Artikel

Hilangnya Sang Tokoh Penyejuk di Kabupaten Solok ( Oleh: Adrizal Inyiak
Wartawan Muda)

Hiruk pikuk perang pernyataan seakan tak pernah habis, seakan terus mengiringi proses pendewasaan berdemokrasi saat ini. Para pengamat politik, kalangan akademisi hingga mantan pejabat saling berargumentasi dalam setiap konfirmasi sebuah pemberitaan.

Tak luput pula, sejumlah tokoh masyarakat dan mantan pejabat diminta juga untuk berargumentasi demi terpecahkannya sebuah persoalan. Tentunya kita berharap dari kalangan tersebut di atas, ada pencerahan dan membawa kesejukan dalam persoalan.

Intinya bagi publik,semua argumentasi dan pendapat itu dapat memecahkan masalah, bukan malah menambah masalah.

Kebenaran dan akurasi sebuah informasi publik, tentunya tergantung dengan selera pembaca. Tergantung sisi mana sang pembaca itu berdiri. Isi sebuah pemberitaan pun bernilai relatif, tergantung pencerahan dari siapa yang kemudian dirangkai dalam bentuk narasi.

Pembaca berita akan lebih memahami sebuah isi berita, dibandingkan dengan si pembaca judul berita yang lebih cenderung bernarasi tendesius.

Persoalan jadi muncul, jika si peminat pembaca judul cendrung berkomentar negatif kepada objek yang diberitakan. Apalagi yang menjadi objeknya adalah orang yang berseberangan secara pemikiran atau pilihan.

Namun jika seorang yang dikategorikan sebagai seorang pembaca berita, ia lebih cendrung memahami isi berita dan melihat siapa yang dijadikan sebagai narasumber berita. Jika narasumber berkompeten dan kredibel di bidangnya, si pembaca hanya cukup memahami dan menjadikan berita tersebut sebagai penambah cakrawala pengetahuannya.

Namun hari ini, pendapat ahli, komentar akademisi tak lagi menjadi salah satu pedoman yang sahih secara keilmuan. Pernyataan tersebut sangat mudah sekali di bantah, oleh sosok narasumber bertuliskan sebagai tokoh masyarakat.

Tokoh yang dahulunya kita anggap sebagai orang yang sangat mengayomi, karismatik dan santun beretika tetiba hari ini lebih tersulut kepada narasi kebencian. Emmmm, kenapa dan ada apa, apakah ada terselip pesan tersirat. Entahlah hanya dia dan penyampai pesannya yang paham.

Kini banyak yang kita anggap sebagai tokoh pencerahan, malah bernarasi seolah-olah menjadi tempat penitipan kepentingan. Dan si narasumber itu pun seakan berpikir jika apa yang disampaikan adalah benar dan harus dibenarkan.

Tentunya bagi si pembaca berita, narasumber tersebut hanyalah jadi bahan lucu-lucuan. Ya iyalah tak semua apa yang disampaikan dan dikutip oleh si pembuat berita itu benar. Namun seakan-akan pendapatnya adalah maha benar, dengan bersitegang urat leher mengatakan dia paham akan hal itu. Ironis memang, namun begitulah kondisi yang terjadi hari ini.

Namun tentu, kita sekali-kali juga butuh nuansa keteduhan disaat bergadget ria. Sekali-kali kita juga butuh informasi yang menyejukkan. Tidak melulu soal gaduh-gaduh, tuding-menuding atau provokasi sana-sini. Biarkan orang yang tepat memberikan pendapatnya untuk bercerita, kita yang dianggap sebagai tokoh sedapatnya menjadi pencerah dan penyejuk.

Tokoh masyarakat sejatinya adalah sebuah gelar penghormatan yang tak bersematkan sebuah pin di dada, namun merupakan sebuah penghormatan akan kepintaran pola pikir yang bijaksana. Seorang tokoh yang dijadikan tempat bertanya, tempat untuk menggali ilmu cara hidup berkampung bertetangga. Bukan menjadi tokoh pengadu domba, bukan sebagai tokoh pemecah belah kesatuan.

Publik kian berharap, seorang tokoh tak mau ditunggangi oleh kepentingan seseorang atau kelompok. Namun seorang tokoh jika berpendapat, ia membawa dan mewakili kepentingan orang banyak.

Memang sangat sulit di jaman ini untuk mencari sosok yang kita nobatkan sebagai tokoh pencerahan. Namun itu pasti akan ada, mungkin saja yang sebenarnya tokoh itu belum ingin memunculkan diri. Tapi entahlah, hanya waktu yang akan bisa menjawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *