Artikel

Ada Apa dengan Rencana Formasi Kabinet Prabowo?

Oleh : Dr. Anton Permana, S.IP.,MH (Pengamat Geopolitik dan Pemerintahan. Direktur TDM Institute)

Dua hari ini publik Nusantara dihebohkan oleh orkestrasi berita “pemanggilan” para calon menteri dan wakil menteri kabinet Parbowo ke depan yang sudah menghitung hari.

Setidaknya kita bisa memetakan ada dua kelompok pro dan kontra dari kondisi ini. Yaitu kelompok pro status quo yang tentu begitu happy dan kelompok pro perubahan yang tentu sebaliknya “marah”. Karena, sudah bisa hampir dipastikan deretan nama-nama yang dipanggil ke jalan Kertanegara nomor 4 Menteng Jakarta Pusat ini akan mengisi pos-pos kursi menteri di kabinet Prabowo. Minimal wakil menteri, kepala badan, atau menjadi “Utusan Presiden” nama lain dari staf khusus Presiden di era sebelumnya.

Banyak komentar, analisis, dan hipotesa dari para pengamat mereka-reka apa hidden agenda atau politik apa yang menjadi motivasi di balik rencana penunjukan nama-nama calon pejabat itu nantinya. Sebagaimana juga kita mencoba membedahnya di bawah ini ;

1.Yang jelas, formasi kabinet kalau merujuk dari nama-nama yang sudah dipanggil ke K4 (istilah penyebutan alamat Jalan Kertanegara 4 rumahnya Prabowo) adalah kemenangan mutlak kelompok pro status quo. Karena, boleh dikatakan masuknya kembali wajah-wajah lama dan nama-nama orang dekat Joko Widodo yang hampir 60 persen adalah bukti pengaruh Jokowi masih begitu kuat. Bahkan beberapa nama yang kontroversial pun masih juga masuk.

2.Disinilah kepiawaian seorang Jokowi melakukan menaklukkan media yang memang keahlian utamanya. Yaitu ; Bagaimana mendobrak balik opini publik, yang menyatakan era Jokowi sudah berakhir karena habis masa jabatan terbantahkan. Bahkan yang terjadi seolah sebaliknya. Jokowi seolah masih menjadi King Maker dan Decision Maker dari semua itu.

3.Padahal kalau kita amati dan telaah lebih dalam, kondisi saat ini, bisa jadi hanyalah “sihir manipulatif” Jokowi melalui “decoy” pencitraan opini menggunakan sisa kekuasaannya yang tentu masih tetap berada di tangannya. Alasannya adalah ketika kita perhatikan bagaimana gerak gestur dan langkah kuda politik Jokowi bermanuver melakukan road show serta propaganda apik dalam dua bulan terakhir ini.

Dimulai dari HUT RI secara Hybrid di IKN. Rapat kabinet perdana di IKN. Konsolidasi komandan satuan wilayah TNI/Polri di IKN. Berkantor di IKN dengan selalu menyandingkan Prabowo di sebelahnya (namun tetap sebagai Menteri Pertahanan alias bawahannya). HUT TNI dan pesta rakyat di Silang Monas, makan malam privat berdua Prabowo, dan puncaknya pertemuan dengan Prabowo di Kota Solo terakhir ini.

Dari gestur politik Jokowi tersebut kita dapat menerjemahkan bagaimana dengan piawainya Jokowi, yang notabenenya masih jadi Presiden RI, mengajak Prabowo, yang notabonenya saat ini masih jadi anak buahnya sebagai Menteri Pertahanan, berdiskusi tentang susunan kabinet.

Disinilah taktik psikologis yang dimainkan Jokowi terhadap Prabowo. Jokowi seakan tahu bahwa titik lemah seorang Prabowo yang mantan prajurit TNI pasti akan sadar dengan sistem hierarki. Prabowo yang santun, hormat dan patuh pada atasan. Artinya, meskipun yang akan disusun itu nanti adalah Kabinet Prabowo, namun timing penyusunannya dikendalikan Jokowi karena memanfaatkan posisi Prabowo yang tentu saja masih sungkan, kikuk, dan patuh pada kemauan atasan. Meskipun dalam hatinya Prabowo kita pun tidak tahu.

Tidak cukup sampai disitu, Jokowi juga langsung tancap gas untuk menginstruksikan secara halus agar Prabowo segera memanggil nama-nama tersebut. Dimana tujuannya adalah untuk memberikan “efect kejut” pada publik yang menyatakan bahwa Jokowi masih seorang King Maker. Secara psikologis, hal ini sangat penting bagi Jokowi, yang dijuluki media Australia sebagai “the man of contradiction”, untuk mengobati penyakit post power syndrom yang melandanya serta mencoba melawan arus takdir serta tradisi biasanya seorang penguasa yang mulai ditinggalkan publik di akhir masa jabatannya.

4.Kita lihat Jokowi seakan sedang menari-nari di atas altar suci kekuasaanya yang akan berakhir dan digantikan Prabowo. Namun terlihat seolah Prabowo hanya bisa duduk diam terpaku menatap tarian sakratisme Jokowi.

Prabowo sadar sedang dipermainkan dan juga “diintimidasi”, namun Prabowo tentu juga sudah berhitung dan mengkalkulasikan resiko dan peta kekuatan saat ini. Bagaimanapun, meski hitungan hari Jokowi masih menjadi Presiden RI namun Jokowi masih pegang tongkat kekuasaan. Artinya, otomatis kekuasaan atas negara masih berada di tangan Jokowi.

5.Sebaliknya, Jokowi juga pasti akan sadar dan tahu bahwa setiap saat Prabowo kalau sudah memegang kekuasaan juga berpotensiakan berubah. Tak ada jaminan kesetiaan dan loyalitas pertemanan dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Jokowi juga pasti sudah menghitung ini semua. Segala resiko dan ancaman terhadap diri dan keluarganya pasca tidak berkuasa lagi.

Untuk itulah, Jokowi juga mempersiapkan perangkat pengamanan tindakan preventif berlapis-lapis. Dimulai dari perpanjangan masa jabatan KPK, yang akhir pemilihan masih dalam masa dirinya sebagai Presiden. Tentu masih bisa cawe-cawe menempatkan orang-orangnya dalam KPK.

Selanjutnya, memasangkan Gibran putera sulungnya dengan Prabowo. Lalu setelah itu, mengunci posisi strategis dengan menempatkan para loyalisnya di kabinet.

Artinya, dari kondisi ini kita bisa melihat bagaimana ambisi Jokowi untuk tetap berkuasa dengan menjadikan Prabowo sebagai proxy nya. Karena Jokowi sudah merasa berhasil mengunci gerak Prabowo dengan memasukkan orang-orang di inner circle Prabowo yang lagi begitu euphoria berpesta pora dan berbagi kue kekuasaan.

KPK, media, uang, menteri kabinet, oligarkhi, TNI/Polri, serta jajarannya saat ini masih berada dalam kendali Jokowi. Dan ini akan menjadi bargaining Jokowi dengan Prabowo. Ditambah, wakilnya Prabowo adalah putera kandungnya Jokowi yang secara konstitusi apabila terjadi insiden yang menyebabkan Presiden berhalangan tetap sesuai pasal 8 A UUD 1945, maka yang naik menggantikannya adalah Gibran.

Tinggal pertanyaannya adalah bagaimana seorang Prabowo menyikapi semua bentuk kuncian dan manuver Jokowi terhadap posisi dirinya?
Secara harfiah, baik DNA politik dan ideologis, sudah dipastikan ada perbedaan tajam antara Prabowo dan Jokowi. Dan posisi Prabowo sangat dilematis. Antara pragmatis atau ideologis.

Banyak yang berharap, khususnya kelompok pro perubahan dari masyarakat, Prabowo lepas dan bebas dari cengkraman Jokowi dan anaknya Gibran. Karena di mata kelompok Pro Perubahan, Jokowi dan keluarganya adalah ibarat “komorbid” bagi pemerintahan Prabowo.

Lalu, bagaiman kalau status quo ini terus bertahan dan dilanjutkan Prabowo? Jangan harap akan ada kemajuan terhadap Indonesia. Justru akan semakin berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan masa depan ekonomi Indonesia. Akan ada perpaduan ketegasan (Prabowo) dan siasat Jokowi pada rakyat. Kalau tegas terhadap kejahatan dan musuh negara itu bagus, seperti era Pak Harto. Tapi kalau tegas dan bersiasat licik untuk menghabisi musuh musuh politiknya? Ini akan sangat berbahaya.

Semoga harapan kita agar Kabinet Prabowo ke depan, pasca beliau jadi Presiden akan berubah total. Karena Prabowo harus dan wajib memenuhi janji politiknya akan membentuk “Zaken Kabinet” bukan “Seken (second) Kabinet” istilah penulis kondang Tere Liye. Salam Indonesia Jaya!

*) Duren Sawit, 16 Oktober 2024

**) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *