Sumatera Barat

Ingat….! Di Sumbar Terdata 21.000 Orang LGBT

PADANG, PILARBANGSANEWS. COM,– Indra Syarif Caleg DPR-RI dari Partai Berkarya, mengungkapkan jumlah LGBT di Sumbar kini telah mencapai 21.000 orang. Untuk menekan jumlah itu, harus ada aksi penanganan yang komprehensif.

“Selama ini penanganan LGBT, hanya berkutat pada diskusi, dibanding aksi, sehingga perilaku seks menyimpang tersebut di Sumbar, terus bertambah dan menjadi masalah serius,” kata Indra Syarif dalam acara “Mimbar Mahasiswa, Mengupas Realitas” di Stasiun Padang TV, Jalan Adinegoro Padang, Kamis malam (25/10).

Malah lebih bukan 21 ribu kata Panelis, Khairul Anwar Dt Tan Marajo. Menurut Pria yang juga aktif mengurus masalah HIV/AIDS ini , penularan penyakit kaum Nabi Luth itu banyak bersumber dari Narkotika, suntik, perilaku gay, biseksual dan transgender. Antara HIV/AIDS dan LGBT, menurutnya adalah dua hal yang berbeda. Karena itu, butuh penanganan khusus.

“LGBT, kata Indra Syarif, adalah virus sistemik. Sama saja ada genosida generasi. Semua agama menolak LGBT. Dia berharap pemerintah segera bangun panti rehabilitasi penderita LGBT ini.

“Mengelaminir dan menekan jumlah penderita LGBT ini, diperlukan political will dari pemerintah, sebab angka 21 ribu itu, bukan angka yang kecil. Pemerintah harus sungguh-sungguh,” ujarnya.

Sementara itu, Fauzi Bahar menyatakan bahwa LGBT adalah parasit yang harus dipangkas habis. Menurut mantan Walikota Padang tersebut, pada tahun 1970-an, kenakalan remaja hanya dikenal hanya berambut gondrong, tak masuk baju, jahat ke teman. Lalu, video porno, bunuh diri, kriminalitas lain. Namun sekarang, kenakalan remaja berkembang menjadi penyalahgunaan Narkoba, tawuran dan LGBT.

Khusus untuk LGBT, Fauzi Bahar menyatakan bahwa jurus paling jitu memberantas adalah dengan memperkuat akidah dan akhlak.

“LGBT bagai serigala yang akan menerkam masa depan. Sebelumnya kita tidak kenal LGBT. LGBT adalah kemungkaran, jadi pemberantasannya harus dilakukan penguasa. Bagi kampus yang memiliki mahasiswa yang LGBT, mahasiswa tersebut harus di-DO (drop out/dikeluarkan) dari kampus. Sehingga akan memberi pelajaran ke yang lain. Karena mencoreng nama kampus dan ranah minang,” tegasnya.

Sementara itu, Syamsu Rahim dalam paparannya kembali mengingatkan bahwa komitmen orang Minang sudah ada, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK). LGBT menurutnya jelas bertentangan dengan falsafah tersebut. Meski begitu, politisi senior Sumbar yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Sawahlunto, Walikota Solok dan Bupati Solok tersebut, mengharapkan agar seluruh elemen jangan saling menyalahkan, mengecam dan mengutuk. Harus ada introspeksi diri bagi orang tua, mamak, legislatif, eksrkutif dan elemen masyarakat lainnya.

“Selama ini, kita hanya berkutat menyalahkan yang berbuat. Mengapa kita tidak introspeksi diri, orang tua yang tak menjaga anak, mamak yang tidak menjaga kemenakan, saudara yang tidak menjaga saudaranya. Ingat, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mengapa, setelah semakin banyak masjid, mushala, orang naik haji harus antre, tayangan agama setiap hari, tapi penyimpangan tetap banyak, bahkan semakin tinggi dan semakin canggih. Karena itu, kita butuh penyadaran, bahwa LGBT menjadi marak karena kita sudah mulai meninggalkan falsafah dan kearifan lokal kita selaku masyarakat Minangkabau. Kini bukan saatnya lagi mengecam, mengutuk dan menyalahkan. Tapi berikan solusi,” ungkapnya.

Syamsu Rahim mengemukan solusi untuk mencegah LGBT adalah dengan memaksimalkan fungsi institusi adat dan lembaga kemasyarakatan. Menurutnya regulasi saat ini tidak lagi begitu efektif, jika tidak didukung dan didorong oleh keinginan dari masyarakat. Yakni mengurai dan memberi solusi terhadap permasalahan dari hulu.

“Berdayakan institusi adat dan kemasyarakatan. LKAAM, niniak mamak, bundo kandung, pemuda harus dikembalikan fungsinya sebagai penjaga anak kemenakan. Jangan cuma top down atau kebijakan dari atas ke bawah, tapi hatus bottom up atau gerakkan dari bawah. Program preventif, jauh lebih utama. Agar yang belum terjebak perilaku menyimpang bisa diselamatkan. Sanksi sosial, yakni rasa malu jauh lebih berat dari sanksi hukum,” ujarnya.

“Kita menganggap mereka berperilaku menyimpang. Namun, menurut mereka, LGBT adalah pilihan hidup, bukan menyimpang. Karena itu, butuh penanganan khusus. Selama ini, tidak ada progress dari pemerintah. Karena itu, butuh kesadaran dari masyarakat untuk bersama-bersama memberantasnya,” tegasnya.

Mahasiswa PGSD Universitas Bung Hatta, Randa Fadli, menyanggah statement Fauzi Bahar yang menyatakan bahwa penguasa yang bisa memberantas LGBT dengan aturan. Menurutnya, semua elemen masyarakat harus bersama-sama, bukan hanya dengan tangan penguasa. Mahasiswa lainnya, Nanda Friska dan Faudin Yazid, juga menjelaskan terhadap yang memiliki perilaku menyimpang tersebut, harus ditumbuhkan kesadaran bahwa hal itu salah. Sehingga, LGBT tidak berkembang dan menjadi penghambat perkembangan kehidupan yang bermoral dan beradab. (rijal islamy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *