.

Musyawarah, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi: Solusi atau Keniscayaan?

Oleh Fadhil Rahman, S.H (Mahasiswa Program Super Spesialis Magister Ilmu Hukum Kontrak Konstruksi Fakultas Hukum Universitas Andalas)

Pembangunan infrastruktur yang sedang gencar dilaksanakan pemerintah dari tahun ke tahun telah memberikan outcome berupa manfaat yang besar bagi perkembangan kemajuan dalam sektor ekonomi, sosial masyarakat di seantero negeri. Namun momok yang mengekori akan timbulnya potensi terjadinya sengketa konstruksi dalam pelaksanaannya terus menjadi bagian yang tak terelakkan.

Dalam satu dekade terakhir begitu banyak gugatan sengketa konstruksi ke pengadilan dengan pemerintah sebagai objek gugatannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan tentang segala macam sengketa dan konflik dalam pelaksanaan kontrak ini. Baik itu dikarenakan terkait dengan besarnya jumlah nilai paket pekerjaan dan maupun juga karena kurangnya pengetahuan terhadap berbagai aspek dalam kontrak konstruksi bagi masyarakat jasa konstruksi. Segala upaya untuk penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi telah diberikan dan diakomodir oleh pemerintah guna mencapai tatanan pemerintahan yang baik dan guna didapatkannya kepastian hukum berdasarkan konsep rule of law.

Salah satu bentuk upaya penyelesaian sengketa tersebut adalah melalui musyawarah. Sebagaimana sila keempat Pancasila yakni “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Musyawarah adalah usaha untuk mencapai kata mufakat atau kesepakatan bersama. Dalam adanya perbedaan pendapat, musyawarah sangat perlu dilakukan guna menghindari konflik atau menyelesaikan permasalahan antar berbagai pihak. Secara nilai musyawarah ini merupakan usaha mencari kebenaran dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan. Setelah mengadakan musyawarah, keputusan yang diambil haruslah dihormati, disetujui, serta dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat di dalam kegiatan musyawarah. Musyawarah haruslah dibarengi dengan semangat kekeluargaan dan sikap saling menghormati.

Pada pasal 88 ayat 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 menjelaskan pilihan pertama penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi adalah musyawarah untuk mufakat, baru kemudian dilanjutkan pada tahap penyelesaian sengketa yang terdiri dari mediasi, konsiliasi dan arbitrasi. Konsep musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan kunci agar terjadi hubungan baik antara penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi.

Dan pemahaman tentang penyelesaian kontrak konstruksi ini pun perlu diketahui oleh semua pihak bukan hanya pihak kontraktor melainkan juga praktisi hukum di Indonesia.

Tentang Arbitrase

Dalam Pasal 1 ayat 1 UU 30/1999 tentang Arbitrase adalah salah satu cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Secara etimologis kata “arbitrase” dalam bahasa Inggris adalah arbitration, dalam bahasa Belanda dan Perancis arbitrage, sedangkan dalam bahasa Jerman adalah schiedspruch. Frank Elkoury dan Edna Elkoury mendefinisikan arbitrase sebagai suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. (Hengki Andora & Titin Fatimah 2014).

Hukum yang berkaitan dengan proses arbitrase yaitu Lex Arbitri (Hukum Negara yang Mendasari) adalah Undang-Undang tentang arbitrase disuatu negara dimana UU arbitrase tidak boleh diabaikan oleh siapapun termasuk orang asing. Rules and Procedures (Hukum Acara Arbitrase) harus dicantumkan dalam sebuah perjanjian. Substantive Law (Hukum Material) hukum yang terkait dengan apa yang disengketakan.

Ruang lingkup penyelesaian sengketa melalui Arbitrase menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yaitu: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang: Perniagaan, Perbankan, Keuangan, Penanaman Modal, Industri dan; Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.

Arbitrase dan jenis sengketa menurut Pasal 2 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian.

Arbitrase yang secara tegas menyatakan, semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara Arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Arbitrase tidak hanya dipraktikkan di Indonesia, semua negara di dunia mempraktikan model penyelesaian ajudikasi non-litigasi ini untuk kasus-kasus bisnis. Sebagai contohnya di negara Jepang begitu sering menggunakan jalur non litigasi ini, tercatat bahkan 80 % sengketa keperdataan dan bisnis di sana diselesaikan melalui Arbitrase. Mereka sebagian besar beranggapan bahwa penyelesaian sengketa dengan cara ini lebih memungkinkan memberikan rasa keadilan yang sesuai dengan yang mereka butuhkan, disamping melalui pengadilan yang tentunya akan membutuhkan waktu yang relatif panjang dan belum mampu memberikan hasil yang seyogyanya mereka harapkan.

Lebih jauh hal ihwal tentang arbitrase. Pertama, Arbitrase disebut sebagai penyelesaian sengketa ajudikasi non litigasi karena memiliki kompetensi absolut setara dengan pengadilan. Putusannya memiliki kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan. dalam Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian Arbitrase. Pasal ini menunjukan pengakuan bahwa Arbitrase memiliki kompetensi absolut setara pengadilan.

Kedua, kompetensi absolut Arbitrase lahir karena adanya kesepakatan para pihak yang bersengketa. Kesepakatan ini bisa tertuang dalam klausul kontrak yang mereka buat, yang biasa kita kenal dengan adanya pilihan arbitrase (choice of arbitration) atau bisa juga dalam bentuk perjanjian arbitrase (arbitration agreement). Bedanya, perjanjian Arbitrase biasanya dibuat belakangan setelah terjadi sengketa karena sebelumnya para pihak tidak membuat klausul Arbitrase dalam kontraknya.

Ketiga, baik klausul maupun perjanjian Arbitrase, lazimnya akan juga memilih institusi Arbitrasenya yakni BANI Arbitration Center sebagai Lembaga Arbitrase terkemuka di Indonesia misalnya, memiliki standar klausul Arbitrase yang dapat digunakan sebagai klausul kontrak yang berbunyi: “Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”. (Dalam Prof. Dr. Ahmad M Ramli Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Kompas, 2022, Arbitrase Solusi Penyelesaian Sengketa Bisnis Pasca-pandemi)

Tujuan upaya penyelesaian Arbitrase ini diharapkan memiliki putusan yang objektif, memenuhi rasa keadilan, dan dengan adanya dasar itikad baik semua pihak, maka akan berakibat putusan tidak pernah lagi diupayakan pembatalan. Namun tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.

Hukum acara yang berlaku terhadap proses penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah hukum acara perdata nasional namun apabila para pihak berkehendak lain maka hukum acara yang berlaku merupakan hukum acara yang dikehendaki oleh para pihak. Dalam hukum acara yang terdapat dalam lembaga arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memiliki hukum acara tersendiri yang terpisah dalam hukum acara yang sudah diatur dalam Undang Undang Arbitrase. Undang Undang Arbitrase memberikan kepada lembaga arbitrase hak untuk menentukan hukum acaranya sendiri namun tidak boleh bertentangan dengan peraturan peraturan yang berlaku di Indonesia. Beberapa hal yang membedakan hukum acara dalam lembaga BANI dengan Undang Undang Arbitrase adalah: a) Penentuan arbiter atau majelis arbitrase; b) Pemilihan hukum yang dapat dimintakan oleh para pihak. ; c) Kedudukan tempat beracara yang di sepakati oleh para pihak.
Sedangkan dalam Undang Undang Arbitrase hanya mengatakan dalam undang- undangnya bahwa apabila para pihak tidak menentukan hukum acara yang berlaku untuk menyelesaikan perkara tersebut maka hukum acara perdata nasional yang berlaku. Sehingga dapat dilihat terdapat beberapa perbedaan antara hukum acara yang berlaku dalam Undang Undang Arbitrase dengan hukum acara yang berlaku dalam lembaga arbitrase BANI.

Keniscayaan Terhadap Upaya Penyelesaian Sengketa Non Litigasi

Permasalahan mengapa arbitrase sengketa konstruksi dipandang sebelah mata oleh para pihak yang bersengketa. Pertama, para pihak menilai kurangnya kepercayaan independensi arbiter dalam menangani perkara dibanding lembaga peradilan yang telah lama ada dan memiliki sistem yang memadai dalam memutuskan suatu perkara.

Kedua, adanya kecenderungan para pihak untuk menggugat kembali hasil putusan arbiter karena dinilai belum memenuhi keadilan oleh masing-masing pihak, padahal di lembaga peradilan pun masih terdapat upaya hukum lanjutan yang menandakan masih adanya ketidakpuasan para pihak terhadap putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim.

Ketiga, para pihak masih skeptis dengan putusan arbiter yang dinilai belum memiliki kekutan eksekusi padahal dari hasil putusan arbiter yang didaftarkan di pengadilan akan memberikan kewenangan eksekusi terhadap para pihak.

Keempat, para pihak menilai biaya yang harus dikeluarkan pada lembaga arbiter lebih mahal daripada lembaga peradilan umum, hal ini relatif terhadap nilai objek sengketa yang menyangkut banyak kepentingan para pihak yang penerima manfaatnya.

Dan kelima, pemahaman awam tentang pelaksanaan arbitrase yang hanya berada hanya di tingkat ibukota propinsi sedangkan kontrak perjanjian atau klausul pekerjaan berada di lokasi kabupaten yang mungkin jauh dari ibukota propinsi, disini para pihak sementara berpendapat akan ada usaha tambahan untuk mengajak pihak lainnya melaksanakan sidang arbitrase keluar dari kota atau kabupaten lokasi pekerjaan, padahal jika dalam perjanjian telah disepakati dan mengikat serta mempersyaratkan perjanjian arbitrase tetap dilaksanakan walaupaun salah satu pihak tidak dapat menghadiri meski sudah disampaikan surat pemberitahuan dan undangan pelaksanaan siding maka siding arbitrase tetap berjalan. Oleh karena itu akibatnya pihak yang tidak bisa menghadiri tersebutlah yang merugi tidak dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang bagaimana sengketa tersebut dapat diselesaikan. ***

*) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *