.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 32…

.

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 31 klik dibawah ini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 31…

Sambungan dari Bag 31..

Anak buah Pandeka Sangek bukannya tak tahu, bahwa ketujuh lelaki yang kini mereka kepung adalah pengungsi dari Pariaman yang secara ajaib lolos dari penyembelihan di Bukit Tambuntulang.

Tak ada orang yang bisa selamat melewati bukit itu. Apalagi bila dalam rombongan ada perempuan perempuan cantik seperti yang ikut dalam rombongan datuk ini. Lolosnya rombongan Datuk Sipasan bukannya tak menjadi buah bibir di kalangan penduduk.
Namun tak seorang pun yang berani bertanya bagaimana caranya mereka lolos dari maut yang bertahta di Bukit Tambuntulang itu. Sebab satu hal telah pasti, yang berhasil lolos dari sana pastilah pesilat pesilat tangguh.

Dan hal ini telah terbukti tatkala beberapa hari yang lalu empat orang anak buah Pandeka Sangek mati pula di rumah Datuk ini di Silaiang. Akan halnya Pandeka Sangek, yang memang hadir dalam pengepungan Datuk Sipasan di hutan Silaiang itu, belum menampakkan diri.

Dia masih tegak di balik pohon, berlindung dalam gelap. Dia adalah kakak seperguruan Gampo Bumi yang terlibat perkelahian dengan Datuk Sipasan dan si Giring Giring Perak itu di Bukit Tambuntulang.

Begitu rombongan Datuk Sipasan lolos bersama anak muda itu, Gampo Bumi mengirim pesan melalui kurirnya pada kakak seperguruannya ini di Gunung Rajo. Isi pesan sederhana saja. Bunuh semua lelaki yang datang dari Pariaman itu.

Tapi ketika pesan itu disampaikan ke Gunung Rajo, Pandeka Sangek tengah tak di tempat. Dia berada di Pagaruyung. Di rumah bininya yang ke-14. Itulah sebabnya rombongan Datuk Sipasan tetap aman sampai dua pekan di Silaiang.

Datuk Sipasan bersiap menanti kepungan yang makin merapat itu. Dia berbisik pada Lebak Tuah disampingnya. Lebak ini berbisik pula pada temannya. Dan bisik itu diteruskan beranting dalam keadaan waspada penuh.
Ketika bisik itu sudah sampai lepada ketujuh lelaki teman datuk itu, terdengar pekik perintah menyerang dari Pandeka Sangek. Kibasan pedang berkilat ditimpa cahaya obor. Ketujuh lelaki dari Pariaman itu tak bergerak sedikit pun.

Musuh mereka sudah menyerang beberapa jurus. Namun suatu saat, dalam suatu gerakan yang sempurna, ketujuh lelaki itu tiba tiba maju beberapa langkah. Dalam waktu enam hitungan, secara menakjubkan ketujuh mereka telah menangkap masing masing seorang anak buah Pandeka Sangek.

Ketujuh lelaki yang mereka tangkap itu kini mereka jadikan tameng. Mereka kunci lehernya dari belakang, dan mereka buat pagar diri.

Pandeka Sangek, anak buahmu ini kami jadikan sandera. Kalau kau tak memberi kami jalan, mereka akan kami bunuh…. Datuk Sipasan mengancam.
Semua anak buah Pandeka Sangek jadi terdiam. Mereka tak menyangka siasat datuk ini seperti itu. Itulah tadi rupanya yang dibisikkan mereka. Gerakan mereka menangkap itu benar benar luar biasa.

Dan kini mereka memang tak bisa maju menyerang. Sebab salah salah bisa mengenai dan melukai teman mereka sendiri yang kini tengah disekap oleh ketujuh lelaki dari Pariaman itu. Namun sebagai jawaban, terdengar tawa bergumam disertai suara mencemooh.

He… he kau takkan lolos, Datuk. Perempuan perempuan harus menjadi bini kami. Dan kalian akan menjadi cacing atau dilahap binatang buas di rimba ini. Kalian takkan lolos….

Tapi kalian juga takkan berhasil melawan kami. Kami akan bunuh teman teman kalian ini….

“He… he… nyawa mereka sama tak berharganya seperti nyawa kalian….”
Sehabis berkata begini terdengar desiran perlahan. Datuk Sipasan terkejut. Suara itu pastilah suara senjata rahasia. Sebelum dia sempat memberi ingat pada teman temannya, terdengar jeritan jeritan. Datuk itu tiba tiba merasa lelaki yang dia katuak sebagai tameng itu terlonjak. Dan kemudian terkulai.

Layu.

Mati!

Datuk Sipasan kaget. Dia menatap ke kiri, ke kanan dan memutar kepala ke belakang. Dan keenam lelaki lainnya, yang dikatuak pula oleh teman temannya, semua pada terkulai mati! Dada mereka semua ditembus oleh senjata rahasia. Datuk Sipasan tertegun. Kali ini wajahnya benar benar pucat.

Dia sudah banyak mendengar kekejaman orang. Sudah sering mendengar perangai penyamun yang kejam kejam. Tapi melihat pimpinan yang tega membunuh anak buahnya sendiri, baru kali ini dia temui.

Hampir serentak mereka melepaskan tubuh ketujuh lelaki yang telah jadi mayat itu. Dan kini,

Bersambung ke Bag 33…

Catatan Redaksi: foto ilustrasi foto Ketua TP-PKK Pesisir Selatan, Sumbar Lisda Hendrajoni diantara bebek bebek diberikan kepada warga miskin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *