.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” ( Oleh; Makmur Hendrik) Bag 46…

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 45 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 45…

Sambungan dari Bag 45…

Memang benar seperti yang engkau katakan, sebenarnya lebih baik kami hidup dengan tenang bersama keluarga di Luhak Nan Tiga ini. Jauh dari kerusuhan dan huru hara. Tapi bukankah hidup berkampung menjaga kampung, bernagari menjaga nagari?

Lagi pula kedamaian itu dimana mana bisa ada. Sebaliknya kerusuhan juga dimana mana bisa ada. Luhak Nan Tiga ini misalnya, nampaknya juga tak aman. Cobalah lihat, di Bukit Tambuntulang saja kita dihadang oleh penyamun. Di sini juga dihadang oleh Pandeka Sangek.

Siapa pula yang mengatakan bahwa Belanda yang sudah seratusan tahun di sini tidak mendatangkan kerusuhan bagi penduduk pribumi? Kerusuhan bisa datang dimana mana. Daripada hidup dalam kerusuhan di negeri orang, lebih baik mati di kampung halaman. Begitu adat kita orang Minang….”
Datuk Sipasan berhenti. Dia khawatir, kalau dia meneruskan juga ucapannya, anak muda itu benar benar akan merasa tersinggung. Para lelaki yang lain, dan kaum perempuan dari Piaman yang duduk tak jauh dari mereka pada terdiam mendengar pembicaraan itu. Menatap pada mereka dengan tegang.

Si Giring Giring Perak menunduk diam.

“Maaf. Saya benar benar tak bermaksud melukai hatimu….”

“Tidak, saya tak tersinggung. Apa yang Datuk katakan itu adalah kebenaran belaka adanya. Saya juga berpikir bahwa tugas menghalau Belanda dari Pariaman sebenarnya bukan hanya tugas Datuk dan teman teman Datuk saja. Itu adalah tugas seluruh orang Minangkabau.

“Kalau semua orang Minangkabau merasa bahwa itu sebagai ancaman, maka semuanya hendaknya membantu Datuk. Saya sendiri, kalau tiba masanya Datuk menyerang ke Pariaman nanti, kalau umur panjang, Insya Allah akan membantu, mudah mudahan ada gunanya….”

Datuk itu tertegak mendengar ucapan ini.

“Apakah saya tak salah dengar… Engkau mau membantu kami untuk mengusir Belanda dari Pariaman?”

“Kenapa Datuk harus sangsi. Minangkabau adalah negeri saya. Meski kelak saya tak tahu mana kampung halaman tempat darah saya tertumpah, namun negeri ini adalah negeri nenek moyang saya. Saya akan berusaha membantu penduduk yang mendapat kesusahan. Jika itu diizinkan Tuhan. Bukankah saya juga seorang Muslim?”

“Ya Allah, ya Tuhan, kabulkan niat anak muda ini. Kabulkan pula doa kami, agar selamat dia Engkau lindungi, agar dia bertemu dengan kedua orangtuanya. Agar dia membantu kami memerangi musuh musuh-Mu. Agar dia dan kami sama sama dapat berperang demi menegakkan agamaMu…!” seru Datuk Sipasan dan berdoa dalam rimba Silaiang itu.

Semua lelaki dan perempuan yang hadir di sana pada tegak dan menampungkan tangan, mengaminkan doa Datuk itu. Datuk itu kemudian memeluk anak muda tersebut. Kemudian berpaling pada teman temannya. Terdengar suaranya bernada serak.

“Kawan kawan, Tuhan telah menemukan kita dengan anak muda ini. Dan Tuhan telah menunjuknya untuk berperang bersama kita kelak di Pariaman. Mari kita syukuri hal ini dengan membacakan al-fatihah….”

Semua mereka membaca ayat Ummul Quran itu dalam hati. Siti Nilam meneteskan air mata. Beberapa perempuan juga meneteskan air mata. Bahkan Datuk Sipasan dan lelaki lelaki dari Piaman itu juga pada menitikkan air mata syukur dari terharu.

Si Giring Giring Perak akan bersama mereka dalam menyerang di Pariaman. Bayangkan! Seorang anak muda berilmu tinggi, yang mengalahkan Gampo Bumi dan Pandeka Sangek, yang berkuasa di Bukit Tambuntulang dan Gunung Rajo. Tuhan benar benar Maha Kuasa!

Datuk Sipasan sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu ditugaskan teman temannya untuk membujuk anak muda itu agar mau membantu mereka. Bahkan ada yang mengusulkan agar dia dijodohkan dengan Siti Nilam.

Agar dengan demikian, anak muda itu mau tak mau ikut berperang di pihak mereka mengusir Belanda. Namun Datuk itu tak mau gegabah. Dia tak mau menyampaikan hal itu karena dia anggap kurang terhormat cara demikian.

Kiranya tanpa dia harus meminta dengan bujukan, anak muda itu telah mengatakan kesediaannya. Bukankah itu suatu rahmat? Datuk ini serta pengikut pengikutnya, merasa yakin bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan sekalian alam yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Setelah mereka membaca al-fatihah, para lelaki berdatangan menjabat tangan si Giring Giring Perak. Menurut perjanjian dengan ulama ulama Aceh yang balik ke Aceh mencari bala bantuan, mereka akan datang lima purnama lagi.

Berarti sisa lima purnama itu akan mereka pergunakan untuk mencari dan mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin. Berusaha menarik kaum pesilat dan pengikut Islam yang ada di tiga luhak ini agar mau membantu mereka.

Hari itu mereka putuskan, bahwa mereka akan kembali ke rumah Datuk Sipasan di Silaiang. Tiga hari di sana, setelah melihat angin baik, mereka lalu pindah menuju Balingka, seperti rencana Datuk Sipasan. Mereka menempuh jalan biasa lewat Kotobaru, Sungaibuluh dan Padangluar lalu berkelok ke Balingka.

Dengan menempuh jalan biasa itu, mereka dapat membawa semua perkakas yang dibawa pindah dari Pariaman berikut pedati. Si Giring Giring Perak ikut dalam rombongan itu. Dalam perjalanan, beberapa kali mereka coba disergap oleh anak buah Pandeka Sangek.

Tapi melihat betapa di pedati paling depan duduk anak muda berbaju serba putih dan bergiring giring perak itu, stelan perut mereka jadi memilin. Mereka mundur sebelum dihajar. Rombongan itu aman sampai di Balingka.

Bersambung ke Bag 47…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *