.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 12

Bagi yang belum baca Bag 1 sampai Bag 11 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh : Makmur Hendrik) Bag 11

Sambungan dari Bag 11…

dan harum. Aku sempat meremasnya tadi siang.

Pinggulnya… amboiii. Ini bahagianku.

Daripada batang pisang, lebih baik merapalam dan kuini. Tak dapat tadi siang lebih nikmat malam ini…

Kemarilah upik… kemarilah sayang. Ini Udamu.. kuberi kau nikmat di dunia ini… Lelo Cindai berbisik dan berpantun.
Jangan terlalu panjang pantunnya Lelo. Yang perlu Lelo ingat adalah pantun ini: Dimana tumbuhnya padi, kalau tidak di sungai Batanghari. Kalau Lelo mendapatkan empat kali, jangan lupa kami seorang sekali….” Pantun ini disambut dengan tawa tertahan oleh tiga orang lainnya.

Beres! Bukankah selama ini saya selalu memberi kalian giliran? Kalau saya selesai empat kali kalian kuberi dua kali seorang, okey…?

Oke sih oke Lelo. Tapi apakah gadis itu akan tahan…?

Jangan khawatir dia tidak hanya tahan tapi akan melayani kita semua dengan keahliannya….

Dengan keahliannya…?

Ya!

Saya rasa dia belum pernah disentuh lelaki, Lelo….

Jahannam. Siang tadi saya meremasnya. Apakah saya kau anggap bukan lelaki…?

Bukan! Bukan itu maksud saya, Lelo. Selain Lelo saya rasa dia masih perawan. Barangkali umurnya paling tinggi delapan belas….

Enam belas! Dia pasti enam belas…. kata Lelo Cindai membetulkan.

Ya, saya percaya itu. Tapi ini dia datang. Lihat dia membasuh mukanya dengan air terjun sedingin ini. Gila. Apakah dia seorang yang berdarah panas makanya malam sedingin ini mencuci muka…?

Ya, dia gadis berdarah panas. Itu bagus bukan? Nah siap siaplah….

oOo

Anak muda bergiring giring perak itu bersandar ke batang kayu. Tiga bulan mengitari Gunung Tandikat. Datang dari kampung ke kampung. Bertanya dari rumah ke rumah.
Tapi tak seorang pun yang pernah kehilangan anak. Tak seorang pun yang mengetahui, bahwa ada suatu keluarga yang kehilangan anak dua puluh tahun yang lalu. Kalaupun ada, siapa yang masih ingat?
Dan mereka semua mengenal dan memanggilnya dengan sebutan Si Giring-Giring Perak. Dia tak bernama, bukankah tanda pengenalnya hanya giring giring perak itu?

Saya pasti punya nama. Saya pasti punya ayah dan ibu. Suatu saat kelak, kalau mereka masih hidup saya pasti bertemu dengan mereka. Pasti. Tapi apakah mereka masih hidup? Begitu fikir anak muda itu selalu.
Acapkali jika sampai pada fikiran seperti ini dia menunduk. Menyembunyikan kepalanya di antara kedua lututnya. Tangannya bergerak ke bawah perlahan. Memegang pergelangan kaki kanannya. Menyentuh giring giring perak itu.
Talinya sudah dia perpanjang. Karena sudah tak muat lagi. Jari jarinya mempermainkan buah giring giring itu. Tapi tiba tiba kepalanya tertegak. Dia seperti mendengar jerit tertahan. Salah dengarkah dia. Suara burung malamkah itu?

Atau suara anak harimau? Tidak, itu pasti suara perempuan. Dia melangkah cepat ke arah api unggun. Di sana Datuk Sipasan sudah tegak. Ketika dia melihat anak muda itu datang, dia segera bicara.

Saya mendengar suara pekik tertahan….

Entahlah. Hei bangun semua…!! suara datuk ini membangunkan semua lelaki.

Ada suara pekik tertahan. Coba periksa semua pedati. Kumpulkan perempuan perempuan….

Semua lelaki memasang suluh yang telah tersedia sejak dari Pariaman. Dengan suara keras memanggil perempuan perempuan untuk berkumpul.

Siti Nilam…. datuk itu berkata cepat begitu perempuan perempuan yang berjumlah enam belas orang itu berkumpul.

Ya, dia yang tak ada. Saya lihat pedatinya kosong!
Harimau atau penculikan? datuk itu berkata perlahan.
Saya rasa diculik…. kata si Giring Giring Perak. Suaranya datar tanpa emosi.

Bersebar tiga tiga. Cari dia sampai dapat…! Datuk itu memerintahkan semua lelaki.

Namun si Giring giring Perak mencegahnya.
Tak ada gunanya Datuk. Malam terlalu gelap. Hutan ini terlalu lebat. Datuk pasti tak mengenal rimba ini. Sementara penyamun itu sudah kenal setiap jengkal hutan ini dengan baik….

Tapi kami bertanggung jawab padanya. Dia sebatang kara. Ayahnya meninggal siang tadi. Sementara ibunya sudah beberapa tahun yang lalu mati karena sakit perut….

Si Giring Giring Perak menatap Datuk Sipasan. Kemudian dia terdengar berkata perlahan.
Saya akan mencarinya….

Kami akan ikut dengan Anda….

Terima kasih. Tapi saya juga mengenal hutan ini dengan baik. Saya rasa sendiri akan lebih mudah. Tunggulah di sini, Insya Allah, sebelum fajar datang, saya akan membawa gadis itu, siapa namanya tadi? Nilam?

Ya, Nilam. Siti Nilam….

Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, anak muda itu tiba tiba lenyap dari hadapan mereka.

“Ya Tuhan, sebentar ini dia di sini. Di hadapan kita. Kenapa tiba tiba lenyap?” seorang lelaki tua bicara dengan mulut ternganga.

Datuk Sipasan menggeleng.
Alangkah sempitnya dunia kita. Seumur hidup, saya tak pernah melihat orang mampu bergerak demikian cepat….

Apakah… apakah dia memang manusia…. seorang perempuan bicara perlahan. Semua mata memandang padanya. Kemudian mereka saling tukar pandangan.

Ya, apakah dia bukan jin? Kenapa dia memakai kain serba putih? Bukankah yang

Bersambung ke Bag 13

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *