Energi

Solar Bersubsidi? Kuota Terbatas, Lemahnya Pengawasan dan Rendahnya Kesadaran

Padang, PilarbangsaNews

Antrian panjang truk menunggu solar sudah pemandangan biasa di sejumlah SPBU, tidak saja di Kota Padang tetapi juga di kabupaten kota di Sumbar. Ini tidak bisa dihindari karena volume solarnya terbatas, jumlah peminatnya banyak.

“Jarak harga antara solar bersubsidi yang hanya Rp5.150 per liter dengan solar dexlite Rp12.400 jelas menggiurkan. Karena itu sudah ada aturan, siapa saja yang berhak menikmati solar bersubsidi itu. Tujuan luhur subsidi ini yang harus terwujud di lapangan,” kata I Made Wira Pramarta sebagai Sales Area Manager Retail Sumbar PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbar.

Namun faktanya, di operator atau di SPBU terjadi sengkarut itu. Truk besar dan kendaraan masyarakat lainnya, yang sesungguhnya tidak berhak mengkonsumsi solar bersubsidi, justru berebut pula di SPBU. Padahal solar subsidi itu terbatas, sudah ada kuotanya tiap-tiap daerah.

“Bagi Pertamina sudah tegas, jika ada pelanggaran dari operator atau SPBU pasti akan ditindak. Teman teman pers silahkan lapor jika menemukan pelanggaran di SPBU misalnya menjual solar bersubsidi kepada kendaraan yang tidak berhak,” kata I Made Wira Pramarta.

Pembukaan Bincang Bincang Energi oleh Pemred Harian Singgalang Khairul Jasmi

Tema “Solar Bersubsidi, Energi untuk Rakyat” ini adalah topik Bincang Bincang Energi yang diselenggarakan Harian Singgalang di Truntum Hotel, Padang, Rabu (23/2/2022) pagi hingga siang. Peserta diskusi ini hampir 100 orang yaitu perwakilan elemen konsumen, mahasiswa, dunia usaha dan wartawan.

Menurut Pemred Harian Singgalang Khairul Jasmi yang membuka Bincang Bincang Energi ini, topik solar bersubsidi atau energi untuk rakyat ini adalah isu yang paling seksi akhir-akhir ini. Karena itu nara sumber yang ditampilkan adalah yang kompeten, yaitu I Made Wira Pramarta, kemudian Kadis ESDM Sumbar Ir Herry Martinus, Kompol Firdaus dari Polda Sumbar dan pengamat ekonomi Defiyan Cori.

Apa peran daerah? Inilah keluhan Kadis ESDM Sumbar Ir. Herry Martinus yang mengatakan bahwa perizinan dan pengawasan distribusi solar ini ada di pemerintahan pusat. Daerah tidak ada kewenangan, tidak kebijakan.

Namun, kata Herry Martinus, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak bisa berdiam diri. Apalagi melihat antrian yang sudah mengganggu lalu lintas. Gubernur kemudian melakukan upaya-upaya membantu dengan edaran yang acuannya tetap aturan dari pemerintah pusat.

Peserta Bincang Bincang Energi Harian Singgalang

“Solar bersubsidi diatur alat transportasi yang bisa mengkonsumsinya. Mobil pelat hitam dan kuning angkutan kota. Mobil pelat merah tidak boleh sama sekali mengkonsumsi solar bersubsidi. Ini harus tegas. Truk barang membawa hasil perkebunan dan tambang dilarang sama sekali mengkonsumsi solar bersubsidi,” kata Herry Martinus.

Namun sejauh ini efektif pengawasan yang belum maksimal. Diperlukan ketegasan operator dalam hal ini SPBU, juga kesadaran pemilik angkutan dalam hal ini tentu Organda. Sepanjang tidak ada ketegasan operator dan rendahnya kesadaran pemilik truk, maka masalah antrian solar tidak akan ada ujungnya.

“Saya minta truk yang enam roda atau lebih tidak boleh lagi antri di SPBU Semen Padang. Ini harus dilarang oleh SPBU, ini salah satu upaya kecil untuk meminimalisir pelanggaran dan kemacetan,” kata Herry Martinus.

Peserta Bincang Energi Harian Singgalang

Terus bagaimana penegakan hukum dalam pengawasan solar bersubsidi ini? “Kami sudah lakukan preventif yaitu sosialisasi secara lebih luas, pemilik SPBU dan pemilik truk terutama. Sosialisasi ini belum maksimal,” kata Kompol Firdaus.

Penegakan hukum mestinya harus tegas, tangkap saja pelaku pelanggaran solar bersubsidi ini. Namun itu hanya untuk terapi, yang diperlukan sebenarnya adalah kesadaran. “Tahun ini kita sudah tangkap enam pelaku, pembeli solar bersubsidi dengan berbagai modus yaitu memodifikasi mobil,” kata Kompol Firdaus dalam diskusi dengan moderator Andayani Yoseph.

Diskusi ini menarik sebab masing-masing pihak yang bertanggung jawab terhadap solar bersubsidi ini masih jalan sendiri-sendiri. Kuota solar bersubsidi ditentukan BPH Migas, sedang pengawasan dan sosialisasinya dilaksanakan oleh lembaga lain yang kewenangannya tidak pula maksimal. Harus ada tim terpadu dengan kewenangan yang jelas dan mengawasi mulai dari hulu sehingga hilirnya tidak bermasalah. (gk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *