.

Kenangan Bersama Buya Mafri Amir:
Jualan Film di Puncak Menara Eifel dan Sholat di Gereja Santuario

Oleh Syafruddin Al *)

PUKUL 09.45 WIB, Senin (27/12) saya baru saja masuk webinar tentang Hari Anti Korupsi yang digelar sebuah perusahaan BUMN di Padang. Karena sedang di perjalanan, saya mengikuti lewat handphone. Tetapi, 25 menit kemudian muncul pemberitahuan dari Group WhatsApp PWI Sport tentang berita duka, lalu bertubi-tubi di beberapa WAG yang saya ikuti. Karena sedang serius mengikuti seminar, saya belum buka WA tersebut. Namun saya sempat membatin, “Wartawan mana lagi nih yang telah mendahului kami?”

Semula saya tidak ngeh kalau berita duka itu datang dari Ciputat, tempat senior, rekan dan sohib saya, DR. Mafri Amir berdomisili. Dua pekan sebelumnya, sebelum ke Padang, saya sempat ke RS Hermina Ciputat, tempat “Buya” –panggilan akrab kami kepada beliau—dirawat, untuk membezuk. Hampir tiga pekan lalu, Buya masuk RS karena mengalami stroke. Tetapi, meski sudah mambana di receptionis RS agar saya dan istri diizinkan naik ke lantai empat, tempat Buya dirawat, namun tetap tidak dibolehkan dengan alasan prosedural penanganan Covid-19. Akhirnya kami hanya bisa video call dari pelataran parkir yang dibantu oleh istri Buya, Uni Roslaini di ruang perawatan.

Leher saya langsung rasa tercekek, air mata meleleh ke pipi ketika dengan jelas pesan di WAG itu menyebutkan DR Marfi Amir telah berpulang ke rahmatullah pada pukul 09.47 WIB hari itu di Jakarta. Saya mau menangis keras, tetapi terpaksa saya tahan karena saat itu saya lagi sarapan lontong sayur di kedai Ajo di Purus II, Kota Padang. Tidak tahu lagi saya mau ngomong apa, cuma segera memberitahu istri saya yang sedang bekerja di Taspen Bogor agar datang ke Ciputat untuk melayat.

Teman-teman dari PWI Sumbar mengantar Alm Mafri Amir ke pemakaman di Koto Sani, Kabupaten Solok

Saya juga bikin pengumuman dan sekaligus minta doa teman-teman di “WAG Batea-tea” (group tempat kami dan Buya bersenda gurau sehari-hari) dan langsung mengubah nama WAG Batea-tea menjadi “Group sedang Berduka”. Semua anggota langsung menyampaikan salam duka, ada yang langsung ke rumah sakit Hermina dan menunggu di ruang jenazah dan ada yang langsung ke rumah duka di Villa Inti Persada, Pamulang, Ciputat.

Pertemuan saya terakhir secara fisik dengan Buya sudah lebih dari 5 bulan yang lalu ketika saya datang membawa cucu ke rumahnya. Oleh Buya, cucu saya dikasih sepasang ayam kete yang sedang bertelur. Karena cucu saya juga suka burung, maka ayam kete pemberian Buya saya bawa ke rumah, ke Bogor. Sedang di rumah cucu di Kota Tangerang, saya belikan seekor burung. Bila saya video call sama cucu dan melihatkan ayam kete tersebut, maka cucu saya langsung bilang, “ayam….ayam….ayam” dan diakhiri dengan kata “wa ang”. Cucu saya yang sudah berusia 1 tahun 8 bulan itu sudah mengenal sejumlah benda, termasuk binatang seperti ayam pemberian Buya. Mungkin kami suka mencandai cucu ini dengan sebutan “wa ang” (buyung), maka ketika dia melihat ayam sekaligus juga mengingat kata “wa ang”.

Sama sekali saya tidak mengira Buya akan pergi begitu cepat. Meski beberapa waktu belakangan saya agak sibuk, namun tetap berusaha memantau perkembangan kesehatan Buya. Karena lebih dari sepekan lalu Buya sudah pulang dari RS, saya menganggap kondisinya sudah semakin membaik. Terakhir yang mengabarkan ke saya tentang kondisinya adalah Uda Herman L yang datang membezuk ke rumahnya di Ciputat.

Uni Ros, istri Alm Mafri Amir tak kuasa menahan tangisnya ketika menerima pelayat

Saya sangat sedih karena tak bisa berbuat banyak untuk Buya disaat beliau sedang sakit. Saat bersamaan, saya sedang proses pulang ke Padang untuk menyiapkan dan melaksanakan hajatan pernikahan anak Saudara di Padang yang kebetulan selama ini tinggal bersama saya di Bogor. Biasanya, di momen-momen tertentu, saya selalu datang ke rumah Buya untuk bersilaturahim.

Padang akhir Februari 2021, saya ditelpon Buya agar datang ke rumahnya. Beliau tidak memberitahu mengapa saya harus datang. Ketika sudah sampai di kediamannya, beliau mengabarkan kalau istrinya sedang sakit gejala Covid-19. Beliau meminta saya bagaimana cara menanganinya karena saya sudah menjadi penyitas Covid-19 dua bulan sebelumnya. Uni sempat masuk rumah sakit beberapa hari, setelah Uni sembuh, giliran Buya kena covid-19 dan beliau saya pandu lewat telpon untuk mengatasi masalahnya. Alhamdulillah Buya kuat dan berhasil sembuh dari pandemi itu.

Awal Oktober lalu Buya sempat mengontak saya agar menunggunya di Padang untuk hajatan naik rumah di Komplek PWI Korong Gadang. Namun saat Buya memberi tahu, saya sudah sampai di Palembang untuk pulang ke Bogor setelah sebulan berdinas di kota tercinta.


Syafruddin Al di depan pusara Alm Mafri Amir

Sejak Buya mulai mengambil pendidikan S3 di UIN yang kemudian juga langsung pindah mengajar dari IAIN Imam Bonjol ke UIN Ciputat, pertemuan saya dengan Buya semakin intens. Waktu sama-sama menjadi wartawan di Padang, saya juga pernah ikut menjadi “anak band” (sebutan untuk sebuah kelompok wartawan yang sering mangkal di Kantor Gubernur Sumbar) bersama-sama Buya, Uda Akmal Darwis, Uda Oce, Uda Rizal Moenir, Uda Masful, Bung Rafles, dll. Waktu “anak band” ini bergerilya, sayalah yang sering menjadi juru tulisnya. Kadang, wawancara belum selesai dengan nara sumber, beritanya sudah selesai saya ketik.

Ketika beliau pindah ke Jakarta, kami juga membuat “group band” baru yang anggotanya bukan hanya wartawan, tetapi sejumlah seniman Minang yang biasa mangkal di Anjungan di Taman Mini, beberapa pengusaha serta kalangan birokrat Minang di ibukota.

Di samping mengurus para seniman ini, kegiatan kewartawanan juga terus kami lakoni. Malah, kami bersama Kepala Kantor Perwakilan Sumbar di Jakarta, Uda Sjafrizal, ikut memprakarsai kegiatan salat Jumat di kantor perwakilan di Matraman.

Ketua PWI Sumbar Heranof Firdaus memberikan sambutan atas nama kolega wartawan ketika melepas Alm Mafri Amir

Tahun 2000, bersama Uda Syafrizal juga kami mulai membawa “anak band” ini ke Belanda. Sekalian memboyong penyanyi Minang, Ernie Djohan dan juga ikut waktu itu almarhum Buya Arwan Kasri yang sedang menjadi Ketua DPRD Sumatera Barat. Dengan keikutsertaan Buya Arwan dan Uda Syafrizal, memudahkan kami melobby Pak Gubernur Zainal Bakar dan sejumlah urang awak yang menjadi petinggi BUMN untuk ikut mensponsori perjalanan kami membawa misi kesenian ke luar negeri.

Itulah perjalanan pertama saya bersama Buya ke Eropa. Begitu roda pesawat Garuda Indonesia yang kami tumpangi mencecahkan bannya dengan mulus di landasan pacu Bandara Schiphol, Amsterdam, Buya yang duduk di sebelah saya langsung berciloteh. “Tibo lo angku di Eropa yo Jang,” katanya sambil terkekeh.

Suhu di Bandara Schipol saat itu sedang minus 2 derjat. Namun Buya tertawa renyah sambil berkomentar: “Inilah rasanya hidup di negeri empat musim ini,” katanya sambil memasang kupluk alias sebo di kepalanya sampai menutupi telinga. Sementara Buya Arwan Kasri yang lupa membawa sebo, nampak kedinginan.

Pengurus PWI Sumbar melayat ke rumah duka di Koto Sani, Kabupaten Solok

Karena kami bedua adalah wartawan, rasanya tak asyik kalau hanya sekedar berkunjung sampai Belanda saja. Diam-diam, dari tempat acara di Utrech, Buya mengajak saya ke KBRI di Denhaag. “Pokoknya kita harus sampai ke Paris. Kita harus melihat Menara Eifel,” kata Buya memotivasi saya.

Hanya bermodal dua kilo rendang (sekilo untuk Konselor di Kedutaan RI di Denhaag dan sekilo lagi untuk Konselor di KBRI Paris) kami berhasil mendapat fasilitas naik kereta api dari Belanda ke Paris dan diterima menginap di rumah Konselor Indonesia di dekat Kedutaan RI di Paris, yang keesok harinya juga memfasilitasi kami berkunjung ke Menara Eifel. Tidak hanya itu, esok harinya kami juga dikirim dengan bis ke Brusell untuk melakukan wawancara khusus dengan Dubes RI untuk Uni Eropa, Bapak Nasrudin Sumintapura.

Dalam perjalanan kereta api dari Belanda ke Paris ini, kami sempat diinterogasi petugas imigrasi gara-gara Buya tertawa terbahak-bahak luar biasa saat saya mengulangi cerita wartawan Gusfen Khairul tentang sepasang penganten menawarkan permen cokelat di atas kereta api dari Nareh ke Pauh Kamba di Piaman sana. Bagi yang belum tahu cerita super lucu ini, suatu ketika akan saya bagikan kisahnya.

Saat kami naik Menara Eifel pada pukul 06.30 waktu setempat, kondisi Kota Paris sedang diserang badai. Konselor yang mengantar kami ke kaki Menara, mengingatkan bahwa usia Menara itu sudah lebih dari 100 tahun dan belum pernah runtuh. Namun kata Buya sebelum kami menaiki menara; “Kalau awak tumbang bersama Menara Eifel ko Jang, akan menjadi berita besar di Indonesia,” katanya memberi semangat. Jadilah kami memanjat menara yang menjulang di tengah Kota Paris itu, di pagi hari.

Ketua PWI Sumbar Heranof Firdaus meletakkan bunga di pusara Alm Mafri Amir

Sesampai di atas menara, kami ketemu seorang bule dari Italia yang sedang krasa-krusu mengotak-atik kameranya. Rupanya dia sedang kehabisan film untuk kamera fotonya. Buya langsung negosiasi karena kami punya beberapa cadangan film. Tetapi harganya harus 3 kali lipat. Bule ini tanpa pikir panjang langsung setuju membeli film merek Fuji yang kami miliki, karena bila ia harus turun dulu, belum tentu ia bisa naik lagi ke Menara Eifel pada hari itu.

Saat di Kota Paris ini pulalah kami dikontak oleh Mamanda Zubir Amin dari Marsiele. Rupanya beliau orang kampung saya dari Padusunan, Pariaman, sedang menjadi Konsul Jenderal di Perancis Selatan tersebut. Beliau diberi tahu tentang keberadaan kami di Paris oleh Uni (orang Kayu Tanam) sang istri Konselor yang menampung kami di Kota Paris.

Mamanda Zubir Amin (telah berpulang 23 Desember 2021, Al Fatihah untuk beliau-Pen) yang kontak dengan saya, menyuruh kami langsung ke Marseile dari Paris. “Naik kereta api saja. Mumpung mamak sadang di siko, kamarilah,” perintahnya.

Buya langsung memintas. Jangan terima tawarannya sekarang, bilang tahun depan kita ke Marseile. Akhirnya Mak Zubir menyetujui permintaan kami.

Setelah kembali ke Jakarta, perjalanan ke Marseile segera kami rancang. Kebetulan saat itu, Kakanda Al Busyra Basnur, mantan wartawan Harian Singgalang dan Haluan sedang menjadi Konselor Penerangan di KBRI Roma Italia. Nomor kontak beliau langsung dihunting Buya ke Deplu. Setelah kontak didapat, disepakati kami bisa tampil membawa tim kesenian dalam rangka HUT RI di Roma, didahului tampil di Marseile dan Genoa di Italia Utara.

Para pelayat di rumah duka Alm Mafri Amir di Koto Sani, Kabupaten Solok

Pengalaman menarik dengan Buya adalah saat kami tampil di Genoa tersebut. Rombongan kami diinapkan di sebuah gereja tua di atas bukit. Namanya Gereja Santuario della Madonna della Guardia. Ruangan penginapan di gereja ini kecil-kecil. Ada yang satu kamar berdua, tetapi saya dan Buya dikasih kamar yang masing-masing satu tempat tidur. Suasana terasa seram karena maklumlah gereja tua. Sepi pula di atas bukit. Kata Buya, untuk menghilangkan rasa takut, kita harus sholat di kamar masing-masing dalam gereja ini. Maka jadilah kami sholat Isya dan Subuh dalam gereja tersebut. “Sahkah Buya? tanya saya. “Kenapa tidak?” jawab Buya Mafri Amir.

Beberapa tahun kemudian, saya dan Buya jalan sendiri-sendiri. Saya sempat pergi ke Warsawa, Ceko dan Paris bersama Uni Elly Kasim tahun 2008, ke Servia dan Roma untuk main layang-layang tahun 2011 dan ke Perancis untuk meliput Tour de France. Sementara Buya melalui jalur birokrasi yang dilakoninya sebagai Asisten Staf Khusus Bidang Keagamaan Kantor Wakil Presiden, pergi bertandang ke London, Inggris dan ke New York, Amerika Serikat. Namun tahun 2017, kami kembali membawa tim kesenian ke Bahrain.

Jika tahun 2021 ini tidak ada pandemi Covid-19, kami rencananya akan pergi ke Ethiopia, tempat Kakanda Dubes RI Al Busyra Basnur bertugas dan tahun 2022 sudah direncanakan akan kembali ke Paris untuk bisa tampil membawa misi kesenian Minang di Unesco. Kesannya memang pergi jalan-jalan, tetapi perhatian Buya terhadap dunia kesenian Minang, terutama nasib seniman-senimannya juga cukup tinggi. Namun kami hanya bisa membuat rencana, ketentuan tetap pada yang Maha Kuasa. Senin 27 Desember 2021 pagi, pukul 09.47 Buya Mafri Amir dipanggil ke pangkuanNya. Esoknya, Selasa siang di pemakaman keluarga di kampung halamannya, Jorong Kasiak, Nagari Sumani, Singkarak, Kabupaten Solok, Buya telah dimakamkan yang disaksikan para handai taulan dari UIN Iman Bonjol Padang, dari UIN Jakarta, dari PWI Sumatera Barat dan dari Persatuan Tarbiyah-Perti Pusat dan DPD Sumbar. Diiringi doa dan isak tangis, Buya telah menempati tempat peristirahatannya yang terakhir dekat makam ibundanya.

Di balik senda guraunya selama ini, ada pesan-pesan khusus yang selalu disampaikan Buya kepada saya tentang bagaimana menyiapkan masa depan anak-anak, termasuk tentang saya dan istri setelah pensiun. “Jang, jan lupo menyiapkan diri setelah pensiun yo. Mesti ado pegangan,“ begitu pesan Buya. Saya bersaksi bahwa Buya Mafri Amir adalah orang baik, pengayom dan setia kawan. Saya bersama sejumlah rekan, termasuk Uda Al Busyra Basnur yang kini menjadi Duta Besar RI di Ethiopia lewat gagang telponnya saat kami mengantar jenazah ke Solok, juga menyampaikan salam duka yang mendalam. Selamat jalan Buya, semoga engkau dijemput dalam keadaan husnul khatimah.

*) Syafruddin Al adalah wartawan senior, pemegang UKW Utama dan Bendahara SMSI Sumbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *