Cerita Bersambung

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 59

Bagi yang belum baca bag 1 s.d bag 58 klik disini:

GIRIANG GIRIANG PERAK ( Oleh ; Makmur Hendrik, Bag 58

Sambungan dari bag 58;

Suatu saat serombongan kuda berlari ke arahnya. Kuda kuda itu seperti tak bisa lari keluar dari areal dimana mereka berada. Setiap mengarah ke luar, seperti ada yang menghalau kembali ke dalam. Verde jadi panik, dia tegak dan berusaha lari.

Namun waktu itulah kuda terdepan menabrak tubuhnya. Dia terpekik dan rubuh. Kuda kuda berikutnya menghentikan suaranya sama sekali. Bahkan juga menghentikan nyawanya!
Huru hara pasukan berkuda itu berlangsung lebih dari setengah jam. Pekik serdadu, pekik kuda bergalau dengan sorakan orang orang yang nampaknya menghalau kuda kuda itu agar tetap berlari dalam lingkaran yang itu ke itu saja. Dan setelah setengah jam, suasana kembali sepi.
Kuda kuda sudah bertemperasan lari entah kemana. Yang jelas mereka ingin jauh dari tempat yang membuat mereka panik itu.Di tengah lapangan di belakang rumah yang telah dimamah api, dimana perempuan muda itu mati bersama suaminya, terlihat pemandangan yang menegakkan bulu roma.

Belasan serdadu berkuda, kelihatan mati dalam keadaan nestapa. Mati diinjak kuda mereka sendiri. Yang lain sudah lari ke berbagai tempat. Dan di tengah sekali tubuh Kapten Verde tergeletak compang camping. Matanya mendelik, mukanya hancur dengan lidah menjulur keluar.
Kematian Kapten ini benar benar tragis. Mati diinjak kuda pasukannya sendiri. Mati di tengah penjagaan serdadunya. Mati teraniaya di tengah kekuatan yang dia pimpin. Apalagi kematian yang lebih tragis daripada kematian yang dia alami saat ini?

Dia meminta tambahan pasukan ke Jenderal De Kock di Luhak Agam, dan minta bantuan ke Kolonel De Cappelen di Luhak Tanahdatar untuk memerangi dan menghancurkan penyamun di Bukit Tambuntulang. Tapi usahkan penyamun itu yang hancur, dirinya sendiri tak mampu dia menyelamatkannya.

Dan saat itu, Gampo Bumi dan empat puluh anak buahnya yang tadi telah mengerjai Kapten Verde dan anak buahnya, kini berjalan di antara mayat mayat serdadu Belanda tersebut. Dia berjalan bersama tiga pembantu dekatnya.

Sementara pasukannya dengan tombak dan pedang di tangan, melingkari arena dimana kuda kuda VOC itu merayau tuannya tadi. Pembantu pembantunya yang tiga itu membalikkan mayat mayat serdadu yang mati. Kemudian memberi isyarat pada anak buahnya yang tegak di tepi lingkaran.
Anak buahnya itu berlarian masuk membawa semacam karung. Kemudian mempreteli barang barang berharga yang terdapat di tubuh serdadu yang telah jadi mayat itu. Mereka mencopoti yang masih bisa dipakai. Mulai dari sepatu, ikat pinggang, kelewang, pistol, uang, dan berbagai alat peragat lainnya.

Gampo Bumi tegak di sisi mayat Kapten Verde. Dia menyeringai melihat kenestapaan mayat opsir Kompeni itu. Tak lama kemudian dia memberi isyarat pada anak buahnya. Dan ketika malam merangkak turun, mereka lenyap dalam palunan hutan, kembali ke sarang mereka di Tambuntulang.

Kejadian ini membuat berang dan gempar pasukan Kompeni di Minangkabau. Jenderal De Kock memerintahkan pembersihan dimana mana. Banyak orang ditangkapi, termasuk penduduk biasa.

oOo

Pasar Banto dekat Aurtajungkang, tak berapa jauh dari pusat kekuasaan Belanda di Minangkabau, yaitu di Fort de Kock di Kota Bukittnggi, hari itu balai sedang ramai.
Hari itu hari Sabtu. Balai besar di negeri itu. Pedati kelihatan puluhan buah banyaknya bersusun di kaki Bukit Aurtajungkang. Pedagang pedagang dari Luhak Agam dan Tanahdatar, berdatangan ke sana dua hari yang lalu untuk menjual hasil kebun atau kerajinan tangan yang mereka buat.

Pasar itu penuh sesak oleh manusia. Ada yang menjajakan jualannya, ada yang membeli dan ada pula yang sekedar raun raun saja. Yang terakhir ini, yaitu yang raun raun saja, umumnya adalah anak anak muda dan para perewa.
Mereka memang senang bersesak sesak dalam balai yang dipenuhi manusia itu. Tangan mereka beraksi dalam berselingkit dengan kaum ibu. Amat sering terdengar gadis gadis atau ibu ibu yang bertubuh padat tiba tiba terpekik karena pantat atau pinggulnya diremas orang.

Bila hal ini terjadi, orang sekitarnya paling paling hanya diam, atau sekedar menoleh sebentar. Kemudian kembali sibuk dengan pekerjaan masing masing. Jangan diharap ada yang akan menolong. Kecuali ada sanak familinya yang kebetulan hadir saat itu.

Tapi kalaupun ada anak, adik, suami, sebenarnya yang lebih aman adalah tetap diam. Sebab anak anak muda dan lebih lebih lagi perewa yang mengganggu di tengah balai itu, umumnya punya kawanan yang pandai silat. Bila terjadi perkelahian, maka mereka akan datang bergerombolan.

Jumlah mereka terkadang antara lima atau sepuluh orang. Karenanya, banyak kaum ibu atau gadis gadis yang diam saja bila ada tangan jahil yang menggemai pinggul atau dada mereka. Saat itu memang tak ada hukum. Tak ada tata krama.

Belanda memang mempunyai polisi yang mengawasi keamanan. Tetapi keamanan yang mereka awasi adalah yang menyangkut keuntungan Kompeni. Jika kerusuhan timbul antara pribumi dengan pribumi, mereka takkan ambil pusing. Malah mereka justru menambah nambah minyak mengobarkan permusuhan itu.

Memang demikian politik adu domba yang mereka jalankan. Baik di Minangkabau, maupun di negeri yang lain di Nusantara. Makanya, jarang gadis gadis yang ke balai. Memang ada, tapi tak berapa jumlahnya. Mereka ke balai kalau sangat terpaksa. Misalnya orang tua atau adik mereka sakit, atau tak ada sama sekali yang bisa disuruh.
Balai yang tengah ramai itu tiba tiba digemparkan oleh derap kaki kuda. Terdengar teriakan teriakan. Orang pada berlarian mencari tempat aman. Tiga ekor kuda ditunggangi oleh serdadu Kompeni kelihatan menerjang memasuki kerumunan orang ramai.

Ini suatu hal yang luar biasa. Kuda kuda mereka yang tinggi besar itu mendongkak memasuki jalan pasar. Beberapa perempuan dan lelaki pada takapere. Seorang lelaki justru tercampak dan tubuhnya terinjak kuda karena dia terlambat menghindar dari jalan yang akan dilalui serdadu Kompeni itu.

Pasar itu jadi kacau balau. Perempuan berpekikkan dan bertemperasan. Ketiga kuda itu masih melaju di tengah balai. Serdadu serdadu di atasnya melecutkan cambuk mereka ke kiri ke kanan pada orang orang yang tak sempat mencari selamat. Lalu ketiga mereka berhenti di depan sebuah kedai.

Mereka segera mengacungkan bedil. Terdengar teriakkan memerintah.

“Semua yang ada di dalam keluar dan tangan angkat ke atas….!’

Keadaan jadi sepi. Seorang gadis berbaju hijau keluar perlahan dari kedai itu. Dengan wajah takut dia memikul sesuatu di pundaknya. Nampaknya dua batang lemang.

“Hmm, kemari kau…!” perintah seorang dari Belanda Belanda itu.

Tapi gadis itu tiba tiba mencampakkan lemangnya. Kemudian dia berlari ke arah serdadu serdadu tadi datang. Namun belum lima langkah dia lari, seorang sersan mengangkat cambuknya yang panjang. Cambuk itu dia hantamkan.

Dengan menimbulkan bunyi yang pedih, cambuk itu kemudian menjerat kaki si gadis. Sersan itu nampaknya ahli sekali memainkan cambuk. Gadis itu tanpa kasihan dia seret hingga dekat pada mereka.
Dalam keadaan seperti itu, dua lelaki kemudian muncul tiba tiba lalu lari arah berlawanan dengan lari si gadis tadi. Namun dari arah depannya, seekor kuda dengan seorang serdadu di atasnya, datang melaju. Nampaknya pasar itu telah dikepung oleh serdadu Kompeni.

Kedua lelaki itu berbalik lagi. Mereka merasa takut terhadap kelewang dan bedil yang diacungkan Kompeni di atas kuda tersebut.

“Kalian inlander busuk, mau coba coba mengacau dan membunuh Kompeni, kalian rasakan pembalasan kami…” serdadu yang berpangkat sersan tadi mengerutu.

Bersambung ke bag 60…

Catatan Redaksi: Foto ilustrasi diatas adalah foto Hj Lisda Hendrajoni caleg DPR-RI dari Partai Nasdem, tidak ada kaitannya dengan cerbung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *