.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 43…

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 42 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 42…

Sambungan dari Bag 42…

turun dari pohon kayu.
Memanjang dengan dua tangan mencakar ke depan serta mulut ternganga memperlihatkan gigi. Suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk pada berdiri. Pengungsi pengungsi dari Piaman itu, termasuk anak buah Pandeka Sangek, pada tegak diam dengan ngeri.

Namun si Giring Giring Perak mempergunakan akal yang tak terpikirkan sama sekali. Begitu tubuh Pandeka Sangek melejit ke dekatnya, tangan kirinya bergerak menghantam suluh di dekatnya. Seiring dengan itu dia sendiri kembali melambung ke udara.

Serangan dengan suluh menyala ini di luar dugaan Pandeka Sangek. Dia memukul suluh itu dengan tangannya. Namun api suluh itu pecah dan sebagian menerpa mukanya. Sebagian lagi menghantam pakaiannya.
Yang menerpa muka sempat dia elakkan dengan meniupkan angin yang berasal dari tenaga dalamnya. Api itu terpental kembali. Mati di tanah. Namun pecahan damar yang lainnya, yang menerpa bajunya, hinggap di sana dan baju merahnya yang terbuat dari kain beludu itu dimamah api tiba tiba.

Dia terpekik. Api nyala dipunggung dan di dadanya. Dia menggeram. Api itu jelas tak menyakiti tubuhnya. Karena dia memasang ilmu kebal. Namun matanya tak bisa dia lindungi. Rambut dan alis matanya dijilat api. Inilah yang menyebabkan dirinya berang.

Dalam saat dia menguasai api itu, serangan si Giring Giring Perak datang. Serangannya berbentuk sebuah hantaman pada lutut dengan sisi kaki. Hantaman ini menyebabkan suara berderak di tempurung lutut lelaki itu.
Hantaman kedua mengarah ke leher. Namun dia rupanya sudah waspada. Dia menangkap tumit si Giring Giring Perak. Tapi anak muda itu mengikuti tangkapan itu. Dia naik dan kaki kirinya menghantam kepala Pandeka Sangek.

Tendangan itu mendarat di keningnya. Untunglah yang kena adalah Pandeka Sangek, kalau tidak, kepalanya pasti sudah rengkah. Pandeka Sangek terguling muntah darah Namun dia segera bangkit dan menyerang lagi.

Serangannya mulai merendah dengan jurus jurus mencakar dan menangkap yang tangguh. Si Giring Giring Perak dibuat sibuk lagi mengelak. Dia tak melompat jauh. Tapi berkelit dan melambung dengan mengandalkan ilmu si ringan ringannya yang tangguh.

Dua puluh lima jurus berlalu, dalam serangan mempergunakan silat harimau itu. Tapi Pandeka Sangek belum berhasil menundukkan si Giring Giring Perak. Malah kepalanya yang kena tendang.

Dalam cahaya suluh Datuk Sipasan dan teman temannya, serta anak buah si Sangek hanya melihat berkelebatnya cahaya putih dan merah. Mereka tak sempat melihat tubuh kedua orang itu saking cepatnya mereka bergerak.

Pada jurus ketiga puluh, si Giring Giring Perak kembali kena hantam perutnya oleh tendangan Pandeka Sangek. Anak muda itu terlambung dan jatuh dua depa jauhnya. Sebelum bangkit Pandeka Sangek menyerangnya dengan terkaman buas. Namun anak muda itu bergerak cepat, kaki kanannya menanti terkaman itu.

Hantaman kaki kanan yang kukuh itu menyambut Pandeka Sangek di kepalanya. Dua kali kepalanya kena hantam, membuat kepala lanun itu jadi berpusing. Si Giring Giring Perak segera mempergunakan kesempatan itu.

Dia meloncat tegak kemudian sebuah tendangan yang telak lagi menghantam perut Pandeka itu. Tubuhnya tercampak. Dan lagi lagi dia muntah darah. Dia tegak menggerendeng. Bersuit panjang. Kemudian tubuhnya melenting.

Si Giring Giring Perak bersiap. Namun Pandeka Sangek melenting ke samping. Melewati suluh dan lenyap dalam kegelapan rimba Silaiang itu. Ketika si Giring-Giring Perak melihat ke arah anak buah si Pandeka yang tadi mengelilingi mereka, ternyata semua telah lenyap.

Yang tinggal kini hanya suluh yang tertegak dan bergoyang ditiup angin. Hutan itu sepi! Namun tak seorang pun yang berani meninggalkan tempat mereka tegak. Semua makin waspada.

Sudah beberapa kali nyawa mereka hampir melayang karena hujaman tombak dari tempat gelap. Si Giring Giring Perak mendengarkan dengan teliti setiap bunyi dan gerak dalam rimba dalam rimba itu dengan telinganya yang amat tajam. Namun tak ada yang bersuara mencurigakan.
Aneh, kemana orang orang itu? Tiba tiba terdengar suara bergema.

Ilmu sanak memang tangguh. Tapi pertarungan kita belum selesai. Ingatlah, suatu hari kelak, sanak akan mati di tangan salah satu dari tiga orang seperguruan Tambuntulang….

Suara itu jelas suara Pandeka Sangek. Dari suaranya saja dapat diketahui bahwa dia telah berada jauh dari hutan itu. Suaranya dia kirimkan dengan mempergunakan tenaga batin. Datuk Sipasan menarik napas lega.
Siti Nilam menghambur ke arah si Giring Giring Perak. Dia menghapus bekas darah di mulut anak muda itu dengan ujung selendangnya. Sebagai pesilat dia tahu, tangan anak muda itu lumpuh dan harus dirawat.

“Tangan Uda cedera….” katanya perlahan.

Anak muda itu mengangguk tapi mulutnya tersenyum. Rombongan Datuk Sipasan mengelilingi anak muda itu. Datuk Sipasan terdengar berkata perlahan.

“Terima kasih. Sekali lagi Anda menolong nyawa kami. Sementara belum satu pun yang bisa kami perbuat untuk menolong Anda….”

“Tak usah dipikirkan hal itu Datuk. Hari mungkin sudah hampir pagi. Ada baiknya kita kubur jenazah teman teman yang meninggal….”

“Ya… saya rasa itulah yang harus kita lakukan….”

Tiga orang di antara mereka kembali ke rumah Datuk itu di Silaiang. Mengambil cangkul dan linggis. Lalu mereka menggali kuburan. Pekerjaan itu dihentikan tatkala subuh datang. Mereka sembahyang Subuh bersama.

Setelah pagi datang, barulah pekerjaan…

Bersambung ke Bag 44

Foto bukan Air mancur Silaing yang terkenal itu tapi air mancur di Bayang Pesisir Selatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *