Pitan Daalani : Coret Irman Gusman dari DCT Pemilu, KPU Dianggap Melanggar Asas-Asas Hukum
Padang, PilarbangsaNews
Di seluruh dunia, apabila suatu pertandingan sedang berlangsung, maka tidak diperbolehkan mengubah aturan permainan. Hanya di Indonesia aturan main bisa diubah ketika pertandingan sedang berlangsung, tergantung selera wasit.
“Pencoretan nama Irman Gusman dari Daftar Calon Tetap (DCT) pemilihan anggota DPD RI untuk Pemilu 2024 ternyata melanggar sejumlah asas hukum yang berlaku secara universal,” kata ahli hukum Pitan Daalani berdasarkan Siaran Pers yang diterima redaksi dari Irman Gusman Center (IGC) pada 9 November 2023 lalu.
Nama Irman Gusman dicoret dari DCT setelah KPU Provinsi Sumatera Barat mendapat surat dinas dari KPU RI yang meminta KPU Provinsi untuk “memedomani” putusan Mahkamah Agung No. 28 P/HUM/2023 tertanggal 29 September 2023.
Dijelaskan Pitan, putusan MA tersebut menyatakan, “Pasal 18 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 182 huruf (g) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023, dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.”
Pasal 182 huruf (g) dimaksud mensyaratkan “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Menurut analisis IGC, Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11/2023 tersebut, secara asas hukum yang berlaku universal, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum, sebagaimana disebutkan dalam putusan MA dimaksud.
Dikatakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi karena dalam sidang pengadilan sekalipun berlaku asas “in dubio pro reo”. Apabila hakim ragu atau berada dalam ketidakpastian terhadap dua pilihan yang didalilkan, maka hakim wajib memilih opsi yang paling meringankan terdakwa, bukan opsi yang paling memberatkan terdakwa. Asas ini berlaku di seluruh dunia dan tak boleh dilanggar.
Berikut ini hasil keterangan ahli hukum Pitan Daalani seperti disampaikan Irman Gusman Center;
MA Pilih Pasal yang Paling Meringankan Terdakwa
Ketika ancaman hukuman didalilkan 5 (lima) tahun atau lebih dalam Pasal 12 (b) UU Tipikor itu diperhadapkan dengan ancaman 1 (satu) tahun sampai 5 (lima) tahun dalam Pasal 11 UU Tipikor, maka MA memilih membatalkan putusan Pengadilan Negeri yang menggunakan Pasal 12 (b) terhadap Irman Gusman, lantas mengadili kembali perkara peninjauan kembali (PK) dimaksud dengan menggunakan Pasal 11.
Karena MA menggunakan pasal dakwaan yang paling meringankan terdakwa, bukan pasal dakwaan yang paling memberatkan terdakwa, maka putusan akhir yang ditetapkan oleh MA dan sudah berkekuatan hukum tetap adalah putusan pidana 3 (tiga) tahun penjara, bukan ancaman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Putusan MA No. 97/Pid.Sus/2019 inilah yang bersifat “lex specialis” dan wajib diterapkan karena sudah berkekuatan hukum tetap. Di sinilah letak kekhususan dari putusan dimaksud, sejalan dengan narasi putusan MA No. 28 P/HUM/2023 tertanggal 29 September 2023 bahwa Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11/2023 itu “tidak berlaku umum” artinya hanya dapat diberlakukan dalam kasus-kasus “lex specialis”.
Pasal 182 huruf (g) UU Pemilu juga mendalilkan “exeptional clause” yaitu apabila yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengakui kepada publik tentang statusnya sebagai mantan terpidana. Persyaratan ini sudah dipenuhi Irman Gusman sehingga ia lolos tahap verifikasi administrasi dan tahap verifikasi faktual. Dua tahap verifikasi ini merupakan dasar dimasukkannya nama Irman Gusman dalam Daftar Calon Sementara (DCS).
Putusan Mahkamah Agung No. 28 P/HUM/2023 tertanggal 29 September 2023 itu jelas menyatakan bahwa PKPU No. 11/2023 itu “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.”
Frasa “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” artinya kekuatan hukumnya tidak mengikat, tidak wajib diterapkan. Frasa “tidak berlaku umum” artinya hanya bisa diberlakukan secara khusus dalam kasus-kasus khusus.
Hal itu berarti bahwa dalam kasus-kasus khusus atau tertentu, PKPU No. 11/2023 itu dapat diberlakukan, sesuai asas hukum yang berlaku secara universal yaitu “Lex specialis derogat lex generali”, yaitu aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Negara Menghukum Orang yang Tak Lagi Bersalah
Oleh karena putusan MA itu berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 12/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan jeda 5 (lima) tahun bagi mantan terpidana sebelum bisa dipilih dalam jabatan publik, maka putusan MK dan putusan yang dijuntokan terhadapnya yaitu putusan MA No. 28 P/HUM/2023 itu pun berstatus “Lex generali”.
Sebab sudah ada putusan yang berstatus “Lex specialis” yang mengesampingkan putusan “Lex generali”, yaitu putusan MA No. 97/Pid.Sus/2019 yang menetapkan pidana badan selama tiga tahun penjara yang berakhir pada 24 September 2019, serta pidana tambahan berupa hukuman politik, yaitu tidak diizinkan menduduki jabatan publik selama 3 (tiga) tahun dari 24 September 2019 sampai 24 September 2022.
Karena pidana tambahan berupa hukuman politik itu pun telah selesai dijalani oleh Irman Gusman, maka itulah akhir dari masa hukuman Irman Gusman dalam kasus hukum yang bergulir sejak 16 September 2016.
Oleh karena itu, apabila putusan MK No. 12/PUU-XXI/2023 dan putusan MA No. 28 P/HUM/2023 itu diberlakukan terhadap Irman Gusman yang telah selesai menjalani masa hukumannya, maka di situ negara melakukan ‘blunder’, karena melanggar asas “Geen Straf Zonder Schuld” yang mewajibkan hakim untuk tidak menghukum siapa pun tanpa ada kesalahannya yang melanggar aturan hukum.
Kegagalan KPU dalam memahami filosofi dari asas “Lex specialis derogat lex generali” itu juga menyebabkan ia melanggar asas “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Sebab, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Dikatakan demikian karena Irman Gusman sudah selesai menjalani seluruh masa pidananya sebelum MK mengeluarkan putusan No. 12/PUU-XXI/2023; dan sebelum MA mengeluarkan putusan No. 28 P/HUM/2023.
Penzaliman Tanpa Adanya Kejahatan
Memaksakan
Penerapan putusan MK dan putusan MA dimaksud terhadap Irman Gusman tentu saja merupakan penzaliman yang barbarik, karena melanggar asas “Culpae poena par esto” bahwa hukuman harus setimpal dengan kejahatannya. Padahal sejak menyelesaikan seluruh masa pidananya, Irman Gusman tidak melakukan kejahatan apa pun yang dapat dikenai sanksi pidana.
Kenapa, setelah Irman Gusman menyelesaikan seluruh masa pidananya, negara menjatuhkan lagi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 (lima) tahun tanpa ada kejahatan atau pun kesalahan yang diperbuatnya?
Maka sudah tepat ketika MA dalam putusannya No. 28 P/HUM/2023 secara tegas menyatakan bahwa PKPU No. 11/2023 itu “tidak berlaku umum.” Artinya, hanya berlaku dalam kasus-kasus khusus sebagai “Lex specialis” yang mengesampingkan “Lex generali”.
Tapi ketika MA dalam putusan dimaksud memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 18 ayat (2) PKPU No.11/2023, maka KPU seharusnya mencabut PKPU tersebut lantas mengeluarkan PKPU terbaru yang tidak menyalahi asas “Lex specialis” dimaksud.
Untuk mencabut Pasal 18 ayat (2) PKPU No.11/2023 sesuai perintah putusan MA, atau pun untuk menerbitkan PKPU terbaru sebagaimana diterangkan di atas, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR RI dan Pemerintah, sesuai perintah Pasal 75 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Faktanya, sampai pada hari KPU mengumumkan DCT pada 3 November 2023, KPU belum mengadakan rapat dengar pendapat dengan DPR RI. Oleh karena itu, maka menerapkan perintah putusan MA No. 28 P/HUM/2023 tanpa mengadakan rapat dengar pendapat dengan DPR RI merupakan pelanggaran nyata terhadap Pasal 75 UU No. 7 Tahun 2017.
KPU Seharusnya Gunakan Asas Pemberlakuan Hukum
Konsekuensinya, aturan yang semestinya diberlakukan untuk pemilihan anggota DPD RI pada Pemilu 2024 adalah PKPU No.11/2023 sebelum dijadikan obyek gugatan dalam uji materi di MA, agar sejalan dengan asas hukum yang berlaku secara universal yaitu “Het vermoeden van rechtmatigheid” bahwa kebijakan dan peraturan pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya.
Sebab ketika KPU memberlakukan putusan MA No. 28 P/HUM/2023 tentang PKPU No. 11/2023 itu tanpa berkonsultasi dengan DPR RI, maka di situ KPU RI bukan saja melanggar norma Pasal 75 UU Pemilu, tapi sekaligus melanggar dua asas universal tentang pemberlakuan norma hukum, yaitu asas “Lex prospicit, non respicit” serta asas “Moneat lex priusquam feriat”.
Kedua asas itu berarti bahwa hukum melihat ke depan, bukan melihat ke belakang; dan suatu peraturan perundang-undangan harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum diberlakukan.
Jelas di mata publik bahwa kedua asas dimaksud tidak dijalankan oleh KPU RI, sebab KPU RI langsung mengirim surat dinas ke KPU Provinsi Sumatera Barat untuk “memedomani” putusan MA dimaksud.
Petunjuk teknis untuk “memedomani” putusan MA tersebut tidak pula diberikan. Akibatnya, KPU Provinsi Sumatera Barat menafsirkan sendiri arti kata “memedomani” itu lantas menghapus nama Irman Gusman dari DCT, tanpa menyadari terjadinya pelanggaran terhadap asas-asas hukum yang disebutkan di atas. (rel/gk)