Cerita Bersambung

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 3

Makmur Hendrik

diganggu….

Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan tawa berguman oleh lelaki besar di atas batu itu.

Pandai waang membaca puisi, sanak. Waang hanya ingin membayar upeti sekedarnya? Aha, dimana puisi itu waang pelajari hingga punya keberanian untuk mengucapkannya di bukit ini? Tidakkah waang tahu siapa yang tegak di depan waang ini?

Datuk Sipasan merah padam mukanya disebut waang oleh lelaki itu. Semua anggota rombongan yang tegak dengan waspada di belakangnya mendengar jelas semua pembicaraan ini. Datuk itu masih menahan marahnya. Dia harus berusaha agar tak terjadi perkelahian.
Betapa pun kalau bisa membayar upeti sekedarnya jauh lebih baik daripada harus bertempur. Karenanya dengan menahan rasa marah karena dipanggil waang yang jelas jelas menghina itu, dia kembali bicara.

Bagi yang belum baca bagian 2 klik disini;

“GIRIANG-GIRIANG PERAK” (Oleh Makmur Hendrik) Bag 2

Maafkan kami, kami tak mengetahui siapa Tuan. Kami hanya mengetahui bahwa bukit ini dihuni oleh penyamun penyamun….

Kembali suara tawa menyambut ucapan datuk ini.

Nah kalau sudah tahu, bahwa di sini bersarang penyamun, kenapa tak segera berlutut dan menyerahkan yang saya minta?

Tak ada yang harus kami berikan. Kami hanyalah rombongan penduduk yang berniat pindah ke Luhak Tanahdatar. Kami datang dari Pariaman, daerah itu kini sedang diancam oleh Belanda. Apa yang bisa Tuan dapati dari penduduk yang mengungsi karena takut?

Hmm, kalian orang yang pindah…?

Ya….

Bagus. Pasti banyak harta dan banyak wanita….

Sehabis berkata begitu lelaki ini berseru sambil bertepuk keras.

Periksa isi pedati itu…!!
Perintahnya yang mengguntur ini tiba tiba disahut pekik yang menyeramkan dari dalam belukar di sepanjang jalan, di mana pedati yang 21 buah itu kini berhenti.

Penyamun penyamun itu muncul amat tiba tiba. Ini benar benar mengagetkan semua lelaki yang menjaga pedati tersebut.

Rupanya sejak mereka berhenti dan berunding di bawah tadi, mereka sudah diamat amati oleh para penyamun tersebut. Dan kini mereka berada dalam sebuah jebakan. Namun Datuk Sipasan terdengar berseru.

Tunggu!! Saya harap jangan menumpahkan darah. Tuan boleh ambil semua harta kami. Tapi jangan ganggu perempuan perempuan…!!

Namun lelaki bertubuh besar di atas batu itu balas berseru.

Hei beruk! Sekali lagi waang bicara, saya kuyakkan mulut waang yang berbau jering itu!

Dan seusai ucapan ini, penyamun penyamun Bukit Tambuntulang yang kesohor pemakan masak mentah itu mulai mendekati pedati pedati tersebut. Tetapi, rombongan ini bukan sembarangan rombongan. Mereka adalah kaum pesilat yang menyingkir dari Pariaman seperti yang dikatakan Datuk Sipasan tadi.

Mereka menyingkir menyusun kekuatan. Ingin bergabung dengan pesilat pesilat di Luhak Tanahdatar dan Luhak Agam untuk balik menyerang Belanda di Pariaman. Kini, begitu penyamun penyamun itu mendekat, mereka kontan memberikan perlawanan.

Datuk Sipasan sebenarnya ingin menyerang lelaki yang tegak di batu itu. Namun maksud itu terpaksa dia urungkan, karena dia didatangi oleh dua orang penyamun lainnya.

Suara senjata beradu terdengar gemerincing. Pekik kesakitan atau suara orang meregang nyawa terdengar berbaur dengan bentakan bentakan. Dewasa itu, hanya orang orang yang cari penyakit saja yang mau melewati Bukit Tambuntulang yang terletak di kaki Gunung Tandikat itu.

Selama puluhan tahun. Bukit kecil itu menjadi kerajaan tak resmi dari suatu kelompok penyamun. Jumlah mereka tak ada yang mengetahui dengan pasti. Ada yang mengatakan hanya enam atau tujuh orang.
Tapi kali ini, disaat penghadangan rombongan, ternyata jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Suatu kekuatan penyamun yang luar biasa. Apalagi semua mereka ahli dalam persilatan.

Dua lelaki yang datang menghadang Datuk Sipasan menerjang sekaligus. Datuk ini nampaknya tak mau buang buang waktu. Serangan yang datang dari kiri dia elakkan, kakinya bergerak, dan orang itu terjengkang ke belakang.
Yang menikam dengan keris dari kanan tiba tiba dia sambut tangannya. Orang itu kaget, sebab serangannya yang cepat itu bisa disambut oleh datuk ini. Dia berniat menyentakkan tangannya yang terpegang itu, namun tiba tiba terdengar pekiknya meraung.

Saat berikutnya tubuh penyamun ini melosoh. Lengannya yang ditangkap Datuk Sipasan menghitam. Dan warna hitam ini dengan cepat menjalar ke wajahnya. Dia mati sebelum tubuhnya mencecah tanah.
Inilah ilmu biso sipasan yang menyebabkan datuk ini dikenal dengan gelar Datuk Sipasan. Ilmu silatnya tinggi dan senjata ampuhnya terletak pada dua kuku tunjuk dan empu jarinya. Dua kukunya ini tidak berwarna hitam seperti jamaknya kuku pesilat pesilat yang mengandung racun. Kukunya tetap berwarna biasa.

Kalau pesilat pesilat biasa mengelak atau menangkis serangan dengan menepiskan tangan lawan, maka keistimewaan datuk ini adalah menangkap pergelangan tangan orang yang menyerangnya.
Tangkapannya tak pernah bisa dilepaskan. Begitu tangan lawan tertangkap dia mencekal pergelangan orang tersebut, kuku ibu jari dan telunjuknya menekan. Dan bisa yang amat ampuh, yang memang diisi dengan bisa seribu sipasan (lipan) segera menyudahi nyawa lawannya.

Ilmu itulah sebentar tadi yang menyudahi nyawa penyamun yang menyerangnya. Penyamun yang seorang lagi, yang terjungkal kena tendangan, segera bangkit. Dia mengambil kelewang di pinggang. Kemudian menebaskan ke leher datuk itu.
Datuk ini tidak membuang langkah, dia nanti kelewang itu hingga dekat sekali. Kemudian tiba tiba dia menunduk. Kelewang lewat serambut di atas kepalanya. Saat berikutnya telunjuk kanannya meluncur dan menusuk dada penyamun tersebut.

Penyamun itu tertegak kaku. Matanya mendelik. Mulutnya ternganga. Dari mulutnya yang ternganga itu, keluar suara seperti kerbau disembelih. Dan tiba tiba dari dadanya, persis di tentang jantung, darah merembes keluar. Dadanya berlobang sebesar jari Datuk sipasan. Sebelum tubuhnya tumbang, penyamun itu sudah mati!

Sementara itu pertarungan di barisan belakang berlangsung dengan cepat. Dari pihak Datuk Sipasan sudah jatuh korban empat orang meninggal. Para penyamun lalu mendobrak pintu pedati dengan kaki. Segera terdengar pekik perempuan.

Pekik itu menyadarkan Datuk Sipasan, bahwa bahaya tengah mengancam rombongannya. Dia bergerak ke belakang. Tapi gerakkannya terhenti ketika tiba tiba lelaki yang tadi tegak di batu…

Bersambung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *