Gadele Calon Wali Nagari (Oleh: Irwandi)
Tanpa terasa hari pemilihan Wali Magari makin mendekat. Berbagai lagu dan cara telah muncul ke permukaan. “Maresek-resek” warga secara gerilya, tiok mancaliak tiok galak, sampai-sampai berfoto selfi dengan bibir pakai gencu, biar mirip dengan artis yang ada dalam televisi.
Sebenarnya pemilihan Wali Nagari tidak perlu ada promosi bakalabiahan dari sicalon. Karena kelebihan dan kekurangan yang mencalon telah siang nan bak hari sangaik tarang nan bak bulan. cukup kirannya calon wali tersebut memaparkan visi dan misinya kedepan.
Untuk mengambil hati pemilih sudah cukup hari-hari yang dilalui bersama-sama warga selama ini. Menjelang pencoblosan alangkah lebih baik memperbanyak do’a dan menjaga kebugaran tubuh.
Bagi warga rasanya sudah tidak perlu “iyo-iyo” itu lagi, manyerak-nyerak kato hanya akan menambah gelar di badan, gadang sarawa.
Pemilihan Wali Nagari bukan seperti pemilihan anggota legislatif, atau bupati atau yang lebih tinggi ke atasnya. Dengan figur calon masyarakat telah face to face selama ini, telah dipecermin petang pagi.
Untuk apa guna senyum dipaksakan, sudah mencalon pula terjadi acok galak-galak macam orang kanai sijundai. Atau manolong bakalabihan, selama proses pencalonan bisa menghabiskan uang 5-10 juta guna mentraktir kawan di kedai kopi. Andai dibelikan ke seekor sapi betina setidaknya selama periode menjabat sebagai wali akan bisa melahirkan anak 2 atau 3. Bukan pula tulisan ini melarang saling berbagi ke sesama. Karena berbagi merupakan penguatan hablun minallah melalui hablun minan nas.
Tetapi biar kekecewaan tidak terlalu dalam nantinya saat diri tidak terpilih, sedangkan uang telah banyak dikeluarkan. Alangkah lebih baiknya mengukur badan dengan bayang-bayang. Warga tentu akan menjatuhkan pilihan pada tokoh yang selama ini peduli dengan alam lingkungan. Bukan peduli karena mencari kedudukan.
Tidak mungkin kiranya suara dibeli dengan teh talua sagaleh lontong sapiriang. Pribahasa ada udang dibalik batu telah dimodernisasi oleh bapak-bapak pencinta kopi pahit menjadi ada udang di balik bakwan.
Tumben sekarang kain serong marereh-rereh dengan letak peci agak ditangkuik an, padahal selama ini gilo manggantiak meja. Kalimat ini hanya sebagai kiasan, mudah-mudahan benar-benar hijrahlah hendaknya.
Menjadi Wali Nagari tidaklah mudah, suatu pangkat untuk jabatan kepala disuatu nagari yang merupakan pengakuam konstitusi terhadap otonomi. Kehidupan bernagari merupakan simbol dari kehidupan demokrasi sesungguhnya, mambusek dari bumi. Pemberian hak otonomi terhadap pengakuan nagari merupakan pengembalian jati diri buat seluruh segi kehidupan anak negeri.
Jadi Wali Nagari selain orang yang cerdas hendaknya orang yang mengerti dengan kearifan lokal. Tidakkah malu Pak wali yang bergelar akademik tinggi, namun saat makan di acara do’a menempati rumah baru oleh salah seorang warganya, ditujukan rundiangan singkat menjelang makan. Apa yang hendak dijawab, cukupkah dengan maangguak saja. Kalau dapat warga yang pencemeeh akan mungkin bertambah gelar bapak, “wali angguak”.
Pemilihan Wali juga diharapkan menjadi hujan berkah sebagai penghapus “oligarki” kalau seandainya ada disebagian tempat selama ini. Bila mana yang terpilih insan dari suku A maka yang banyak mendapatkan bantuan kolega dari suku A saja. Dari suku B dan yang lain cukup pemuka-pemuka sebab takaut nanti akan meneriaki. Atau semisal memboyong kawan-kawan ke kenagarian untuk bekerja. Sementara dunsanak-dunsanak yang lain jauh lebih kompeten didiamkan saja karena tidak mencoblos calon yang menang.
Pemilihan wali bukanlah sarana untuk pengkotak-kotak warga, tapi sebagai wadah pemersatu. Oleh karena itu Wali Nagari haruslah orang yang beradat, agar cara kerjanya saat menjabat mempunyai adab.
Mudah-mudahan yang terpilih nantinya adalah Bapak-bapak yang bisa bekerja sesuai amanat konstitusi dan amanat pendahulu negeri.
Masing-masing calon memang harus bersiskukuh dengan visi dan misi. Bisa jadi budaya tak hirau akan kuasa yang dimiliki oleh tokoh-tokoh bangsa yang berasal dari Minangkabau pada waktu lalu tidak relevan di pakai sekarang ini.
Buliah tagak bakisa asa di tanah nan sabingkah, buliah duduak bapindah asa di lapiak nan sahalai.
Tidak salah kiranya mencoba menjemput bola, sebab nilai minus dari tak hirau kuasa tadi, orang yang belum tentu baik akan menduduki posisi tersebut, karena orang baik diam saja. Begitu kira-kira pandangan yang diberikan Prof. DR. Ahmad Syafi’i Maarif sewaktu menyampaikan pidato kebudayaan dibulan Desember tahun 2007 silam yang bertempat di Taman Budaya Sumatera Barat dengan judul RANAH GURINDAM DALAM SOROTAN ( bencana budaya mengancam Minangkabau? ).
Ukua jo jangko kok tak tarang
Susunan niniak muyang kito
Dek rancak kilek loyang datang
Intan disangko kilek kaco