Wakanda No More, Indonesia Forever versus Ekonomi 5 Persen, Etik Ndasmu Etik
Oleh: Rusdianto Samawa*)
Ada jutaan orang berterima kasih kepada pasangan AMIN. Karena, bangkitkan emosional Paslon lain yang hingga kini masih tersulut api amarah. Sejatinya, debat Pilpres merupakan bentuk pengujian kapasitas IQ dan EQ.
Sebelum itu, kita mundur ke tahun 2014 dan 2019, pemilu yang bertarung penuh api emosi, hitam putih dinamika pemilu, ideologi, pembongkaran sejarah, pergeseran sikap, korupsi, oligarki, semburan cebong, kampret, kadrun. Semua itu, mewarnai peradaban politik Indonesia. Doktrin ini, melanggar etika dan martabat manusia ketika disematkan label haram berupa cebong, kampret dan kadrun kepada sesama anak generasi bangsa.
Antitesa itu muncul, seiring Prabowo Subianto menjadi lawan berat Jokowi selama duakali pemilu (2014 dan 2019). Namun, setelah selesai pemilu 2019, Prabowo Subianto di nyatakan kalah di Mahkamah Konstitusi. Kemudian, hitungan jam, Prabowo kembali ke pangkuan koalisi Presiden Jokowi dan menempatkannya sebagai menteri Pertahanan.
Apakah, masuknya Prabowo Subianto ke Kubu Indonesia Maju Jilid II itu, mengabaikan etika politik ?. Tentu, tidak. Seharusnya dan bahkan wajib masuk koalisi. Siapapun yang kalah dalam pilpres untuk kembali merajut “kasih dan keharmonisan” agar persatuan dan kesatuan bangsa terpelihara secara baik.
Artinya, tak ada kesumat politik yang melahirkan api amarah atau api asmara. Harus berhenti. Setiap anak bangsa harus bergabung. Walaupun, banyak orang kritik Prabowo karena bergabung. Tetapi, persatuan penting untuk dipelihara. Itu standar etika politik.
Bergabung Prabowo dalam koalisi pemerintahan Indonesia Maju Jilid II, doktrin Cebong, Kampret dan Kadrun tak hilang begitu saja. Terus berlanjut menyematkan “Penamaan Haram itu” untuk oposisi. Sayangnya, oposisi dimaknai haram terlarang dalam sistem politik demokrasi Indonesia.
Oposisi dianggap haram terlarang saat Jokowi memimpin bangsa Indonesia selama dua periode ini. Banyak oposisi dan aktivis: pro demokrasi, HAM, nelayan, keadilan, kesejahteraan dilakukan amputasi dan ciptakan rasa takut.
Terutama penegakan hukum, begitu timpang. Tajam kesumat pada kelas bawah, tumpul melempem pada kelas atas “koncoisme.” Etika pun sumir dalam sistem hukum, politik dan demokrasi Indonesia.
Etika tak lagi menjadi panglima ucapan kata – kata. Padahal dalam debat, diskusi dan kritik harus pertimbangkan etika. Etika itu adalah mendengar, membaca, menyimak dan menyanggah secara Arif bijaksana.
Debat pertama Pilpres 2024 kemaren, membawa malapetaka opini negatif untuk Prabowo Subianto. Karena cara merespon kritik Anies Baswedan begitu tertanam amarah kesumat. Mestinya, Prabowo kembali pada etika pemilu 2019, ketika dinyatakan kalah langsung bergabung. Begitu pun, dalam debat pertama, mestinya tidak menunjukkan emosional. Prabowo harus tenang dan mengolah pikiran serta intelektual untuk menjawab tantangan, seperti Test IQ jelang pilpres 2019 hampir capai 100% tingkatnya.
IQ setinggi itu, mestinya bisa menjawab secara arif dan bijak. Tidak melakukan scrolling back statemen diluar panggung debat dengan mengumbar kemarahan dan sambil tertawa maupun mengejek. Prabowo Subianto kehilangan etika, moralitas modalitas intelektualnya.
Kritik Anies Baswedan “Wakanda No More, Indonesia Forever” adalah bagian ekspresi keamburadulan rezim politik Jokowi selama ini. Kritik Anies sekaligus saran agar etika hukum, demokrasi dan kebebasan berpendapat merupakan bagian terpenting perjalanan bangsa Indonesia.
Penamaan Indonesia dengan Wakanda oleh para oposisi adalah kritik paling bernas dan sikap oposisi supaya tidak diadili oleh rezim. Padahal penamaan wakanda itu, mestinya membuat Jokowi malu. Namun, tidak malu kepada dunia yang selama ini menutup kran kritik oposisi. Namun, rezim ini sangat – sangat memalukan negara Indonesia dimata dunia. Mestinya, ketika oposisi menyebut Wakanda pemerintah harus langsung perbaiki sikap arif bijaksana dalam merespon suasana kebebasan.
Anies ucapkan Wakanda No More, Indonesia Forever merupakan bahasa lugas penuh sindiran bersifat adi luhung yang memiliki nilai ilmu pengetahuan tinggi. Namun, respon Prabowo Subianto memakai nada ejekan “Ekonomi 5 Persen, Etik Ndasmu Etik” seolah Anies tidak mengerti ekonomi, hukum, etika dan demokrasi. Etika Prabowo tak mendapat simpati rakyat. Katanya: “emang gue pikiran, kalau rakyat tak suka, tak usah pilih.” Kata Prabowo dalam debat pilpres pertama kemaren.
Paling menyesalkan, ketika Prabowo ucapkan: “kalau Jokowi totaliter, rezim anti demokrasi, maka Mas Anies tak bisa jadi Gubernur.” Ini adalah perkataan yang tak seharusnya diucapkan. Malah, dinilai seorang Prabowo menyesali dukung Anies Baswedan.
Silahkan menilai “memangnya etika ada Ndasmu” ?. Silahkan berfikir masing – masing untuk menetapkan pilihan Calon Presiden mana yang lebih baik untuk masa depan Indonesia?.
*) Rusdianto Samawa, Menulis dari Kantor FOURBES Indonesia, Sebuah Lembaga Riset, Kajian dan Kebijakan Publik