.

Kunjungan Wantimpres Yahya Staquf Ke Israel Berpotensi Pemakzulan Presiden. Kenapa?

Oleh : Haz Pohan

Tulisan saya kemarin adalah konstruksi berfikir yang hipotetis. Saya tidak bicara bahwa Presiden Jokowi akan dimakzulkan, atau saya ingin pemakzulan ini terjadi.

Sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya—bahwa kunjungan Yahya Staquf yang Wantimpres itu berpotensi untuk pemakzulan. Kenapa?

Pertama, kita telah memiliki UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang jelas menempatkan bahwa kita menganut asas politik luar negeri bebas dan aktif dan anti penjajahan. Ada otoritas yang ditetapkan dalam pasal-pasal UU tersebut untuk menjaga kemurnian politik luar negeri (polugri) bebas dan aktif, yaitu presiden atau menteri luar negeri. Tidak hanya pejabat pemerintah, bahkan warganegara biasa juga bisa dicekal untuk bepergian ke luar negeri jika membahayakan dirinya, keamanan negara, maupun berpotensi mengganggu jalannya diplomasi kita.

– Sponsor –

Kedua, kita memiliki kebijakan yang konsisten sejak dulu bahwa kita tidak mengakui Israel dan kita mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya. Sikap ini dikenal dunia dan tidak ada tawar-menawar untuk itu.

Kunjungan Yahya Staquf dalam kapasitas sebagai penasehat Presiden R.I. cukup tinggi untuk memenuhi persyaratan adanya ‘pengakuan de facto’ (recognition) terhadap eksistensi negara Israel. Ini bertentangan dengan UU No. 37/1999 dan sikap dan kebijakan kita tidak mengakui Israel di satu pihak dan mendukung perjuangan bangsa Palestina di lain pihak.

Jika sang Wantimpres tetap kekeuh untuk melanjutkan muhibbah-nya, maka ada alasan politis DPR RI yang hanya membutuhkan sekitar 17 suara untuk mengagendakan ‘interpelasi’ mempertanyakan apakah orientasi politik luar kita berobah dan mengapa? Ini, secara hipotetis, dapat berujung pada Pansus DPR dan kemudian pendapat bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap asas politik luar negeri.

Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa Pemerintah telah melanggar secara material UU 37/1999, maka ada alasan bagi MPR untuk melakukan sidang impeachment.

Kembali lagi, ini konstruksi berfikir hipotetis. Belum dan mungkin tidak akan terjadi. “This serves a warning.”

Kalaupun pelanggaran terjadi terhadap UU, dan DPR ‘bawa slow’ proses pemakzulan tidak akan diinisiasi.

Kalau diangggap serius bagaimana? Kalau dijadikan alasan untuk memulai proceeding pemakzulan bagaimana? Kembali lagi ini hipotetis.

Dr. Nazaruddin Nasution, mantan dubes karir yang kemudian menjadi pengajar diplomasi dan hubungan internasional berkomentar dan mengingatkan:

“Pada tahun 1951, Kabinet Sukiman juga pernah dimakzulkan Parlemen karena Menlu Achmad Subardjo menandatangani Mutual Security Act (MSA) dengan Dubes AS Merle Cochran. Parlemen menilai MSA tidak sesuai dengan polugri Bebas Aktif, dan Perdana Menteri Sukiman bersama menteri di kabinetnya mengundurkan diri. Inilah kabinet dlm perjalanan sejarah RI yg terpaksa meletakkan jabatan, karena isu polugri.”

Act tersebut berisi tentang pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia berdasarkan Mutual Security Act (MSA) atau undang-undang kerja sama keamanan. Kerjasama tersebut dinilai sangat merugikan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Seakan-akan Indonesia masuk ke dalam Blok Barat. Oleh karena itu, DPR menggugat kebijakan Kabinet Sukiman. Akhirnya Kabinet Sukiman Jatuh.

Dalam UUD 1945 amandemen ke-4, impeachment itu bersifat umum, melanggar UU, perbuatan tercela, pidana dan sebagainya. Tidak semata-mata soal politik belaka. Alasan melanggar UU ekonomi juga bisa digunakan sebagai alasan.

Pemakzulan Presiden dalam sejarah Republik baru dua kali terjadi: Presiden Soekarno di tahun 1966 dan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2001.

Karena itu, di akhir tulisan saya mengatakan “Jangan Sampai Tiga Kali” seperti lagu Trio Ambisi.

Jakarta, 10 Juni 2018

Disadur dari telusur.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *