.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 19…

.

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d 18 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 18…

Sambungan dari Bag 18…

yang berusia dua tahun itu, tegak dengan perasaan berang menatap keempat lelaki tersebut. Tak terbayang sedikit pun rasa kecut di wajah mereka. Bagi kedua perempuan itu menghadapi bahaya bukan hal yang aneh lagi.
Selama di Pariaman mereka sudah terbiasa melawan kekerasan. Semula kekerasan datang dari Inggeris, kemudian dari sesama orang Minang yang tidak menganut agama Islam.

Lalu terakhir mereka terpaksa berperang melawan bangsa Belanda yang datang ke Pariaman atas permintaan orang Minang yang benci melihat Islam masuk ke Pariaman lewat pedagang pedagang Aceh. Pertempuran bagi mereka hal yang lumrah.
Itulah sebabnya kini mereka tak merasa gentar menghadapi keempat lelaki ini. Sebaliknya sikap menantang tak kenal takut begitu, menambah selera keempat lelaki tersebut.

Hm… memang benar kata orang. Perempuan Pariaman bukan hanya cantik, tapi juga berdarah panas dan ganas. Ganasnya akan lebih nyata bila berada di tempat tidur… he… he… ujar salah seorang di antara keempat lelaki itu sambil memilin sungut.

Kami mengira semua penduduk negeri ini lelaki terhormat. Karena Luhak Tanahdatar adalah luhak dimana raja raja Minang dilahirkan. Tapi hari ini ternyata dugaan kami salah. Hari ini kami menemui empat orang jahannam…. isteri Datuk Sipasan mendesis.

Keempat lelaki itu tak tersinggung sedikit pun. Mereka mulai berjalan berputar. Putarannya makin lama makin merapat. Suatu saat yang seorang maju menyergap isteri datuk itu. Kedua tangan isteri Datuk itu masih tetap memegangi anaknya.

Tapi kakinya dia tendangkan menyambut terkaman si lelaki. Lelaki bersungut lebat itu sudah melihat makan kaki perempuan ini. Karena itu dia tak berani main main, apalagi untuk menyambut terkaman kaki perempuan itu. Dia berjalan lagi memutar.

Yang berada di depan Siti Nilam tiba tiba menyerang sambil bergulingan ke bawah, Siti Nilam masih tetap tegak. Tiba tiba lelaki itu mencengkam kain Nilam dan tanpa diduga dia merenggutkannya.

Serangan jahat dan kotor begini tak pernah diperhitungkan Siti Nilam. Dia semula menyangka setelah bergulingan lelaki itu akan menyerang dengan tendangan dari bawah ke atas, seperti jamaknya serangan berguling begitu.
Dan dia sengaja menanti serangan itu hingga dekat, dan disaat lelaki itu menendang dia akan menghantamnya dengan perian yang masih dia pangku. Tapi ternyata lelaki itu merengutkan kainnya. Dia berusaha menghantam lelaki itu dengan perian.

Tapi si lelaki telah bergerak bergulingan menjauh. Tanpa ampun, kainnya terenggut hingga lepas! Siti Nilam terpekik. Periannya dia campakkan dalam keadaan panik begitu. Tangannya memegang ujung baju kurungnya.
Dan untung saja dia memakai baju kurung. Hingga tubuhnya hingga pertengahan paha tertutup oleh baju kurungnya. Namun kaki di atas lutut Siti yang putih itu, sudah cukup untuk menambah panasnya darah keempat lelaki itu. Mereka tertawa bergumam sambil menjilat bibir.

Lelaki tadi kini menerpa lagi ke arah Siti Nilam. Kawannya ikut membantu. Siti Nilam yang mengelakkan serangan dari depan, tahu tahu kena dibekuk lehernya dari belakang. Dia terkunci dan tubuhnya terteteng ke belakang.

Karena tubuhnya terteteng itu, baju kurung yang dia pakai bahagian depannya ikut terteteng naik. Dan lelaki yang di depannya terbelalak melihat pangkal paha gadis itu. Dia menerpa dan memagut paha gadis tersebut dan berusaha menciumnya.

Namun dia salah duga karena terlalu menurutkan nafsu badaknya. Begitu dia menerpa, begitu tumit Nilam terangkat. Jidat lelaki itu diterpa oleh tumitnya yang dia hantamkan sekuat tenaga. Lelaki itu terhenti sejenak, kemudian terjengkang ke belakang. Dia tak bergerak.
Hei, Suman, tegak cepat. Gadis ini seperti belut. Ayo jangan lelap saja waang setelah mencium pahanya…!! seru temannya yang masih mengatuk leher Nilam.

Namun suaranya tertahan ketika isteri Datuk Sipasan yang berada di belakangnya tiba tiba mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan ke tengkuk lelaki ini. Lelaki itu kontan melosoh turun setelah terdengar suara berderak di lehernya!

Sebuah serangan tatak pungguang ladiang yang tangguh telah merenggut nyawa lelaki sialan itu. Kedua mereka, yang kena tendang jidatnya oleh tumit Nilam, dan yang kena tetak lehernya oleh isteri Datuk Sipasan mati saat itu juga.
Namun karena serangan ini, kedua perempuan itu menjadi lengah. Masih ada dua lelaki lain masih bergerak berputar di sekeliling mereka. Saat kedua perempuan ini lengah, keduanya serentak menyerang dengan gerakan cepat.

Nampaknya kelengahan kedua perempuan ini sudah diperhitungkan benar oleh kedua lelaki yang kepandaiannya tak bisa dianggap rendah itu. Mereka bergerak tidak dengan melancarkan serangan. Tetapi mengirimkan totokan. Yaitu sejenis tusukan dengan jari ke arah saraf yang membuat lawan lumpuh dalam waktu tertentu.

Malang bagi kedua perempuan itu, mereka terkena serangan yang, kendati tidak mematikan, membuat lumpuh. Siti Nilam kena totok di bahagian punggungnya. Dan gadis ini jadi tegak kaku.
Sementara isteri Datuk Sipasan kena totok di belakang telinganya. Ini membuat perempuan itu lemah. Anak dalam pangkuannya jatuh ke tanah dan menangis. Kedua lelaki itu tak membuang kesempatan. Kepergian Datuk Sipasan nampaknya telah mereka perhitungkan. Mereka intai benar, ketika datuk itu pergi, mereka datang.

Kini dengan gerakan cepat, kedua mereka memangku tubuh kedua perempuan itu naik ke rumah Datuk Sipasan. Meninggalkan anak kecil berumur enam bulan itu menangis kuat dan ditunggui oleh kakaknya yang berusia dua tahun.
Kedua lelaki itu tidak membawa isteri Datuk Sipasan dan Siti Nilam ke bilik. Tidak, itu tak sempat mereka lakukan. Terlalu banyak buang waktu. Mengapa harus ke bilik, kalau di ruang tengah saja hal itu bisa dilakukan. Malah bukankah akan lebih nikmat lagi dilakukan bersama?

Dengan pikiran begini, kedua perempuan yang sudah tertotok uratnya itu yang tak sempat dan tak dapat melawan sedikit pun karena lumpuh, mereka baringkan di lantai yang terbuat dari tadir.

Dan mereka juga tak mau menunggu lama lama. Segera saja kain dan baju kedua perempuan itu mereka renggutkan dengan kasar. Lalu tangan mereka mulai bertugas.

oOo

Datuk Sipasan memasukkan pisang yang dia beli untuk anaknya ke dalam kambut. Kemudian menawar paniaram. Dia ingat isterinya yang sangat menyukai paniaram. Dan di pasar Kabunsikolos ini, paniaram banyak sekali dijual orang.

Namun tiba tiba jantungnya rasa berdebar kencang. Telinganya jadi panas.

“Jadi membeli paniaram ini, Engku?”

Bersambung ke Bag 20…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *