O p i n i

SISTEM DEMOKRASI TELAH RUSAK

“Masa sekarang, pondasi cara bernegara jadi ruwet, susunannya tidak teratur. Sistem Rusak. Faktanya, MK berubah alirannya “Paham Keluarga.”

Penulis: Rusdianto Samawa, Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Mataram

____________________

Dulu, 2014 adagium politik Jokowi “mau dipasangkan dengan sandal pun tetap menang.” Mengapa? karena akar kerakyatan melekat. Ternyata akar itu tercerabut seiring waktu berjalan masa pemerintahannya. Mengapa? karena Jokowi menganut paham pencitraan belaka, machiavelian, oligarkis dan monopoli arus informasi dalam mengelola kekuasaan melalui UU ITE.

Pada 2019, lebih parah. Manajemen kekuasaan sangat rusak: penangkapan oposisi, penjara menanti yang berbeda dalam argumentasi, AMDAL dicabut, UU Omnibuslaw yang rusak itu, ekspor pasir laut, skandal korupsi dalam batang tubuh istana (kementerian/KL). Terakhir lebih sadis dan sarkastik, mengunakan Mahkamah Konstitusi memuluskan pencawapresan anaknya. Sekarang, MK berubah jadi Mahkamah Keluarga. Penamaan MK bentuk lain, respon protes serius rakyat terhadap sikap machiavelian Jokowi.

Ternyata, 2019 itu pula, pasca Prabowo kalah di ruang sidang Mahkamah Konstitusi masa itu, Prabowo lakukan langkah maju masuk pemerintahan. Langkah itu, dinilai oleh emak – emak dan oposisi sebagai bentuk penghianatan perjuangan.

Duh nian, dibalik gabungnya itu, ada isu yang berkembang, bahwa Prabowo masuk pemerintahan dengan standar ganda diberikan kepada Jokowi yakni harus mendukungnya pada 2024 menjadi Presiden. Jokowi pun berlakukan standar yang sama kepada Prabowo yakni Gibran Rakabuming Raka harus menjadi Cawapresnya. Deal. Mereka pun tos – tosan dikereta MRT pada 2019 itu.

Langkah selanjutnya, Gibran pun dipersiapkan menjadi Walikota Solo. Gibran jadi Walikota selama 2 tahun. Bicara pengalaman jadi cawapres, tentu rakyat ragu akan kemampuannya.

Mahkamah Konstitusi pun bergerak sesuai alur yang telah diatur. Strategi.sampingan, mainkan 3 periode (gagal), Jegal Anies Baswedan (gagal). Setelah itu, masuk pada strategi utama dalam perang politik kekuasaan, yakni menghakimi, memenjarakan dan membenamkan siapapun.yang berbeda dengan arus kekuasaannya. Penegak hukum pun melaju kencang menerapkan standar ini. Sesuai pesanan kekuasaan. Bahkan, kasus korupsi yang riskan menyentuhnya dihilangkan jejaknya.

Belum sebulan lalu, MK memutuskan berpengalaman menjadi kepala daerah bisa menjadi Cawapres. Lalu hitungan hari deklarasi pasangan Prabowo – Gibran. Herannya lagi, kewarasan sebagian oposisi hilang kendali akal sehatnya. Karena oposisi yang masuk dalam team pemenangan Prabowo secara terbuka dan gila-gilaan bela Gibran sebagai tokoh kaum muda. Heheh

Padahal dulu mereka oposisi terhadap Jokowi mengkritik oligarki, sistem politik keluarga, dan merusak ruang demokrasi. Lha, sekarang ini kemana arah kiblat akal sehat para oposisi ini. Malah lebih parah, perkuat sikap politik keluarga Jokowi dan ekspresif machiavelian totalitas. Begitulah, oposisi akal karbitan.

Seiring waktu, deklarasi Prabowo – Gibran juga menuai problem solving yang massif. Pandangan rakyat berubah drastis yang menganggap Prabowo hanya mau enaknya saja dengan fasilitas kekuasaan semata. Prabowo tak ada lagi pidato berapi-apinya sebagai semangat perubahan Indonesia. Prabowo sekarang menjadi buah bibir rakyat yang digambarkan seperti siluet “orang duduk manis menanti jajan yang akan diberikan.”

Bahkan, deklarasi Prabowo – Gibran ikut pengaruhi transaksi ekonomi dan kurs yang mengalami penurunan tajam sebesar 1,17% ke level 6.769,26 poin. Selain itu, mata uang Rupiah Indonesia (IDR) juga melemah, mendekati level psikologis baru di Rp15.935 /US$, mengalami penurunan dan menjadikannya mata uang paling lemah di kawasan Asia.

Keputusan Prabowo gandeng Gibran sebagai cawapres dinilai telah menciptakan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar terkait ketidakpastian hasil Pilpres 2024. (tvOnenews Group Member of Viva Digital Network, 26 Okt 2023)

Sisi lain, ada keresahan atas sistem demokrasi saat ini, dimana seluruh instrumen kekuasaan akan dipakai untuk menangkan Prabowo – Gibran. Ini bahayanya sistem demokrasi kedepan, sebagai pilihan utama dalam ketatanegaraan Indonesia. Tak ada jalan lain, bagi Rakyat, terutama umat Islam untuk segera meninggalkan partai – partai nasionalis yang berkomplotan merusak sistem demokrasi. Saat ini, perang strategi politik yang sesungguhnya.

Bahkan, catatan Rocky Gerung dalam podcast Youtubenya, mengamati bahwa pemilu saat ini ajang medan tempur perang kecurangan, bukan ada narasi akal sehat dan argumentasi yang adi luhung. Maka disiapkan cara menang mutlak. Sudah jelas sejumlah institusi, tokoh dan peralatan intelijen dipasang oleh satu kubu, dan kubu yang lain juga akan lakukan yang sama.

Hal inilah yang dikhawatirkan. Merosotnya Etikabilitas dan Elektabilitas membuat semua instrument tersebut akan dipakai untuk bisa menang. Faktanya, dalam beberapa publikasi lembaga survey independen bahwa suara perolehan Prabowo diperkirakan merosot. Karena arus penolakan dari masyarakat pada Gibran sangat besar. Penolakan itu datang dari masyarakat dan kader serta pemilih partai koalisi Indonesia Maju itu sendiri seperti Golkar, Demokrat, PAN, PSI, Gelora, PKN dan Gerindra sendiri.

Menurut Anthony Budiawan PEPS (Political Economy and Policy Studies) bahwa alasan paling mendasar kehilangan moralitas politik dan Etikabilitas adalah; Pertama, persyaratan cawapres dinilai manipulatif dan melanggar konstitusi. Masyarakat sangat tidak suka, bahkan benci, terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi. Kedua, cawapres dianggap belum pantas karena masih belum berpengalaman dalam banyak aspek, tetapi dipaksakan oleh Jokowi dan keluarga, melalui Prabowo.

Berdasarkan survei Ipsos, pencawapresan Gibran menurunkan suara Prabowo 6,2 persen dibandingkan kalau Prabowo berpasangan dengan Erick Thohir. Kalau dibandingkan dengan perolehan suara dari partai koalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN) pada 2019 yang mencapai sekitar 39,5 persen, efek pencawapresan Gibran membuat suara Prabowo merosot 8,2 persen. Kemungkinan besar, karena suara Golkar, Demokrat dan PAN anjlok dan beralih ke partai lain non Koalisi Indonesia Maju.

Kerugian kedua, nama Prabowo akan tercemar, disejajarkan dengan Jokowi yang mempunyai citra buruk di masyarakat. Jokowi dinilai melanggar banyak peraturan perundangan-undangan, termasuk konstitusi. Antara lain, UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan.

Menang atau kalah dalam pilpres ini, Prabowo rugi besar. Nama tercemar. Bukankah nama itu segala-galanya bagi manusia, jauh lebih penting dari jabatan sebesar apapun? Seperti pepatah bilang, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.

Menurut Fernando Ernesto Maraden Sitorus pegiat Rumah Politik Indonesia ingatkan Prabowo agar tak berada di bawah pengaruh Jokowi yang terindikasi langgengkan kekuasannya. Prabowo tergolong capres yang nikmati bagian dari strategi Jokowi untuk pertahankan kekuasaan keluarga. Kuatnya keinginan Prabowo menjadi penguasa sehingga mau diatur Jokowi agar berpasangan dengan anak sulungnya, Gibran.

Dari fenomena politik saat ini, menunjukan wajah sebenarnya bahwa sistem demokrasi telah rusak karena moralitas dan etikabilitas itu diabaikan hanya untuk nafsu berkuasa. Begitulah. Semua orang kedepan berpotensi merusak negara dan meruntuhkannya. Karena berkaca pada masa presiden ingin tiga periode tapi gagal.[]

*) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *