Perguruan Tinggi

Raih Gelar Doktor, Fahmi Idris Urai Strategi Cegah Korupsi

Jakarta, PilarbangsaNews.

Politisi senior Partai Golkar Fahmi Idris meraih gelar Doktor Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) setelah mempertahankan disertasinya di depan dewan penguji yang berjudul “Korupsi Pada Masyarakat yang Menjunjung Tinggi Keadilan Sosial: Refleksi Kritis Berbasis
Kontraktualisme Rawls”, Senin (26/6).

Dalam penelitian disertasinya, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Mantan Menteri Perindustrian ini
menyatakan bahwa korupsi dalam masyarakat muncul dari sifat bidimensionalitas manusia yang merupakan
makhluk individu sekaligus makhluk sosial guna mempertahankan
hidupnya.

Setelah menjalani ujian promosi doktor, Fahmi Idris pun dinyatakan lulus dengan predikat cum laude dengan nilai rata-rata 87,5. 

Fahmi Idris mengungkapkan, fenomena korupsi di dalam suatu negara yang menganut asas keadilan sosial karena korupsi tertanam dalam
karakteristik masyarakat yang tinggal di negara tersebut sebagai respon adaptif terhadap upaya bertahan hidup. Asas keadilan sosial juga dianut sebagai turunan dari karakteristik masyarakatnya.

Di Indonesia, korupsi dapat terjadi karena adanya karakteristik berupa
keberanian; musyawarah mufakat (karakteristik sosial out-grup);
fleksibilitas ekonomi (karakteristik rasional individual); dan
afektivitas ekstrem (karakteristik emosional individual).

Di sisi lain, lanjut Fahmi Idris, keadilan sosial dapat dianut karena adanya
karakteristik religiusitas yang tinggi pada masyarakat Indonesia.

Menurut Fahmi Idris, fenomena korupsi dapat dicegah dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan refleksi dialogis dan pendekatan
kultural. Pendekatan refleksi dialogis merupakan respon adaptif individual terhadap upaya bertahan hidup dan bersifat universal sehingga terdapat pada semua warga negara yang memiliki kapasitas
berpikir yang cukup ditandai dengan kedewasaan dan kesehatan
psikologis. Sementara pendekatan kultural dengan memanfaatkan
karakteristik masyarakat yang pada gilirannya juga merupakan respons
adaptif masyarakat secara kolektif terhadap upaya bertahan hidup.
Pendekatan kultural ini bersifat partikular, otomatis dan mudah dijalankan.

“Kedua pendekatan ini dapat diterapkan pada tatanan moral karena
menggunakan agen-agen pembentuk moral masyarakat yaitu tokoh-tokoh agama sebagai salah satu deliberator yang memanfaatkan karakteristik masyarakat Indonesia yang religius. Namun, agen-agen deliberator yang
menggunakan pendekatan refleksi dialogis mungkin sulit untuk mengubah
tatanan moral masyarakat karena rasionalitas bukanlah komponen dari
karakteristik masyarakat Indonesia. Walaupun begitu, deliberator dengan pendekatan refleksi dialogis dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi pemberantasan korupsi lewat instrumen rasional seperti hukum atau infrastruktur pemberantasan korupsi yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan masyarakat dengan dimotivasi oleh ajaran agama,” ujar Fahmi Idris.

Bagi mantan Menteri Perindustrian 2005-2009 ini, moralitas adalah
bagian sangat penting dalam upaya pencegahan korupsi.

Menurutnya, moralitas harus benar-benar menghakimi perilaku politik. Sama seperti
moralitas, perilaku politik juga bentuk respons manusia terhadap usaha
bertahan hidup yang dibentuk oleh budaya dan juga refleksi dialogis manusia sehingga apapun unsur turunan dari kedua respon adaptif ini harus saling mendukung.

Moralitas membentuk aturan-aturan yang perlu dipatuhi manusia untuk bertahan hidup secara kolektif. Sementara
politik, adalah usaha-usaha individual untuk bertahan hidup. Politik dapat mengorbankan masyarakat dan moralitas dapat mengorbankan
individual.

“Jika masyarakat ingin bertahan hidup maka politik harus menjadi nomor dua dan karenanya moralitaslah yang harus menghakimi politik. Sebaliknya, jika individu ingin bertahan hidup maka moralitaslah yang menjadi nomor dua dan politik menghakimi moralitas. Masyarakat dapat
bertahan hidup jika kehilangan beberapa individual di dalamnya. Sementara individual tidak dapat bertahan hidup lama jika kehilangan masyarakat. Karenanya, masyarakat harus diutamakan daripada
individual. Artinya moralitas menjadi lebih utama dari politik.
Moralitaslah yang menghakimi politik,” jelasnya.

Dalam disertasinya, Fahmi Idris menekankan perlunya dipertimbangkan sanksi moral dan sanksi hukum dalam mengambil keputusan terhadap pelaku korupsi. Sanksi moral yang dibangun oleh agama dan refleksi dialogis perlu didukung oleh hukum serta hukum yang ada perlu didukung oleh sanksi moral dari masyarakat. Sanksi moral yang diberikan
masyarakat misalnya ekspresi kemarahan, kemarahan verbal menyalahkan, memberi, kecaman, ketidaksetujuan, teguran, kritik moral pemaparan, boikot, penghindaran, bahkan kebencian yang didukung oleh hukum akan memberikan umpan balik negatif pada individu yang berniat korupsi sehingga menghasilkan sistem integritas yang baik untuk mencegah korupsi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan kelangsungan hidup
masyarakat.

Fahmi Idris mencontohkan instrumen hukum misalnya pasal pencemaran nama baik (pasal 310 KUHP) perlu dipertegas sehingga ayat 3 yang berbunyi ‘tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa
membela diri’ mencakup korupsi sebagai bentuk kepentingan umum. Pada
sistem integritas ini, seiring waktu akan tercipta sanksi moral yang diberikan pada diri sendiri yang memungkinkan kesadaran individual mengenai betapa buruknya korupsi. Jika nilai-nilai religius
antikorupsi telah mampu terinternalisasi, setiap bias kognitif untuk
melakukan perbuatan korupsi dapat disanggah oleh rasa bersalah dan penyesalan sebagai wujud sanksi moral pada diri sendiri.

“Temuan penting dari penelitian ini adalah pemberantasan korupsi akan membuahkan hasil jika aspek-aspek karakteristik masyarakat Indonesia yang bidimensional dibidik secara menyeluruh. Aspek-aspek ini mulai
dari aspek individual, sosial-kultural hingga aspek moral. Aspek individual mengandung komponen kognitif yang mencegah korupsi menggunakan refleksi dialogis. Aspek sosio-kultural mencegah korupsi menggunakan pendekatan agama yang disangkutpautkan dengan keadilan sosial. Aspek moral, mencegah korupsi menggunakan pendekatan sanksi moral baik kognitif maupun afektif,” pungkas peraih Bintang Mahaputra
Adipradana ini. (Rel/SA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *