BBKSDA Papua Lepas Liar 200 Tukik Penyu Lekang di Pantai Kampung Makiki, Nabire
Jayapura, PilarbangsaNews
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua melalui Bidang
KSDA Wilayah II Nabire melepasliarkan 200 ekor tukik penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Kegiatan tersebut berlangsung pada Senin (29/8) di pantai Kampung Makimi, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire, Papua.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, penyu lekang terdaftar sebagai satwa yang
dilindungi undang-undang. Sementara dalam IUCN Red List, penyu lekang berstatus
Vulnerable/VU (rentan) dengan tren populasi menurun. Di sisi lain, CITES menetapkan penyu lekang dalam daftar Appendix I, artinya dilarang dalam segala bentuk perdagangan
internasional.
Kepala Bidang KSDA Wilayah II Nabire, La Ode Ahyar Thamrin Mufti menyampaikan, bahwa
tukik penyu lekang yang dilepasliarkan tersebut merupakan hasil penangkaran semi alami oleh kelompok Desa Binaan Konservasi Rasama di Kampung Makimi dan Mossa Bomia di Kampung Nifasi, Nabire, Papua. Jajaran pantai di kedua kampung tersebut merupakan
tempat pendaratan penyu setiap musim bertelur.
“Tukik-tukik berasal dari dua desa binaan, tetapi lepas liar kami fokuskan di satu tempat,
yaitu Pantai Kampung Makimi, mengingat dua kampung tersebut saling berdekatan dan
pantai-pantainya juga bersambungan,” kata Ahyar.
Lebih lanjut Ahyar menyampaikan, bahwa kesadaran masyarakat telah muncul terkait konservasi penyu. “Pemerintah Kampung Makimi dan Nifasi juga mendukung konservasi
penyu ini sehingga terjalin sinergi yang baik di antara semua pihak. Selain itu, ada juga para pemerhati penyu, seperti Bapak Piet Hein Wanarina dari Kelompok Rasama dan Bapak
Eliakim Rumawi dari Kelompok Mossa Bomia. Mereka tahu bahwa penyu termasuk satwa
yang dilindungi undang-undang,” kata Ahyar.
Menurut Ahyar, umumnya para pemerhati penyu sangat prihatin atas perburuan penyu yang sangat tinggi di Kampung Makimi dan Nifasi. Mereka pun terpanggil untuk melindungi populasi penyu di wilayah kampung masing-masing, dengan harapan agar tingginya populasi penyu yang mereka jumpai saat masih anak-anak dapat kembali seperti dulu lagi.
“Untuk mengantisipasi sarang yang tidak aman dari predator dan abrasi pantai, kelompok
desa binaan membuat penangkaran semi alami. Namun, untuk kondisi sarang yang sekiranya aman, telur-telur penyu tetap mereka biarkan menetas di tempat alaminya,” kata Ahyar.
Selanjutnya, Kepala Balai Besar KSDA Papua, A.G. Martana menyampaikan apresiasi yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah terlibat dalam konservasi penyu di wilayah kampung Makimi dan Nifasi.
Martana mengatakan, “Konservasi penyu oleh masyarakat di Kampung Makimi dan Nifasi
merupakan langkah yang sangat luar biasa, sehingga patut mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tentu para pemerhati penyu sudah belajar langsung dari alam, artinya wawasan mereka tentang penyu diperoleh dari pengalaman saat bersentuhan langsung dengan penyu. Untuk lebih melengkapinya, akan sangat baik bila didukung dengan wawasan tentang
hal-hal teknis terkait konservasi penyu yang dipelajari dari berbagai sumber referensi, misalnya tentang teknik penangkaran, minitoring, penandaan/tagging, pembinaan habitat,
sampai teknik pengelolaan wisata minat khusus berbasis penyu.”
Menurut Martana, BBKSDA Papua melalui Bidang KSDA Wilayah II Nabire masih memiliki tanggung jawab besar untuk terus memberikan pendampingan, sampai kelompok-kelompok desa binaan tersebut mandiri dan cita-cita menjadi kampung wisata minat khusus berbasis
penyu dapat terwujud.
Martana mengharapkan, kelak masyarakat di Kampung Makimi, Nifasi, dan sekitarnya dapat mengambil manfaat penyu dengan tetap menjaga populasinya agar lestari. (rel/gk)