Artikel

Algoritma Kekuasaan Diantara Politik dan Nilai (Value)

Oleh : Dr. Anton Permana, SIP.,MH (Analis Politik dan Aktifis, Direktur Tanhana Dharma Mangruva Institute)

Menarik ketika melihat ulang perdebatan antara Rocky Gerung dan Silvester Matutina, yang kembali banyak dibahas di masing laman Tiktok maupun platform social media lainnya.

Kesimpulan yang kita dapatkan adalah terjadinya dua benturan kepentingan yang mewakili masing-masing basis posisi mereka dalam kekuasaan. Rocky Gerung mewakili kelompok civil society yang menentang dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan rakyat atas nama negara yang berdemokrasi. Sedangkan Silvester, secara faktual pasang badan atas nama kekuasaan yang wajib dibela para senior dan kelompok penguasa atas dasar adab dan etika moral versi dirinya.

Rocky Gerung, merepresentasikan dirinya sebagai corong kekuatan civil society yang mempunyai “Hak” atas nama kedaulatan rakyat sesuai amanat konstitusi kita hari. Dimana kritik dan kemarahan rakyat terhadap pejabat publik adalah hak dan kemewahan yang dimiliki masyarakat dalam sistem demokrasi. Karena jabatan publik adalah amanah dari rakyat yang dibiayai dan difasilitasi dari uang rakyat. Jadi wajar bagi rakyat untuk mengkritisi kebijakan yang salah dan kurang tepat dari para penyelenggara negara dan pemerintah.

Sedangkan Silvester menganggap, negara ini sedang biasa-biasa saja, tak butuh kritikan dan lebih menitikberatkan pada persoalan cara dan adab berbicara Rocky yang menurut Silvester masuk pada ranah pelanggaran adab dan etika terhadap kehormatan (kewibawaan) pejabat dan kekuasaan.

Artinya, Rocky berbicara pada substansi output penyelenggaraan negara yang menurut beliau banyak merugikan kepentingan rakyat dengan berbagai kebijakan pemerintah yang “dungu”. Dan Rocky menunaikan hak nya sebagai personal dan intelektual dalam kelompok civil society yang tengah mengkoreksi pemerintah dan kebijakan para pejabatnya. Dan itu semua menurut Rocky dijamin konstitusi dan dilindungi oleh Undang-Undang dalam prinsip negara demokrasi.

Silvester lebih pada posisi membela matia-matian para senior, pejabat hingga Presiden yang menurutnya tidak bisa “dicaci-maki” oleh seorang Rocky Gerung di banyak waktu dan tempat.

Argumentasi Rocky ini yang “kemungkinan” sulit dipahami atau diterima oleh Silvester sehingga menjadikannya emosional dan hampir saja terjadi tindakan fisik. Dan ini terjadi karena posisi dan kepentingan masing pihak berbeda. Nah siapa yang benar dan salah, silahkan masing-masing kita mencerna dan berpendapat menurut pemahamannya masing-masing.

Tetapi kalau menurut pendapat saya, saya membenarkan Rocky Gerung kalau kita konsisten dan komitmen menganggap negara ini adalah negara yang menganut demokrasi dimana kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pelanggaran adab dan etika kata-kata ataupun caci maki yang dipermasalahkan Silvester, belumlah apa-apa kalau dibandingkan dengan dampak kerusakan yang terjadi atas kesalahan pengambilan kebijakan oleh pemerintah saat ini.

Faktanya yang terjadi hari ini adalah : hutang negara naik gila-gilaan. Hasil sumber daya alam diobral pada asing. Lingkungan hidup rusak akibat eksploitasi ugal-ugalan. Pabrik-pabrik lokal tutup dan PHK besar-besaran akibat tidak ada proteksi terhadap barang import. Korupsi, Narkoba, Judi Online, LGBT dan pengangguran terus meningkat drastis. Penegakan hukum rusak parah selayaknya hukum rimba. Inilah beberapa contoh akibat dan kerusakan dari salah pengambilan kebijakan rezim hari ini. Rakyat yang akan menanggung akibatnya.

Artinya, kesimpulan yang dapat kita ambil di sini adalah: demikianlah algoritma demokrasi itu berjalan. Akan selalu ada pro dan kontra. Akan selalu ada perdebatan dan adu narasi argumentasi. Dimana, masing-masing kelompok akan selalu merasa benar dengan prinsip dan pemikirannya.

Namun sebagai intelektual ada prinsip yang mesti dan harus kita batasi dan pahami, yaitu bagaimana cara membedakan mana yang haq dan batil. Mana yang salah dan benar. Karena, dalam dunia digital yang penuh dengan trik dan intrik manipulatif saat ini, kadang post truth itu dengan mudah terjadi. Dengan permainan “Logical Fallacy” yang ditata dengan gimmick pencitraan dan penguasaan fitur-fitur media opini. Semua bisa menjadi terbalik 180 derajat, yang baik dianggap salah sedangkan yang salah bisa menjadi baik. Tai kambing jadi obat, obat jadi tai kambing.

Disinilah peran intelektual itu untuk bersuara dan berbicara. Memberikan edukasi dan batas-batas, agar publik dan masyarakat tidak terjebak dengan post truth dan provokasi logical fallacy tadi yang cenderung dilakukan oleh power kekuasaan. Karena korbannya jelas masyarakat itu sendiri.

Lalu apa patokan batas dan Navigasinya? Jawabannya adalah prinsip dan Nilai-Nilai (Value) kebaikan kita dalam bernegara. Karena secara algoritma demokrasi, secara otomatis akan terbentuk beberapa bagian-bagian kelompok masyarakat, yaitu : Kelompok Ideologis, Kelompok Oportunis, dan Kelompok Dunguis.

Kelompok Ideologis, adalah orang-orang yang masih konsisten berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai ideologis agama dan politiknya yang dipegang dan pahami. Kelompok Opportunis adalah kelompok yang tidak begitu peduli dengan nilai, aturan apalagi norma. Yang penting tujuan dan kepentingannya tercapai. Sedangkan Kelompok Dunguis adalah, kelompok masyarakat hore-hore yang penting rame dan ikut kemana arah angin yang kuat.

Algoritma demokrasi ini juga yang akan masuk dan membentuk Algoritma kekuasaan. Pasti akan selalu ada yang menjadi benteng dan penjilat kekuasaan. Pasti akan ada selalu yang anti dan oposisi (pengkritik) terhadap apapun yang dilakukan kekuasaan. Dan juga masing-masing bahagian ini ada para pendukungnya.

Tinggal yang berganti dan berpolarisasi adalah subjek politiknya. Dalam rezim saat ini 9,5 tahun merah berkuasa, sekarang kita lihat merah sudah berbalik arah menjadi oposisi. Berbagai manuver, dan adu trik intrik terjadi antara rezim dan merah, setelah terjadi benturan kepentingan. Tidak bisa ada matahari kembar dalam kekuasaan ; Ketua Partai Vs Presiden selaku petugas partai.

Positifnya dalam alam demokrasi kita pasca Pilpres 2024 yang lalu adalah sejak merah memposisikan dirinya menjadi kontra pemerintahan, kelompok oposisi boleh dikatakan bertaji. Dan saya sepakat dengan pernyataan politisi Nasdem Uni Irma Chaniago, PDIP ini memang cocok menjadi partai oposisi. Karena PDIP kalau jadi Oposisi itu lebih ganteng, lebih gagah, lebih garang, pokoknya keren dari pada menjadi penguasa. Kita bisa lihat ketika PDIP jadi penguasa 9,5 tahun bersama pemerintahan Jokowi, banyak terjadi blunder dan selalu membuat ketegangan, khususnya dengan kelompok umat Islam. Belum lagi sudah kasat mata terjadi pelanggaran konstitusi dalam pengesahan beberapa Undang-Undang yang merugikan bangsa. Justru waktu itu, PDIP yang menjadi salah satu bagian utamanya.

Kita akan lihat lagi dalam pemerintahan selanjutnya, siapakah yang akan menjadi kelompok Ideologis, Opportunis dan Dunguisnya. Dan ingat, yang hanya bisa jadi batas dan navigasi dari itu semua adalah “Nilai/Value dan Moralitas”. Kalau nilai dan moralitas ini sudah diabaikan, maka tunggu saja kehancuran dan pecahnya bangsa negara ini.

Jadi menurut saya sikap dan langkah yang tepat saat ini adalah: Mari kita beri dulu kesempatan satu tahun pertama terhadap pemerintahan baru ini ke depan. Kita pasti akan bisa melihat arah dan “value” apa yang akan dimainkan dalam kebijakan pemerintahannya. Saya kurang sepakat, kalau belum apa-apa, kita sudah langsung menjustifikasi sepihak dengan asumsi-asumsi emosional.

Karena apabila kita terjebak dalam asumsi-asumsi emosional, maka siap-siap saja kita akan jadi korban dari permainan algoritma kekuasaan. Menjadi penguasa buta atau juga menjadi oposisi buta, dimana itu juga adalah “candu” yang dapat membunuh akal dan logika. Maka tak ada yang lain, batas dan navigasi dari itu semua adalah nilai (Value) bukan sosok figur maupun partai politik.

Dan itulah yang mesti selalu kita suarakan bersama, seperti salah satu pernyataan Rocky Gerung. “Saya cintai bangsa dan negara ini, makanya saya kritik dan koreksi agar tidak melahirkan kebijakan-kebijakan dungu yang dapat merugikan kita semua“. Salam Indonesia Jaya.

Jakarta, 06 September 2024.

*) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *