Negara Perlu Hadir Merawat Seniman
Oleh Wina Armada Sukardi, Kritikus Seni
Ketika sedang berlangsung acara lelang lukisan pengumpulan dana untuk seniman serba bisa Remy Sylado, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), teman saya, seorang seniman perupa berujar kepada saya, ”Apakah setiap ada seniman yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, kita harus terus mengadakan acara semacam ini?” Maksudnya, apakah pemecahan masalah dari problem ekonomi yang dialami oleh seniman terkenal, harus selalu memakai upaya penggalangan dana, apalagi harus “setengah mengemis”.
Dia mencontohkan, dirinya sudah berkali-kali menjadi bagian dari panitia semacan acara ini untuk membantu para seniman yang membutuhkan uang. Memang begitulah kalau ada seniman terkenal atau besar sakit, atau di hari tuanya sedang membutuhkan biaya, para seniman, pencinta seni budaya, dan para simpati membuat kegiatan amal untuk menolong sang seniman. Hasilnya, sekali dua kali ada yang besar, tetapi selebihnya memperoleh ala kadarnya, dalam suasana pandemi Covid-19 ini bahkan terkadang malah tekor.
Muka Badak
Dalam acara-acara semacam itu, saya sering ikut membantu-bantu mencari dana. Misal membantu menjualkan lukisan kepada para pejabat, pengusaha atau pemangku profesi yang sudah mapan. Hasilnya? Ada yang bergeming pun tak ditawari untuk membeli lukisan atau diajukan proposal bantuan. Sama sekali tidak memberi jawaban menolak atau apalah.
Ada yang cuma mengumbar janji, tapi tidak pernah merealisasi janjinya. Kendati begitu selalu saja tetap ada satu dua orang yang mengulurkan tangannya membantu. Mereka membantu dana dengan membeli lukisan atau benda yang dijual.
Dalam melaksanakan amanah itu, saya singkirkan “rasa malu” pribadi, karena untuk menolong orang. Menolong seniman. Manakala mengajukan proposal bantuan atau jualan lukisan, saya laksanakan dengan “muka tebal.” Mungkin mereka tak percaya, orang seperti saya mengajukan proposal atau menjual lukisan dengan harga dari panitia. Bisa jadi mereka berpikir saya sudah kehabisan duit, atau memaksakan diri untuk melakukan transaksi untuk bantuan. Apapun pikiran orang soal itu, tugas saya mencari dana untuk membantu si seniman yang sedang membutuhkannya.
Pertanyaan Besar
Tapi persoalan bukan itu. Pertanyaan besarnya : dimana peranan negara? Di mana kehadiran negara untuk menjaga dan merawat seniman? Apakah, seperti pertanyaan, rekan seniman di atas, setiap kali ada seniman yang sedang kekurangan duit karena sakit atau kesulitan di hari tuanya, apakah itu seniman film, perupa, pemusik, sastrawan, penari dan sebagainya, harus ada acara pengalangan dana? Lalu dimana kehadiran pemerintah atau negara?
Pentingnya Peran Seniman
Selama ini pemerintah selalu mengatakan betapa penting faktor kebudayaaan dan kesenian. Pemerintah pun koor menyebut kebudayaan dan kesenian perlu dijaga sebagai soko guru bangsa. Sebagai identitas bangsa. Pemerintah juga berkali-kali menyatalan seniman diperlukan dalam keseimbangan proses berbangsa. Tak heran jika terminologi “kebudayaan” tetap dipertahankan dalam kementerian “Pendidikan dan Kebudayaan” (sekarang ditambah lagi dengan frasa “Riset dan Teknologi”) . Hal itu menunjukkan negara memandang kebudayaan sesuatu yang penting. Tak hanya itu, pemerintah juga sampai merasa perlu mengadakan struktur Direktur Jenderal Kebudayaan.
Luar biasa. Cuma pada prakteknya, anehnya, sangat kentara negara kurang hadir dalam menopang pentingnya kebudayaan. Para seniman hebat dibiarkan hidup terlunta-lunta. Mereka seperti tidak tersentuh oleh tangan negara. Walhasil, kalau ada seniman yang sangat mendesak membutuhkan uang, cara yang ditempuh ya mengadakan acara penggalangan dana. Itu itu sudah lumayan ketimbang mengedarkan daftar sumbangan, seperti setengah mengemis.
Dalam kerjanya, dapat saja seniman sering memgeritik pemerintah. Sering menunjukkan sisi lemah pemerintah dengan cara masing-masing. Tetapi kesemua itu tidak lain untuk meningkatkan harkat dan marwah kemanusiaan bangsa ini.
Bang Ali Sadikin
Saya ingat Gubernur Jakarta Ali Sadikin. Waktu itu, awal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mulai dilahirkan oleh Adnan Buyung Nasution, Pemda DKI membantu membiayai LBH itu. Padahal belakangan LBH justeru banyak menggugat (kebijakan) Pemda DKI. Banyak pejabat DKI yang marah kepada LBH, dan mengusulkan agar bantuan untuk LBH distop. Tapi Ali Sadikin justeru menambah lagi bantuannya. Alasannya: dengan adanga gugatan dari LBH, dia sebagai gubernur mengetahui mana kebijakan yang benar dan lemah.
Begitu juga ketika Bang Ali memberi bantuan kepada pers, para pejabatnya komplain. Maklumlah setelah diberi bantuan, pers tidak menjadi “jinak” dan malah banyak menyerang Pemda DKI. Maka para pejabat itu kembali minta bantuan kepada pers dihentikan. Bang Ali menangkis alasan para pejabatnya. Menurut gubernur DKI yang berasal dari Angkatan Laut itu, kehadiran pers diperlukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan Pemda DKI tanpa harus membayar biaya pengawasan aparat yang lebih mahal dan belum tentu jujur.
Dalam konteks ini seniman dapat saja berada pada posisi yang bertentangan wacana dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Tetapi itulah tugas seniman : menukil realitas untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan kemanusiaaan bangsa. Disinilah seniman berperan menjaga peradaban suatu bangsa. Oleh lantaran itu kehadiran mereka perlu dirawat dan dijaga. Bukan hanya di atas kertas. Bukan hanya dalam wacana, tapi riil dalam kehidupan nyata.
Perlu Kehadiran Negara
Disinilah negara perlu hadir memberikan dukungan sepenuhnya kepada para seniman. Dengan kata lain, negara perlu membantu menopang perekonomian para seniman.
Negara perlu memikirkan, bagaimana agar seniman hanya berpikir berkarya saja, tidak terlampau dipusingkan lagi oleh urusan tetek bengek perekonomian mereka. Seorang sastrawan, harus dipacu untuk terus menghasilkan karya-karya sastra yang berkualitas. Karya bermutu. Kalau perlu dengan mimpi mendapat Hadiah Nobel. Begitu juga seorang perupa, biarkanlah mereka melahirkan karya yang adiluhung. Sama pulalah seniman bidang lainnya.
Tentu tidak semua jenis seniman patut dan perlu dibantu negara. Kalau semua seniman dibantu, tiba-tiba akan banyak sekali orang yang mengaku sebagai seniman. Mendadak dimana-mana bakal muncul dalam jumlah yang boleh jadi tidak dikontrol mereka yang mengaku seniman biar dapat bantuan dari negara. Pasti bakal muncul banyak manipulaai dan korupsi.
Kriteria Seniman
Seniman yang perlu dibantu ialah seniman yang memenuhi kreteria tertentu. Apa isi kreteria itu, dapat didiskusikan oleh para seniman sendiri dan para ahlinya.
Mungkinkan hal semacam itu terlaksana? Di Malaysia, para penulis mendapat semacam tunjangan uang bulanan dari negara, sehingga penghidupan mereka terjamin. Di Jerman setiap pihak yang mau membangun gedung, harus menyisihkan 2% dari biaya pembangunan gedung buat kesenian.
Intinya, cara atau sistemnya dapat diatur dan diciptakan. Tetapi yang penting: negara harus hadir dalam menopang kehidupan para seniman. Dengan satu syarat : negara tidak boleh intervensi terhadap kebebasan seniman dalam berkarya. Kalau negara ikut campur dalam karya-karya seniman itu sudah masuk dalam katagori negara komunis. Tentu Indonesia bukan negara komunis.
Sebagai contoh, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzum Bahri sudah jelas, hidupnya perlu dijamin negara. Begitu pula maestro Remy Sylado yang sekarang sedang menderita berbagai penyakit dan terbaring di rumahnya, harus ditopang negara. Demikian juga maestro-maestro tua seni tari klasik yang hampir punah. Atau “anak ajaib” pemusik Indra Lesmana dan Idris Sardi pun masuk dalam katagori itu, dan seterusnya.
Bantuan atau sokongan pemerintah bukan bersifat insidental atau temporer, melainkan bersifat permanen. Dengan begitu, seniman sebagai salah satu penjaga “marwah” bangsa, dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa harus terganggu urusan ekonomi.
Hanya bangsa yang merawat senimannya, yang akan menjadi bangsa berbudi luhur. Hanya bangsa yang menghargai senimannya, bakal menjadi bangsa yang punya mental tangguh, kreatif, memiliki kepekaan hati nurani dan mengenal keindahan bangsanya sendiri. (*)