Pessel

Labuang Baruak Dan Sungai Bungin Kawasan Sentra Produksi Cengkeh Di Pesisir Selatan Kini Hanya Kenangan

.

PILARBANGSANEWS. COM. BATANG KAPEH,–
Menyebut Labuang Baruak, mengingatkan kita tentang masa jaya jayanya komuditas cengkeh. Komoditi rempah primadona era tahun 1960-an, 1970-an dan awal 1980-an.

Tak ada yang tidak kenal dengan tanaman cengkeh, emas hijau dari daerah beriklim tropis. Kategori rempah yang sejak masa dulu membuat para Baron dan para “Meneer” mengarahkan pandangan mereka ke nusantara.
Mungkin (hanya) anak-anak muda sekarang yang tidak tahu rempah yang (konon) menjadi bahan baku utama rokok kretek ini. Generasi muda sekarang mungkin lebih tahu dengan strobrerry, buah naga, milkshake thai dan seterusnya. “Cengkeh itu, apaan sih ? sejenis bunga ?”, kata anak murid saya suatu ketika.

Saya tak ingin menerangkan apa saja kegunaan cengkeh selain sebagai bahan baku utama rokok kretek, apa khasiat cengkeh, nama latin cengkeh dan seterusnya. Saya hanya tahu, seluruh batang tubuh pohon cengkeh bernilai uang.

Tak ada yang terbuang. Bunga/buahnya berharga tinggi, gagangnya/tampuknya bisa menghasilkan uang, daun-daunnya (konon) mampu menghasilkan cairan untuk antiseptik dan parfum, sedangkan batangnya dianggap sebagai kayu bakar kualitas “pertamax”.

Pokoknya, cengkeh ibarat pohon kelapa atau binatang sapi. Santan buah kelapa semua orang tahu apa manfaatnya, tempurung kelapanya bernilai jual pula, daun dan lidinya bermanfaat besar bagi manusia, sabutnya juga demikian pula, sedangkan batangnya jangan ditanya, jadi bahan baku utama papan dan penghubung jalan. Pokoknya, tak ada yang terbuang.

Cengkeh juga diibaratkan seumpama sapi. Daging sapi bernilai jual tinggi, kulitnya untuk gendang dan kerupuk, tanduknya menjadi assesories kultural lambang stratifikasi sosial pada masyarakat-masyarat tertentu di Indonesia, ekornya bisa dijadikan sop paling enak di seantero nusantara, tahi/”cirit”nya jadi pupuk berkualitas, bahkan (belakangan) suara sapi pun pernah menjadi RINGTONE paling favorit di beberapa handphone.
Kampung saya, Batang Kapas khusus dikawasan Labuang Baruak-Sungai Bungin dan Teluk Kasai, pada era tahun 1960-an, 1970-an dan awal 1980-an tersebut dikenal sebagai salah satu daerah penghasil cengkeh yang cukup besar di Pesisir Selatan. Bukit-bukit serta gunung-gunung di seputaran Labuang Baruak dan sekitarnya, terhampar pohon-pohon cengkeh yang asri, lebat lagi eksotik.

Bila pada awal dan pertengahan abad ke-18 dan 19 M daerah kita (Indonesia) penghasil Kapur barus paling utama, era 1960-an, 1970-an dan awal 1980-an itu, daerah Sumatera tidak terkecuali di Labuang Baruak, Teluk Kasai, Sungai Bungin (Batang Kapas) di Pesisir Selatan identik dengan penghasil cengkeh karena cengkeh, pendapatan masyarakat melejit pada masa itu.
Parameternya sederhana : setiap hari pekan/balai/pasar, toko emas banyak dikerubuti kaum ibu. Emas berjejeran di tangan mereka, emas dalam bentuk bulat pipih (saya lupa istilahnya), bergelantungan di dada mereka. Seandainya Terios, Rush, Innova, HRV, CRV dan sejenisnya sudah ada pada waktu itu, niscaya jalanan di Labuang Baruak bisa macet.

Tapi karena Labuang Baruak masih termasuk daerah terisolir ditambah lagi jalan-jalan penghubung dengan daerah lain di sekitar Labuang Baruak berkategori memiriskan, praktis glamouritas hanya terlihat pada kemeriahan cincin-gelang-subang emas yang digunakan. Semiskin-miskinnya orang Labuang Baruak pada masa itu, tak ada yang tidak memiliki gelang emas.

Mungkin terkesan “gadang ota”, tapi demikianlah perumpamaannya. Bahkan ada anekdot-sarkastik- “ongeh” untuk menggambarkan kesejahteraan masyarakat kampung saya, “mencuci tangan dengan air limun”. Masa itu, air limun dianggap sebagai lambang minuman “mewah” berkelas untuk ukuran kampung, maklum belum ada Sprite, Coca Cola, Fanta apa lagi Capuccino Cincau dan MilkShake. Paling yang ada selain limun, hanyalah Brendy dan TKW dan sejenisnya.
Fenomena ini, tidak hanya terjadi di kampung saya sahaja.

Anekdot ala kampung saya di atas, juga di temukan di Sulawesi Selatan berkaitan dengan kesejahteraan yang disebabkan cengkeh. Seorang kawan saya yang berasal dari Minahasa menceritakan bahwa di beberapa desa di Sulawesi yang tak terjangkau listrik, karena uangnya berlebih, masyarakatnya banyak yang membeli kulkas. Kulkas sebagai perlambang kesuksesan orang kota.

“Memangnya orang kota saja yang bisa beli kulkas”, demikian mungkin “ongeh”nya keluar. Padahal di desa-desa tersebut belum dialiri listrik. Listrik tak ada, kulkas dibeli. Lalu untuk apa kulkas perlambang kesuksesan orang kota itu bagi masyarakat desa tersebut ? ….. mereka isi dengan baju dan celana, dan kemudian dipandang-pandang disetiap waktu.

Lalu, kebahagiaan masyarakat kampung saya, dicabut oleh anak muda gagah perkasa, bernama Hutomo Mandala Putra. Anak kesayangan bahkan dianggap sebagai “Putra Mahkota” Presiden Soeharto. Melihat peluang bisnis cengkeh ini begitu menggiurkan, ia (pasti) membujuk sang ayah untuk menggunakan kekuasaannya. “Ayah, keluarkanlah palu godam kekuasaanmu, berikanlah cara bagaimana cengkeh di seantero kerajaan ayah ini bisa saya kuasai, tanpa modal, tanpa usaha keras, tapi mendapatkan untung banyak”, demikian (mungkin) kira-kira Hutomo yang akrab dipanggil dengan Tommy Soeharto ini, membujuk ayahnya yang dikenal murah senyum tersebut. Karena terlampau bersangatan sayang pada anaknya, Soeharto kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Tata Niaga Cengkeh, sekitar tahun 1986/1987. Keppres itu mengatur, petani harus menjual cengkehnya ke koperasi. “Bukankah koperasi harus kita perkuat sebagaimana kata Bung Hatta”, demikian kemungkinan pembenaran yang disampiakan Soeharto pada awal penyusunan Keppresnya ini. Tapi lucunya, koperasi a-la Soharto bukan sebagaimana yang disarankan Bung Hatta. Koperasi hanya bertugas sebagai pengumpul. Ya …… pengumpul saja.

Selanjutnya, cengkeh yang terkumpul itu, harus dan wajib bin mutlak, dijual ke Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Lalu, semua pabrik rokok dalam negeri wajib membeli pasokan cengkeh dari BPPC ini. Lalu dibungkuslah kongkalingkong politik ekonomi ini agar tampak “legal”. BPPC ini terdiri atas Induk KUD dan satu dari swasta yaitu perusahaan milik Tommy Soeharto. Sang pangeran kemudian didaulat menjadi pemimpin BPPC – lembaga monopoli pengumpul dan pemasaran cengkeh Indonesia. Sejak itu, petani cengkeh menjerit. Harga cengkeh anjlok karena harga tidak diserahkan kepada mekanisme pasar, tapi dimonopoloi oleh satu organisasi.

Masyarakat di kampung saya, kemudian meninggalkan cengkeh. Tak jarang, pohon-pohon cengkeh pun ditebang. Lalu, BPPC untung dari selisih harga penjualan ke pabrik rokok diperkirakan triliyunan, hanya bermodalkan “air liur” dengan sedikit Keppres milik sang ayah. Ketika Soeharto tumbang tahun 1998, BJ. Habibie membubarkan BPPC dengan meninggalkan hutang di Bank ratusan milyar bahkan trilyunan. Enak banget… Kau Tommy. Selanjutnya, sejarah mencatat, Tommy Soharto pernah menjadi tersangka di Kejaksaan Agung. Lalu, kasusnya hilang, menguap tak tampak asap. Maklum, kasusnya ibarat tentakel, menggurita, berkelindan saling menyandera.

Hari ini, banyak orang yang merindukan Soharto, bahkan si Tommy Soeharto. Saya hanya katakan kepada murid saya, “gara-gara mereka itu, tak pernah lagi saya melihat kaum ibu bergelang emas berbaris-baris !”.

“Memangnya cengkeh itu apa .. pak?”, tanya murid saya kembali.
Seumpama senyuman kalian pada saya.
Bel sekolahpun berbunyi pertanda Proses Belajar Mengajar di kelas selesai.Wasalam.
________________
Oleh; ANDRA USMANEDI,S.PdI,M.Pd
[Penulis adalah Guru Honorer SMA 1 Batang Kapas, kepala Kampung Teluk Kasai, Peduli sejarah dan Pariwisata Pesisir Selatan]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *