Polri

Terbuka Jalan Mewujudkan “Polisi Ninik Mamak” di Sumatera Barat

Oleh Gusfen Khairul (Wartawan PilarbangsaNews)

Meski dalam bulan September dan Oktober tahun 2022 ini wajah polisi Indonesia babak belur dengan terkuaknya Kasus Ferdy Sambo dan Kasus Sabu Teddy Minahasa (TM), namun kedua kasus itu tidaklah harus menutup mata kita untuk memberikan apresiasi terhadap prestasi-prestasi polisi secara umum. Apalagi di daerah, banyak yang bisa dicatat dan dituliskan hal-hal positif tentang Polisi Republik Indonesia (Polri).

Kalau kita bicara polisi di Provinsi Sumatera Barat, maka dua nama polisi yaitu Brigadir Jenderal (Purn) Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (17 Januari 1906-1 April 1981) dan Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin (26 September 1927-31 Januari 2019) tentu tidak bisa kita lupakan. Keduanya merupakan dua sosok polisi yang sederhana, tegas, tentu saja mengayomi sesuai dengan misi mulia seorang polisi, akseptabel yang kemudian dibuktikan bahwa mereka dipercaya pada jabatan-jabatan lain di luar tugas kepolisian. Dan tentu saja kedua sosok polisi panutan ini taat dalam beragama.

Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa yang Jujur

Kalau kita sebut nama Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, jelas orang Sumatera Barat mengenalnya sebagai polisi yang merakyat dan terbilang sebagai sosok polisi yang jujur. Baik ketika ia menjadi Asisten Wedana Polisi, Kepala Polisi Padang Luar Kota, hingga jabatan terakhirnya di kepolisian sebagai Kepala Kepolisian Sumatera Tengah. Sikap itu tetap terpelihara sampai Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa dipercaya Pemerintah RI menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Tengah pertama tahun 1958-1965.

Ya, kalau bicara kejujuran sosok Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, mungkin mirip-mirip dengan kisah Jenderal (Purn) Polisi Hoegeng. Ada satu cerita nyata. Ketika Kaharoeddin telah pensiun dari dinas kepolisian tahun 1967, dirinya didatangi ke Padang oleh Brigjen Polisi Amir Machmud, yang merupakan yunior Kaharoeddin. Amir Machmud diutus oleh Kapolri saat itu, yaitu Jenderal Polisi Sutjipto Judodihardjo. Tujuannya adalah menjemput Kaharoeddin untuk diberangkatkan menunaikan ibadah haji dengan semua biaya ditanggung oleh Kapolri.

Dalam buku “Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur Ditengah Pergolakan” (Pustaka Sinar Harapan, 1998) dikisahkan bahwa Kaharoeddin menolak pemberian Kapolri untuk naik haji itu. “Malu kalau naik haji diuruskan oleh Kapolri,” kata Kaharoeddin menolk secara halus. Kisah itu dibenarkan oleh cucunya, Aswil Nasir, yang mengatakan bahwa kakeknya Kaharoeddin sangat saklek untuk urusan hadiah dan pemberian seperti itu. Kakeknya tidak akan mau menerima pemberian apapun, seperti hadiah, oleh-oleh ataupun ucapan terima kasih.

Masih soal penolakan hadiah naik haji. Pada tahun 1970, Bupati Tanah Datar Mahjoedin Algamar dan Wali Kota Padang Achirul Jahja, yang sudah menganggap Kaharoeddin sebagai sosok ayah mereka, juga menawarkan untuk naik haji. Tawaran itu juga ditolak Kaharoeddin dengan alasan asal muasal uang tersebut. Namun Mahjoedin dan Achirul berhasil meyakinkan bahwa uang yang digunakan adalah iuran mereka pribadi dan halal, barulah Kaharoeddin mau menerima tawaran naik haji itu. Namun, karena Kaharoeddin ingin membawa isterinya ikut serta ke tanah suci, maka Kaharoeddin diam-diam harus menjual sebidang tanah miliknya untuk membiayai keberangkatan naik haji isterinya.

Kisah polisi Kaharoeddin yang jauh dari perilaku koruptif, menolak gratifikasi dan hadiah dalam bentuk apa pun, tidak hanya ketika berdinas di kepolisian tetapi terus menjadi perilaku hidupnya. Sikap itu dipertahankan Kaharoeddin ketika dipercaya Pemerintah RI menjadi Gubernur Sumatera Tengah. Ceritanya, Kaharoeddin pernah ditemui rekanan pengusaha yang mengerjakan proyek di Pemerintah Provinsi di kantornya. Mereka datang untuk bersilaturrahmi. Dengan sengaja pengusaha tadi meninggalkan sebuah kotak roti di meja. Ternyata setelah diperiksa oleh Kaharoeddin, dalam kotak roti itu isinya uang.

Kaharoeddin spontan memanggil ajudannya, lalu diperintahkannya, “Kembalikan uang ini kepada pengusaha yang menemui saya tadi. Bilang kepadanya kalau mau menyumbang bukan sama Gubernur, tetapi silahkan serahkan ke Jawatan Sosial.” Sebuah sikap yang sangat tegas menolak dan tanpa kompromi terhadap gratifikasi.

Awaloedin Djamin Menuju Polisi Modern

Begitu juga dengan sosok Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin, sosok polisi yang dikenal sederhana. Profil Minangnya sangat kentara, dimana ia bersikap terbuka, egaliter dan tentu saja berpikiran maju. Kesehariannya lebih banyak memberikan arah masa depan Polri dan menjadi teladan sebagai pemimpin institusi.

Di kepolisian Awaloedin Djamin dikenal sebagai peletak dasar-dasar kepolisian modern. Dalam masa tugasnya sebagai Kapolri (1978-1982), Awaloedin Djamin menanamkan dasar-dasar kepolisian modern dan konsep pemenangan Polri untuk masa depan yang dirasakan pada saat ini. Buku-buku karya Awaloedin Djamin menjadi sumber rujukan dalam ilmu administrasi Negara dan ilmu kepolisian di tanah air. Dalam pidatonya yang terkenal tahun 1964 di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) bahwa kepolisian adalah aparat negara dan milik seluruh rakyat, agar mendahulukan kepentingan negara daripada kepentingan kelompok. Saripati dari pidato itu tetap terpakai hingga kini.

Awaloedin Djamin juga menulis tentang manajemen sekuriti di Indonesia, yaitu pokok pikirannya sebagai polisi dalam mencegah dan mengurangi terjadinya tidak kejahatan. Dari pikiran Awaloedin Djamin inilah lahir gagasan membentuk satuan pengamanan lingkungan di luar kepolisian. Tidak salah kemudian, Polri memberi julukan kepada Awaloedin Djamin sebagai “Bapak Satpam Indonesia”.

Selain itu, dalam masa Awaloedin Djamin menjadi orang nomor satu di organisasi Polri (1978-1982), terdapat pengesahan KUHAP atau Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai hasil karya bangsa Indonesia yang disahkan DPR-RI. Adapun KUHAP sangat penting artinya, sebagai pengganti Het Herziene Indlandsh Reglement (HIR) atau hukum acara pidana produk kolonial Belanda yang dianggap konservatif dan tidak manusiawi.

Dalam autobiografinya “Pengalaman Seorang Perwira Polisi” (Pustaka Sinar Harapan, 1995) Awaloedin masih memperlihatkan sosok negarawan yang berpikir jauh kedepan. Ia mengingatkan isu-isu penting yang akan dihadapi bangsa ini kedepan, seperti meningkatnya tuntutan human right dimana-mana, meningkatnya internasional crime, terorisme, bencana alam, bencana buatan manusia, resesi ekonomi, pencemaran lingkungan, gerakan liberalisasi, demokratisasi dan lain-lain. Dan semua isu-isu penting itu memang terjadi dan mengalami peningkatan.

Di masa tuanya, Awaloedin Djamin masih dipercaya memimpin Yayasan Pendidikan Syarikat Oesaha Adabiah. Dalam satu kesempatan bertemu penulis, ia masih sempat memberikan komentar dan melepaskan kegusarannya dengan mengeritik perilaku oknum anggota polisi yang bermewah-mewah dan tidak sense of crisis. Awaloedin Djamin juga menyayangkan adanya oknum anggota Polri yang terlibat dalam perbuatan melanggar hukum, padahal mestinya mereka sebagai penegak hukum harus menjadi contoh yang baik untuk masyarakat.

Itulah sosok dua polisi yang menjadi teladan dan insprasi bagi polisi masa kini, yaitu Brigjen Polisi (Purn) Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa dan Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin. Kini setelah keduanya tiada. Tetapi nama keduanya dan sikap-sikapnya masih tertulis dengan baik dalam sejarah Kepolisian Republik Indonesia, terutama tentu di Provinsi Sumatera Barat.

Vaksin, Restorative Justice dan Anti Penyakit Masyarakat

Kini, kita pun tidak bisa menutup mata, bahwa ada prestasi polisi yang bisa dicatatkan di Ranah Minang ini. Tidak prestasi pribadi, tetapi adalah prestasi polisi sebagai institusi dan sosok pengayom masyarakat. Dalam dua tahun terakhir ini, ada tiga hal penting yang pantas kita catat sebagai buah tangan polisi di Sumatera Barat, yaitu Gerakan Sumdarsin (Sumbar Sadar Vaksin), Restorative Justice (Penyelesaian Perkara berdasarkan Keadilan Restoratif) dan Anti Penyakit Masyarakat (razia judi, minuman keras dan maksiat beserta seluruh bekingnya).

Pada waktu awal-awal pemerintah mewajibkan vaksin sebagai satu upaya melawan virus Covid-19, di masyarakat Sumatera Barat justru berkembang sinisme, bahwa vaksin adalah akal-akalan pemerintah saja. Banyak yang tidak percaya, ketika disurvey hampir 35 persen tidak percaya dengan vaksin. Ditambah lagi membanjirnya hoax di media sosial secara masif, yang membuat tingkat pencapaian vaksin sangat rendah. Sehingga upaya pemerintah untuk melawan Covid-19 dengan kekebalan kelompok sangat jauh dari harapan.

Ketika itulah polisi tampil di depan. Pada akhir September tahun 2021, Polda Sumatera Barat yang didukung penuh oleh Pemprov Sumbar, mendeklarasikan gerakan Sumbar Sadar Vaksin (Sumdarsin). Dengan gerakan itu, maka seluruh polisi di tingkat Polda, Polres, Polsek hingga Bhabinkamtibmas bekerja siang malam memotivasi dan mendorong masyarakat untuk divaksin, baik itu vakasinasi dosis I maupun vaksinasi dosis II, hingga dilanjutkan dengan booster.

Peran polisi dalam Sumdarsin memang benar-benar harus diacungi jempol. Semua masyarakat dimotivasi untuk vaksinasi. Seluruh pelosok negeri demam vaksinasi. Polisi memeriksa para pengguna jalan, apakah sudah divaksin atau belum, masuk ke warung-warung memeriksa masyarakat yang sudah divaksin atau belum. Razia ke pasar dan tempat wisata, untuk mencari masyarakat yang belum divaksin. Jika ada, mereka langsung diarahkan ke tenda vaksinasi yang sudah tersedia untuk diberikan vaksin. Begitu juga ke sekolah-sekolah dan kampus, semuanya tidak luput dari sasaran Sumdarsin. Bhabinkamtibmas, yaitu aparat kepolisian yang berada di nagari dan desa, turun secara langsung dari rumah ke rumah untuk mengecek masyarakat, apakah sudah vaksin atau belum.

Hampir di seluruh kantor polisi, mulai dari Mapolda Sumbar, Mapolres Kabupaten/Kota dan Mapolsek di semua kecamatan terpasang tenda, lengkap dengan petugas vaksinasi yang siap dengan peralatannya. Bahkan secara periodik acara vaksinasi ini dihibur pula dengan orgen tunggal, artis serta aneka hadiah doorprize untuk peserta vaksinasi yang beruntung. Hadiah doorprize ini tidak tanggung-tanggung, mulai dari kaos, kipas angin, sepeda, kulkas, televisi layar datar, hingga sepeda motor.

Akibatnya, capaian vakasinasi Sumbar melonjak tajam. Dari hanya 16 persen di akhir September 2021, maka dapat dicapai 70 persen di akhir Desember 2021. Ini sesuai dengan target dan harapan Presiden Jokowi bahwa seluruh Indonesia pada akhir Desember capaian vaksinasi sudah harus 70 persen. Luar biasa, semua masyarakat di pelosok Sumatera Barat dimotivasi dan didorong oleh polisi untuk mengikuti vaksinasi. Tentunya dengan sentuhan penyuluhan, bahwa vaksinasi aman dan merupakan ikhtiar untuk bisa imun dan terhindar dari virus Covid-19.

Alhamdulilah pada Februari 2022, Provinsi Sumatera Barat sudah berada pada papan atas pencapaian vaksinasi. Data pada situs vaksin.kemenkes.go.id di sekitar bulan Februari itu capaian vaksinasi dosis I sebesar 81.8 persen atau sebanyak 3.609.173 jiwa dari target 4,4 juta jiwa. Vaksinasi dosis II sebesar 50,70 persen atau sebanyak 2.234.948 jiwa. Capaian vaksinasi yang melebihi dari target ini membuat polisi di Sumbar mendapat acungan jempol dari semua pihak, karena akibat kerja keras polisi masyarakat Sumbar jadi imun dari virus Covid-19. Kerja keras polisi terbukti telah menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa masyarakat Sumatera Barat.

Satu lagi prestasi polisi Sumatera Barat yang pantas dicatat adalah ditandatanganinya Momerandum of Understanding (MOU) atau “Piagam Perjanjian Luhak Nan Tuo” antara Polda Sumatera Barat dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) pada tanggal 27 Februari 2022 di Hotel Emersia, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Isinya adalah kesepakatan menegakkan Restorative Justice (Penyelesaian Perkara berdasarkan Keadilan Restoratif) bersama-sama dengan Ninik Mamak yang tergabung dalam LKAAM Sumatera Barat.

Berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) No. 08 Tahun 2021 mengatur tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif, yang akan digunakan sebagai acuan dasar penyelesaian perkara dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana guna dapat memberikan kepastian hukum, sebagaimana diatur tentang penghentian penyelidikan (SPP-Lidik) dan penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif.

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan keadaan kembali seperti semula.

MOU atau “Piagam Perjanjian Luhak Nan Tuo”ini disambut sangat antusias oleh Ninik Mamak pemangku adat di seluruh Sumatera Barat. Menurut Ketua Umum LKAAM Sumbar DR. H. Fauzi Bahar, M.Si. Datuak Nan Sati, bahwa Restorative Justice adalah mengembalikan marwah Ninik Mamak kembali sebagai penjaga dan pengawal dari anak kemenakannya. Sehingga jika ada anak kemenakannya bermasalah secara hukum, maka ada ruang Ninik Mamak ikut serta menyelesaikan perdamaian yang adil atas perkara itu diluar jalur pengadilan.

Dengan Restorative Justice maka Ninik Mamak kembali sebagai fungsinya menjaga anak kemenakan, baik secara adat pun secara hukum. Penandatanganan MOU dengan Polda Sumbar ini, kata Fauzi Bahar telah menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal Minangkabau kembali. Karena itu, kemenakan tidak bisa lagi mengabaikan dan apalagi melawan kepada mamaknya, tetapi justru makin santun dan makin hormat.

Menurut Ketua Umum LKAAM Sumbar Fauzi Bahar Dt. Nan Sati, langkah Restorative Justice sudah sangat cocok dan siring sejalan dengan LKAAM. Sebab Restorative Justice yang berbasis kepada Ninik Mamak akan sangat efektif pada saat pelaksanaannya. Sebab kesepakatan perdamaian antar kemenakan yang bermasalah secara hukum itu nantinya akan dikawal dalam keseharian oleh Ninik Mamak masing-masing. “Keadilan restoratif melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan Ninik Mamak kedua belah pihak maka akan menghasilkan kesepakatan dan perdamaian yang adil serta memulihkan kembali pada keadaan semula yaitu pola hubungan baik dalam masyarakat,” kata Fauzi Bahar, mantan Wali Kota Padang periode 2000-2010.

Prestasi polisi yang harus menjadi catatan dalam dua tahun terakhir adalah gencarnya Polda Sumbar bersama seluruh Polres dan Polsek memberantas Penyakit Masyarakat (Pekat) yaitu perjudian, minuman keras dan maksiat. Ketiganya menjadi prioritas pemberantasan polisi, setiap hari dan tidak ada ampun. Mulai dari ibukota provinsi, ibu kota kabupaten/kota, hingga ke nagari dan desa di pelosok Sumatera Barat.

Tidak hanya memberantas para pelaku perjudian, pemabuk dan pelaku maksiat, polisi juga memberantas para pembekingnya. Bisa jadi pembekingnya adalah warga sipil, oknum Polri dan oknum TNI, tidak ada pengecualian. Semua yang terlibat dan membeking diberantas habis oleh polisi demi menciptakan ketentraman dan kenyamanan, sehingga mendukung terwujudnya Provinsi Sumatera Barat yang terkenal dengan filosofi Adat Basandi Syarak dan Syarak Bersendikan Kitabullah.

Pemberantasan Pekat ini membuat tingginya kasus perjudian yang ditangani Polda Sumbar. Akhir tahun 2021 disampaikan data bahwa ada 164 kasus judi yang ditangani, ini meningkat dari periode tahun sebelumnya yaitu 110 kasus. Polisi merilis bahwa peningkatan kasus ini karena gencarnya polisi memberantas penyakit masyarakat, termasuk razia terhadap penjualan minuman keras tanpa izin serta membasmi lokasi prostitusi warung remang-remang, prostitusi di hotel dan prostitusi online yang mulai marak akhir-akhir ini.

Namun, secara umum ada kabar menggembirakan dari aksi-aksi polisi ini, yaitu terjadinya penurunan kasus tindak pidana di Sumatera Barat. Tahun 2021 sebanyak 5.099 kasus, jauh menurun dari tahun 2020 yaitu 8.525 kasus. Terjadinya penurunan kasus tindak pidana ini mengakibatkan angka penyelesaian perkara, termasuk yang tertunggak, juga bisa dipacu. Tahun 2021 Polda Sumbar bisa mencapai penyelesaian 7.607 kasus.

Tanggapan positif atas langkah-langkah polisi ini disampaikan oleh para ulama dan tokoh adat di Sumatera Barat. Bagi mereka polisi yang baik itu adalah polisi yang mampu mengayomi masyarakat, dan itu sudah dijalankan Polda Sumbar dengan tiga langkah strategisnya yaitu Gerakan Sumdarsin, Restorative Justice dan Gerakan Anti Pekat. Ketiga program ini telah menyelamatkan nyawa, menyelamatkan dari sisi hukum dan menghindarkan masyarakat dari perilaku maksiat. Kalau diibaratkan masyarakat itu sebagai kemenakan maka polisi yang baik itu adalah Ninik Mamak. Jika ada sebutan Polisi Ninik Mamak, maka maksudnya adalah sosok polisi yang mampu melindungi dan mengayomi masyarakat.

Jika ada pertanyaan, siapa itu Polisi Ninik Mamak? Tentu saja jawabnya adalah anggota polisi yang mampu berperilaku seperti Ninik Mamak, yang melindungi, yang peduli dan mengayomi anak kemenakannya. Contohnya sudah ditunjukkan oleh dua nama polisi legendaris asal Sumatera Barat yaitu Brigadir Jenderal (Purn) Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa dan Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin, serta tentunya akan diteruskan oleh polisi-polisi baik lainnya. (gk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *