Peluk Aku, Bu Guru (Oleh; Ana Yuliana)
“Tak ada yang mau satu kelompok denganku, Bu.” Sebisa mungkin Alvin berusaha agar air mata itu tak jatuh. Ia anak laki-laki dan pantang untuk menangis.
Filzah menatap anak laki-laki di hadapannya ini, seorang anak dengan baju lusuh dan kusut serta rambut yang acak-acakan dengan warna kuning kusam akibat terlalu lama berjemur di bawah teriknya sianar matahari.
“Nanti akan ibu carikan kelompok untuk Alvin ya,” sahut bu guru muda ini walau tetap saja terbersit keraguan apakah teman-temannya ada yang mau menjadikannya anggota kelompok.
Anak laki-laki itu mengusap kasar hidungnya, sedikit meringis karena kulihat di pinggir hidungnya ada luka yang sepertinya belum terlalu kering.
“Nanti tak ada yang mau,” jawab Alvin lagi.
Filzah mencoba untuk tersenyum, mengusap rambut Alvin dan sedikit terkejut ketika menyadari rambut anak ini begitu berminyak.
“Pasti ada, pokoknya Alvin yakinlah sama ibu, teman-temanmu itu bukan menolak hanya tak tahu saja,” sahut Filzah lagi.
Alvin mengangguk, ada bulir bening yang mengalir di sudut netranya, berusaha ia tahan namun akhirnya keluar juga. Jika saja tugas ini adalah berlari, mengangkut kayu atau mengerjakan soal matematika atau apapun itu, ia masih bisa sendiri namun ini tugas untuk membuat makanan kecil khas daerah dan memasarkannya, ia butuh tim, tak bisa sendirian.
“Rumah Alvin dimana?” tanya Filzah penasaran. Sejak dua minggu yang lalu bertugas di daerah ini, Alvin adalah salah satu anak yang menjadi sorotannya, ia terlihat tak terurus, seperti tak pernah mandi dan baunya pun sedikit menganggu. Harusnya sejak minggu lalu ia sudah mengadakan kunjungan rumah, tapi selalu saja ada urusan kedinasan hingga ia abai.
“Di kebun,” jawab anak berusia sebelas tahun itu.
“Ibu boleh ikut? Pengen saja ketemu dengan orang tua Alvin.”
Alvin langsung menggeleng. “Ibu tak ada, hanya kakek saja,” jawabnya pelan. “Rumahku jauh, jalannya becek.”
“Gak apa, ibu hanya pengen main saja,” ujar Filzah lagi.
Alvin kemudian hanya mengangguk saja, ingin rasanya menolak tapi takut jika Bu Filzah akan marah.
Awal lulus penerimaan Pegawai Nigeria Sipil di SD ini, Filzah sedikit ragu sebenarnya, ini adalah daerah baru, sebuah kabupaten pemekaran yang daerahnya masih minim akses jalan ke desa-desa termasuk desa tempat ia mengajar. Dari ibu kota kabupaten harus naik kendaraan umum selama dua jam, kemudian harus naik ojek motor ke atas bukit melewati jalan terjal selama satu jam lamanya. Sebuah tantangan sebenarnya untuk mengabdi di desa ini di tengah keterbatasan listrik dan sinyal ponsel yang lebih sering pergi daripada datangnya.
“Di sekolah ini kalau sempat ngajar ya ngajar, kalau gak sempat ya sudah, biar anak-anak main saja, namanya juga kerja nyantai, anak desa gak usah pula terlalu pintar. ” Ungkapan Bu Shanty, seorang guru senior, penduduk asli desa ini yang sudah PNS. Sedikit terkejut awalnya Filzah mendengarnya, mana bisa seperti itu, padahal mengajar itu kan kewajiban, kita dibayar dengan menggunakan uang negara. Mana boleh bisa mengajar sesuka hati, bisa-bisa tak halal gaji setiap bulan yang diterima.
“Kalau anaknya mau masuk ya syukur, gak mau masuk sekolah ya sudah tinggal berhenti saja. Kenapa juga repot-repot mesti kunjungan rumah,” komentar Bu Shanty ketika Filzah ingin melakukan kunjungan rumah ke tempat Alvin. “Kalau ibu kandungnya saja tak mau mengurus, lah kita bisa apa? “
Filzah hanya tersenyum saja kala itu, sejak awal ibu kepala sekolah sudah mengingatkan agar ia jangan terbawa arus. Sudah bukan rahasia umum lagi jika di sekolah kecil ini sebagian guru malah cenderung abai akan pendidikan dan terkesan tak peduli. Bagi mereka yang penting tiap bulan masih gajian.
“Kamu kerja bukan untuk ibu sebagai kepala sekolah, bukan pula untuk ikut-ikutan mereka yang malas mengajar. Kamu kerja karena sumpah jabatanmu yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di akherat,” ucap Bu Mira.
Dan Filzah pun meyakini jika apa yang ia tabur kini akan ia tuai nantinya, setiap kebaikan pasti akan berbuah kebaikan pula.
Benar kata Alvin jika jalan menuju ke rumahnya tidaklah mudah, sangat licin karena jalan tanah ini bergelombang dan penuh dengan lobang, belum lagi ketika jalanan menanjak, bukan main susahnya menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset. Filzah kagum dengan semangat anak ini untuk ke sekolah, bukan main medan yang harus ia tempuh dan itu demi menggenggam ijazah Sekolah Dasar.
“Pegangan di ranting, Bu,” ujar Alvin ketika Filzah kesulitan untuk menaiki tebing. Padahal ia sudah menganti sepatunya dengan sandal jepit tapi malah semakin licin dan beberapa kali terpeleset.
“Ibu lepas sandal dulu.” Filzah langsung melepas sandalnya, sepertinya kali ini ia harus kaki ayam saja biar bisa segera sampai.
Dan Alvin pun langsung bersorak gembira ketika akhirnya Filzah bisa naik ke atas bukit itu. Heran juga, anak kecil ini biasa saja melalui jalan menanjak seolah telapak kakinya melekat dengan tanah, sungguh di usia belia ia sudah ditempa oleh alam agar menjadi kuat.
“Bu guru mau kemana?” Seorang ibu paruh baya yang tengah mengangkut kayu bakar di atas kepalanya menyapa. “Hati-hati jatuh,” ujarnya lagi.
“Mau ke rumah Alvin, Bu,” jawab Filzah ramah.
“Jangan kesorean ya, Bu, suka hujan.” Ibu itu mengingatkan.
“Iya, Bu, terima kasih.”
Seharusnya Alvin lah yang Filzah gandeng tapi kenyatannya sebaliknya, malah ia yang harus berpegangan pada tubuh kecil anak itu ketika lagi-lagi hampir terpeleset.
“Itu, Bu.” Alvin menunjuk sebuah rumah kayu kecil dengan seng sebagai atapnya.
Filzah terpaku menatap rumah yang sekilas mirip dengan kandang kambing itu, bahkan dindingnya hanya terbuat dari susunan papan bekas yang sudah lapuk dan lantainya pun hanya tanah saja. Di sinilah anak ini tinggal, berlindung dari teriknya matahari dan dinginnya malam.
“Masuk, Bu, ada kakek di dalam,” ujar Alvin. “Kalau ayah sudah meninggal dan ibu pergi kerja ke luar negeri,” lanjutnya.
Begitu masuk ke dalam rumah itu pandangannya tertuju pada seorang kakek yang tengah terbatuk-batuk di atas dipan kayu, tubuhnya sangat kurus dan wajahnya pun pucat. Bau tak sedap pun langsung menuusk hidung namun ia tetap bersikap biasa saja.
“Itu kakekmu?” tanya Filzah.
Alvian mengangguk cepat. “kakek sedang sakit, obatnya putus, belum ada uang,” jawab Alvin biasa saja. Ia langsung menghampiri kakeknya, mengangkat tubuh laki-laki tua itu dan seketika raut wajahnya langsung berubah. “Ibu keluar dulu ya, kakek buang air besar, mau Alvin bersihkan dulu,” ujarnya sambil tersenyum.
Ada nyeri di hati Filzah, inilah kehidupan anak didiknya. Seorang anak kelas enam Sekolah Dasar yang bukan hanya harus menghidupi diri namun juga merawat kakeknya. Ayahnya sudah lama meninggal dunia sementara ibunya kabarnya bekerja sebagai TKW di Malaysia, harusnya ia sejahtera jika ibunya mengirim uang secara rutin namun keadaannya kini begitu memprihatinkan.
“Apa ibumu tak pernah mengirim uang padamu?” tanya Filzah sambil membereskan barang bawaannya.
“Dulu pernah lewat Pak De Dandi, terus kata Pak De sekarang ibu gak kirim uang lagi, gak tahu kenapa,” jawab Alvin, lagi-lagi sambil tersenyum. Mungkin air mata itu sudah tak tersisa lagi.
“Ada no ponsel ibumu?” tanya Filzah lagi. “Ibu mau bicara.”
“Dulu ada tapi sekarang sudah ganti, tapi ibu pernah kirim surat dan waktu itu kasih nama FB-nya, tapi Alvin gak ngerti gimana menghubungi pakai FB ini.”
“Mana nama FB-nya?” Filzah langsung mengambil ponselnya, di rumah Alvin yang tinggi ini sinyalnya lumayan bagus jadi ia bisa membuka FB-nya.
“Ini.” Alvin menyerahkan sebuah kertas kusam yang sepertinya sudah berkali-kali di baca. “Di bawah itu, Bu nama Facebooknya.”
Filzah langsung memasukkan nama FB itu ke kolom pencarian dan tak lama langsung menemukan nama FB dengan nama yang sama, Winarsih.
“Benar ini foto ibumu, Nak?” tanya Filzah.
Alvin langsung mengangguk.
“Ibu kirim pesan ya.”
Alvin langsung mengusap sudut netranya. “Iya, Bu, kirim pesan ke ibuku, aku rindu, sangat rindu,” ujarnya penuh harap. “Bilang suruh pulang.”
Aku mengangguk dan langsung mengetik pesan pada akun FB dengan nama Winarsih itu.
[Assalamulaikum, Bu, ini saya Filzah, guru dari anak ibu Alvin, saya hanya mau menyampaikan jika Alvin rindu, katanya mau bertemu.] Pesan terkirim tapi belum dibaca.
“Kita foto dulu, Nak, entar kirim ke ibumu.” Filzah langsung merangkul anak didiknya ini dan mengajaknya berfoto selfi. “Biar ibumu bisa liat jika anak bujangnya sudah besar,” ujarnya.
Alvin langsung tersenyum memamerkan deretan giginya. “Terima kasih, Bu,” ucapnya dengan netra yang berkaca.
Sekilas aku melihat profil Winarsih, ibu Alvin ini, hidupnya terlihat sangat bahagia, beberapa foto malah tengah menampakkan ia yang tengah makan mewah di sebuah rumah makan dan berbelanja di mall, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan anak yang ditinggalkannya di tanah air.
Bersambung…
Foto unggulan dari cerita ini adalah foto penulis dengan putranya, tidak ada sangkut pautnya dengan isi cerpen…