon, (tidak) menebang pohon, memperlakukan sumber-sumber air. Coba perhatikan kedua waktu aksi di atas: waktu menggunakan hak suara saat Pemilu dan Pilkada, dan waktu berperilaku sehari-hari. Apakah bisa dibantah fakta bahwa kesadaran politik lingkungan dan kesadaran berperilaku baik masyarakat terhadap lingkungan rendah? Mohon saya diberi bukti yang kuat secara logis dan empiris jika ingin dikatakan dua jenis kesadaran masyarakat itu cukup tinggi.

Dari saya, untuk mengatakan dua jenis kesadaran masyarakat itu masih rendah, didasarkan pada argumen berikut:

Kesadaran politik lingkungan akan terlihat ketika menggunakan wadah partisipasi politik seperti Pilkada, Pilpres dan Pemilu Legislatif. Kita langsung saja lihat ke Kalsel. Jika kesadaran politik lingkungan masyarakat Kalsel cukup tinggi, maka yang dimenangkan mestinya bukan Capres-Capres yang punya usaha tambang batubara, usaha pelabuhan batubara dan usaha perkebunan sawit. Begitu juga saat Pilgub dan Pilbup, yang mereka menangkan mestinya bukan pengusaha batubara atau calon yang disponsori pengusaha batubara dan pengusaha sawit. Nah, untuk melihat kesadaran politik lingkungan, lihat kesadaran ini. Termasuk lihat kesadaran tokoh agama dlm memberi dukungan politik, apakah didasarkan pada kesadaran lingkungan atau tidak.

Adapun untuk kesadaran lingkungan sehari-hari, saya rasa sudah banyak bukti empiris yg menunjukkan kesadaran masyarakat dlm membuang sampah, memelihara sumber air, menanam pohon dan tidak menebang pohon, sangat rendah.

Nah, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah ummat Islam, maka peran pendakwah mendakwahkan ayat-ayat ekosistem sangatlah penting.

Kondisinya saat ini, isi dakwah para ustadz/ustadzah dan khotib lebih banyak tentang kenikmatan Surga dan ancaman Neraka, lalu mengajak orang banyak sholat, berdoa dan membaca Al Qur’an (bukan memahami isi Al Qur’an) yg semuanya adalah ibadah berdiam bukan ibadah berbuat.

Studio Aksi Literasi, 25.01.2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *