.

KEJAHATAN PADA PROSES PEMILU ADALAH KEJAHATAN PADA NEGARA

Oleh : Anton Permana.

Secara umum ada tiga model pemerintahan didunia yang berjalan sampai sekarang. Yaitu model monarki konstitusional (sistem kerajaan) seperti Inggris, Denmark, Thailand, Brunei Darussalam, Jepang, Malaysia, Arab Saudi. Kemudian model Sosialis-Komunis seperti Rusia, China, Korea Utara, Venezuela, dan Kuba. Selanjutnya adalah model negara demokrasi seperti Amerika, Prancis, India, Mesir, Brazilia, dan termasuk Indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham demokrasi dalam sistem politik negaranya. Yaitu, melakukan sistem kepemimpinan nasional melalui Pemilu sekali dalam lima tahun.

Sistem Pemilu ini mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Artinya, sejak itu Indonesia menjadikan Pemilu sebagai bentuk refleksi kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 yang nengatakan bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat.

Dengan jaminan konstitusional ini, memberikan pengertian bahwa demokrasi adalah instrumen politik negara yang konstitusional. Dimana didalamnya ada Pemilu dan Pilpres. Termasuk Pilkada.

Sebagai instrumen politik negara, berarti apabila terjadi kecurangan, kejahatan dalam proses pelaksanaan pemilu, berarti sama juga dengan melakukan kejahatan atau kecurangan kepada negara. Dan para pelaku kejahatan kepada negara ini bisa disebut sebagai penjahat negara yang berarti musuh negara.

Musuh negara ini wajib hukumnya untuk di adili dan dihukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Siapapun pelakunya, apapun jabatannya. Karena setiap warga negara sama kedudukannya didepan hukum (equality before the law). Tidak ada yg kebal hukum, tidak ada diskriminasi, dan tidak boleh terjadi tebang pilih dalam penegakan hukum. Ini adalah prinsip negara hukum.

Ini adalah prinsip dasar sistem politik negara Indonesia yang mesti kita pahami bersama. Karena, Indonesia ini lahir dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Bukan dari hadiah penjajah, atau dari penaklukan raja-raja. Tetapi murni lahir dari sebuah kesepakatan bersama dan mandat daerah untuk bersatu dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PEMILU DAN PILPRES DARI SUDUT PANDANG GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI NASIONAL.

Geopolitik secara sederhana bisa kita artikan sebagai ‘ruang hidup’ . Ruang hidup sebuah entitas bangsa dan negara. Dimana sebuah negara itu terdiri dari wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Yang secara bersama-sama bersepakat untuk membentuk sebuah organisasi besar yang bernama negara (nation state).

Sedangkan geostrategi kalau kita artikan secara sederhana adalah, cara bagaimana sebuah bangsa dan negara untuk melanjutan, mempertahankan dan memajukan bangsanya.

Setiap negara dan bangsa mempunyai geopolitik dan geostrategi yang berbeda-beda. Karena kondisi wilayah, jumlah penduduk, sumber daya alam, sumber daya manusia, serta sistem politiknya yang juga pasti berbeda-beda.

Sejak lahirnya konsep ‘nation state’ ini, dimana masing daerah terkotak-kotakan kedalam masing kotak yang bernama negara, mulailah terjadi kompetisi antar negara dimana masing negara tentu mempunyai visi-misi falam mengaktualisasikan bangsanya dimata dunia.

Dizaman kolonialisme. Pemahaman geopolitik dan geostrategi ini dijadikan mereka sebagai alibi untuk melakuan ekspansi penjajahan diseluruh dunia. Alibi bagaimana ‘ruang hidup’ negaranya yang terbatas, baik dari segi sumber daya alam dan pengetahuan, akhirnya melalui geostrategi melakukan penjajahan kewilayah-wilayah yang kaya sumber daya termasuk Indonesia. Sebuah ekspansi kolonialisasi yang menghalalkan segala cara atas nama opportunity bangsa dan negaranya. Inilah yg dialami bangsa-bangsa seperi di Afrika (dijajah Prancis dan Inggris), Brazilia di jakah Portugis, Philipina di jajah Spanyol, Malaysia dijajah Inggris, dan Indonesia dijajah Belanda.

Dan yg mesti kita pahami, bahwa sampai sekarang gaya penjajahan ini masih terus terjadi. Tentu dengan cara dan pola yang berbeda. Kalau dulu menggunakan kekuatan fisik senjata (military), sekarang seiring waktu berjalan, sistem kolonialisasi ini berjalan melalui politik, ideologi, ekonomi, dan budaya (hukum). Atau melalui politik ‘shadow govermment’ (pemerintahan bayangan/pemerintahan boneka).

Seperti contoh secara negara kawasan (regional) : Negara eropah dalam menghadapi ancaman dari blok timur (Rusia dan China) maka negara Eropah membentuk koalisi Uni Eropah dan secara militer pertahanan membentuk NATO (Aliansi Pertahanan Atlantik Utara) bersama Amerika.

Indonesia bersama negara Asia Tenggara juga membentuk kelompok regional bernama ASEAN. Dan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia vs Malaysia pada tahun 1960an, beberapa negara di Asia Tenggara yang bekas jajahan Inggris membentuk aliansi pertahanan bernama FPDA (Five Power Defense of Arrangement) yg terdiri dari (Malaysia, Singapore, Australia, Selandia Baru, Inggris).

Indonesia pada zaman era Soekarno dan Soeharto juga memainkan geopolitik dan geostrateginya dengan membentuk poros gerakan non-blok (GNB) dan Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai bentuk poros kekuatan penyeimbang diantara tekanan dua blok kekuatan dunia di era perang dingin ketika itu (blok barat vs blok timur).

Secara bilateral, tiap negara juga memainkan peran strateginya bagaimana kepentingan negaranya terlaksana. Seperti contoh : Amerika bersama 4 negara lainnya membentuj organisasi negara dunia bernama PBB, dimana ada 5 negara pemegang veto dan seterusnya PBB ini juga membentuk organisasi seperti WHO, WTO, UNESCO, dst… Dimana organisasi ini tak lebih dari bentuk ‘birokratisasi’ atas hegemoni 5 negara adi kuasa dunia ini untuk mengatur dan menguasai dunia.

China contohnya, menjadikan Korea Utara, Myanmar, Pakistan, Laos, sebagai benteng geografis dan benteng ideologis negaranya dari ancaman luar. Selanjutnya melalui penetrasi dan investasi ekonomi, China mulai nembangun jaringan kekuatan baru diseluruh dunia, dengan menguasai secara perlahan negara-negara kecil dan lemah (secara pemerintahan dan ekonomi) untuk kemudian dijadikan basis supply and chance dari kepentingan geo ekonomi negaranya. Sudah banyak negara yg jatuh ketangan China seperti Zimbabwe, Angola, Pakistan, Papua Nugini, bahkan sebentar lagi termasuk Malaysia, Philipina, bahkan bisa jadi Indonesia.

Israel juga demikian. Memecah negara-negara Arab kedalam bentuk negara / kerajaan kecil, kemudian memecah belah dengan isu sekterian antara syiah-sunni, kemudian baru infiltrasi dan menguasai pemerintahannya untuk dijadikan boneka pemerintahannya. Lihatlah sekarang bagaimana sesama negara Arab sekarang berperang tiada henti dan terpecah tajam antara kubu sunni dgn pimpinan Arab Saudi, dan kubu syiah dengan pimpinan Iran.

Tidak hanya sampai disitu, Israel dengan kecanggihan inteligent dan penetrasi kekuasannya berhasil mengkudeta pemerintahan sah Mesir dari Mursi ketangan Jendral Assisi. Begitu juga dengan Turki, yg buat sementara masih berhasil bertahan dari upaya pelengseran presiden Erdogan oleh tangan-tangan Israel. Termasuk bagaimana Saddam Husein dijatuhkan, Moammar Khadafi dihancurkan, semua tidak lebih permainan geopolitik dan geostrategi Israel untuk mengamankan negaranya dari ancaman negara Arab. Dibawah dukungan penuh Amerika.

Artinya, setiap negara
pasti mempunyai strategi dan taktik politik untuk melanjutkan kehidupan bangsa dan negaranya kedepan. Setiap negara mesti pandai memainkan dan mengambil keuntungan dalam pergaulan internasional, regional, dan bilateral.

Seperti sekarang ini, China yang lagi bangkit menjadi raksasa baru dunia menyaingi Amerika, melakukan apa yang kita sebut dengan OBOR (One Belt One Road) yang kemudian berganti nama menjadi BRI (Belt and Road Initiative), yaitu membuka seluas luasnya jalur perdagangan dan konektivitas keseluruh penjuru dunia yang terinspirasi dari jalur perdagangan kuno nenek moyang mereka yg kita kenal bernama jalur sutera. Tujuannya apa, tidak lain dan tidak bukan untuk kembali mendirikan imperium China yang dulu pernah berjaya. China punya mimpi untuk menggantikan Amerika di tahun 2050 nantinya.

Apakah ini salah ?? Tentu bagi China tidak. Karena ini adalah sebagai bentuk geopolitik dan geostrategi negara china. Dan setiap negara sama-sama punya hak untuk memajukan bangsanya.

Jadi secara pergaulan negara lintas dunia, kompetisi untuk saling mengungguli, saling menguasai, demi kelangsungan hidup dan aktualisasi negaranya itu adalah hal biasa. Amerika yg sekarang jadi pemimpin dunia juga telah melakukan geopolitik dan geostrategi sendiri dalam visinya untuk menjadi pemimpin dunia.

Cara untuk melaksanakan geostrategi masing negara ini tentu bermacam-macam. Ada yg melalui politik, penyebaran budaya dan ideologi, infiltrasi inteligent, kedok mahasiswa undangan (gratis), sampai kedok investasi ekonomi. Bahkan membentuk pemerintahan boneka, presiden boneka yg siap mengamankan kepentingan negaranya didalam negeri negara lain.

Untuk itulah, dalam kajian perspektif dimensi pertahanan negara dikenal ada dua macam ancaman terhadap negara itu ada yg berupa ‘symetric war’ (ancaman perang fisik/invansi) dan ‘asymetric war’ (perang non-fisik).

Untuk ancaman perang fisik, kita tahu semua bentuknya. Karena tampak dan normatif menggunakan kekuatan militer. Tetapi ancaman yang tak kalah berbahaya juga itu adalah ancaman perang non-fisik ini. Yaitu berupa perang budaya, perang ideologi, perang informasi, digital, dagang, ekonomi, sampai perang intelligent. Dimana semua ini bisa menjadi potensi ancaman serius bagi sebuah negara. Bagi kedaulatan dan eksistensi sebuah negara. Karena perangnya tidak tampak, halus, tapi sangat mematikan bahkan bisa menghilangkan kedaulatan sebuah negara itu sendiri. Dan contoh seperti ini sudah banyak terjadi pada negara-negara didunia.

Termasuk semua ini bisa juga terjadi terhadap Indonesia. Karena apa, karena kekayaan sumber daya alam bangsa Indonesia ini sangat menggiurkan bagi bangsa didunia. Nusantara ini sdh terkenal sejak dahulu kalanya. Kalau tidak mana mungkin, bangsa eropah yg nun jauh disana sampai ke nusantara ini. China sejak zaman Khu Bilai Khan selalu berupaya menguasai Indonesia.

Cuma tentu geostrategi bangsa luar untuk menguasai Indonesia ini bisa bervariasi. Dan fakta sejarah juga bicara. Bagaimana Indonesia diperebutkan oleh negara negara besar dunia untuk mengeruk kekayaan alamnya. Menguasai pemerintahannya.

Dan sangat mungkin, kalau geopolitik dan geostrategi negara besar dunia juga masuk melalui infiltrasi kaderisasi secara politik kedalam tubuh pemerintahan dan sistem politik di Indonesia. Seperti Israel membentuk Jendral Assisi di negara Mesir.

Apalagi sejak orde baru tumbang. Indonesia bagaikan ayam yang kehilangan induknya. Soeharto ibarat penjaga garuda sudah tumbang, maka banyak pihak dan negara yg memperebutkannya.

Sejak itulah Indonesia menjadi negara super liberalis dari segala bidang. Dan puncaknya dapat kita lihat pada proses penyelenggaraan pemilu hari ini.

Pemilihan serentak, dan multi partai telah memakan korban jiwa dan membentuk polarisasi ditengah masyarakat yang sangat tajam. Sangat rawan, dan bisa jadi diambang perpecahan yg berdarah-darah.

Pemilu di Indonesia hari ini adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Kejahatan dan kecurangan terjadi dimana-mana. Semua aparatur terlibat, hingga pilar pilar demokrasipun runtuh bersama pergeseran norma politik yang super liberalis ini. Penyelenggaraan pemerintahannya pun seakan bebas nilai. Bebas norma, dan pasal hukum berobah jadi alat kekuasaan.

Apakah hal ini terjadi natural ? Tentu tidak. Dasarnya adalah, begitu besarnya kepentingan negara luar terhadap Indonesia, sehingga sebuah ‘invisible hand’ sangat begitu perkasanya mendikte politik kekuasaan di Indonesia.

Telah terjadi sebuah elaborasi antara kekuatan global (luar) dengan kekuatan dalam negeri yg bersatu padu untuk menguasai Indonesia secara utuh. Yaitu melalui proses pemilu yang amburadul sekarang ini, demi melanggengkan sebuah kekuasaannya di Indonesia.

Pemilu adalah sebuah proses pergantian kepemimpinan nasional. Untuk itulah melalui kepemimpinan inilah yang secara geopolitik dan geostrategi sebuah bangsa luar ingin menguasai Indonesia bisa masuk dan infiltrasi. Pintu pemilu adalah celah terbuka bangsa luar untuk menanamkan orangnya, menanamkan pengaruhnya dengan banyak pola dan dukungan politik serta finansial.

Memodali tokoh politiknya berkampanye, menyekolahkan para aparatur negaranya, membiayai program cuci otak masyarakatnya, sampai membeli para intelektual oppurtunis, para tokoh dan ormas yang kemudian mereka jadikan sebagai antek-antek pengawal kepentingannya terhadap Indonesia. Hal ini sangat mungkin terjadi dan bahkan sudah terjadi puluhan tahun. Cuma bedanya, kalau dulu mayoritas dikuasai Amerika dan sekutunya, sekarang hadir China dengan pengaruh besarnya.

Apakah hal ini bisa terjadi kepada aparatur negara ??? Kenapa tidak. Segala kemungkinan bisa terjadi. Karena dalam sejarah juga tercatat, bagaimana pasukan cakrabirawa (paspampres sekarang) berkhianat dan membunuh para komandannya sendiri, atau para mentri dan politisi ketika tragedi 30 S / PKI 1965 terjadi. Bapak Jendral Ryacudu pun sering mengatakan bahwa ada ratusan ribu inteligent asing bermain di Indonesia.

Hal ini sudah lazim terjadi dibeberapa negara lainnya. Lihatlah negeri jiran kita dengan Tun Najib Razak yang menjadi antek China yg kemudian dikalahkan Pakatan melalui pemilu oleh Mahatir Muhammad. Dua dekade yang lalu di Tahiland, bagaimana China bisa menjadikan Takhsin sebagai perdana menteri Thailand yg didalam setiap kebijakanya menguntungkan China. Banyak lagi contoh kalau mau kita sebutkan.

Wajah politik pemilu kita hari ini, sangatlah memprihatikan. Ini terjadi tak lebih dari telah terjadinya sebuah skenario besar yang mengendalikan hampir seluruh lapisan aparatur negara, media dan komponen masyarakat untuk melakukan sebuah suksesi kemenangan yang super sewenang-wenang. Dan semua ini terjadi secara terbuka terang benderang. Kita serasa hidup tidak dinegara demokrasi lagi. Dimana kejahatan menjadi raja, dapat berbuat apa saja.

Geopolitik dan geostratgi negara luar sudah sangat dalam masuk kedalam tubuh bangsa Indonesia. Bangsa yg sebelumnya sangat penurut, baik, patuh, ramah, dan toleran. Sekarang seakan dipaksa menjadi bangsa yg beringas, mudah marah, dan mudah saling benci hanya gara-gara beda pilihan. Ini sangat berbahaya kalau dibiarkan terus menerus.

KESIMPULAN.

Dari pemaparan diatas dapatlah setidaknya kita menghubungkan dengan runut, apa sebenarnya yang sedang terjadi dinegara kita. Bahwa telah terjadi sebuah agenda besar dari kekuatan global dunia untuk menguasai Indonesia secara utuh melalui infiltrasi pemilu dan pilpres. Karena sistem politik di Indonesia yang terbuka untuk itu. Dan pasti, para kekuatan global sangat paham bagaimana memainkan watak dan psikologi bangsa Indonesia. Para tokohnya, para elitnya, para intelektualnya, dan prilaku masyarakatnya.

Untuk itu, marilah sejenak pada tulisan ini, penulis mencoba menyampaikan kesimpulan beberapa hal sebagai berikut :

1. Sekarang kita tidak bisa lagi berbicara atas nama siapa dukung siapa dalam Pilpres. Karena bangsa ini sudah berada titik nadir yg sangat mengkhawatirkan. Bangsa Indonesia sudah berada di pintu perang saudara. Masing2 kubu bersikukuh merasa dirinya lah yang menang dan paling benar.

Ini semua dapat terjadi karena, ibarat pertandingan bola dan tinju, pertandingan itu berjalan tanpa wasit. Dengan mata telanjang kita melihat bagaimana terjadi sebuah ketidakadilan, penyalah gunaan wewenang (abuse of power) secara terang benderang. Kecurangan dan kejahatan pemilu terjadi dimana-mana. Sayangnya, pihak penyelenggara tidak menindak lanjutinya dengan baik dan cenderung mengedepankan arogansi yg ditopang aparat keamanan.

Ini jelas tidak boleh terjadi. Apabila ada tuntutan dari masyarakat atas sebuah dugaan kecurangan, para penyelenggara pemilu mesti menjelaskannya secara terbuka. Agar dugaan atau tuduhan itu tidak terakumulasi dan akhirnya berujung pada ketidak percayaan masyarakat.

Untuk itu kita meminta agar KPU, Bawaslu berlaku adil, jujur, transparan, dan menindak lanjuti segala bentu kecurangan yg dilaporkan salah satu kubu.

Ingat. Nasib bangsa ini kedepan ditentukan oleh fair tidak fairnya KPU dan Bawaslu hari ini. Masak sebegitu banyak terjadi kejahatan pada proses Pemilu dan Pilpres para KPU dan Bawaslu ini tetap ngeles dan tutup mata. Ini berbahaya, karena ada hak rakyat disitu. Ada kedaulatan rakyat yang sedang dirampas. Ada jutaan suara rakyat yang dikebiri. Menghilangkan suara rakyat dalam proses pemilu secara sengaja adalah pidana kejahatan.

2. Proses pemilu hari ini tidak lagi berbicara angka siapa yg menang. Tetapi bagaimana kecurangan yg terjadi dapat dihentikan, diproses dan diadili. Bagaimana kita mau bicara sebuah angka-angka suara kalau prosesnya terjadi begitu bobrok. Ini terkait mslah legitimasi rakyat.

Kita berharap KPU dan Bawaslu berlaku fair dan adil serta tegas. Ibarat bermain bola dan tinju, ketika pemainnya ketahuan memakai dopping, harus ada tindakan tegas. Ada salah satu pemainnya menggunakan besi dalam sarung tinju, permainan harus dihentikan dan pemainnya di diskualifikasi. Bahkan kalaupun itu ketahuan setelah pertandingan, gelar juaranyapun bisa dicabut. Maka kalau ini bisa dilakukan maka wibawa hukum pun akan tegak berdiri. Bukan malah sebaliknya, mencari berbagai alasan dan alibi untuk melakukan pembenaran apologistik.

Untuk itu, kita berharap KPU dan Bawaslu menjalankan wewenangnya sesuai aturan hukum yg berlaku. Ketika terjadi kecurangan atau kejahatan ya mesti ditindak. Kalau terjadi kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan total dari salah satu paslon, KPU dan Bawaslu harus berani mendiskualifikasi ats nama penegakan hukum dan keadilan.

3. Meminta dengan dengan kepada aparat keamana seperti Polri dan juga TNI. Agar menjaga netralitas secara profesional. Karena TNI-Polri adalah alat negara yang sudah disumpah setia kepada negara.

Para elit TNI-Polri jangan sesekali menyalahgunakan wewenang apalagi memberikan ancaman dan menakut-nakuti rakyat dengan senjata. Ini sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi yg dianut oleh Indonesia.

Penjara, hanya berlaku bagi para kriminal bukan pada perbedaan pendapat. Senjata hanya digunakan kepada musuh negara, bukan pada rakyat yang menuntut haknya.

Para elit TNI-Polri pada kondisi saat ini, WAJIB berdiri ditengah. Jangan jadi alat kekuasaan. Karena taruhannya adalah keutuhan bangsa ini. Kejahatan pemilu yang terjadi hari ini sudah terang benderang. Wajar rakyat menuntut haknya. Karena konstitusi tertinggi dinegara ini adalah ‘kedaulatan rakyat’. Karena MPR sebagai mandataris Presiden (lembaga tertinggi negara) sudah dihapuskan.

Ketika terjadi kebuntuan dalam proses demokrasi, rakyat sah dan konstitusional turun kejalan. Ketika hukum tidak berjalan, pemerintahan berkhianat pada rakyat, maka rakyat mempunyai ‘hak’ untuk bertindak.

4. Kejahatan pada proses demokrasi adalah kejahatan pada negara. Dan pelakunya adalah musuh negara. Siapapun, apapun pangkat dan jabatannya. Walau presiden sekalipun. Karena negara adalah milik rakyat, bukan yang menjabat. Sekali berkhianat, maka rakyat yang berdaulat untuk mencabut mandat.

5. Tanggal 22 mei ini adalah penentuan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Teriakan ‘people power’ sudah menggema dimana-mana. Ancaman tembak mati dari Kapolri sudah lagi dipeduli.

Akhirnya apa yang paling penulis takutkan itu berpotensi terjadi. Yaitu, rakyat turun kejalan menuntut keadilan. Sebagaimana yg terjadi pada tahun 1998. Ironisnya, reformasi yang kita nikmati hari ini adalah buah dari apa yg disebut ‘people power’ itu. Namun anehnya, justru people power itu diterjemahkan sebagai bentuk dari makar oleh rezim sekarang ini. Ini jelas adalah satu bentuk nyata dari sebuah kemunduran bagi bangsa Indonesia. Kita seakan ditarik kembali jauh kebelakang hidup dizaman otoritanism dan kediktatoran yg telah kuno menjijikkan.

Dan penulis menganalisis, bahwa yg terjadi pada negeri ini saat ini adalah bahagian dari skenario global untuk menjerumuskan Indonesia kepada perang saudara. Ini tidak bisa main-main. Ini sangat berbahaya dan tidak bisa dianggap remeh. Pendekatan kekuasaan tidak akan bisa menyelesaikan ini.

Ada semacam skenario licik yang sengaja membuat perimbangan (balance of power) dari polarisasi mayarakat agar mudah dibenturkan dan disulut konflik.

Menenangkan salah satu paslon melalui kejahatan/kecurangan, dengan sistem pemilu yg sangat rapuh, dimana paslon yg dikalahkan secara quantity sangat besar melebihi paslon yg dimenangkan, tetapi paslon yg dimenangkan mempunyai ‘tools’ kekuasaan yang setiap saat bisa dia gunakan.

Secara theory balance of power, ini adalah satu titik yang sangat ideal untuk dibenturkan. Dimana masing kubu merasa diri punya power kekuatan untuk saling menghabisi satu sama lain dengan rasa kebencian yg mendalam. Ini very-very dangerous !

6. Meminta semua pihak, untuk kembali berpikir jernih. Berpikir bijaksana, memandang jauh kedepan. Apakah dengan semudah dan semurah itu mengorbankan masa depan bangsa ini demi kekuasaan ??? Tidak adakah rasa persaudaraan itu lagi ?? Sudah hilang begitu saja bahwa kita semua ini adalah satu bangsa, satu nasib, dan satu cita-cita ???

Pada kesempatan ini, penulis secara khusus menghimbau pihak TNI sebagai benteng terakhir negara ini untuk segera turun berdiri ditengah. Hanya TNI sekarang ini pihak yg masih dipercaya rakyat untuk menjadi penengah. Agar perang saudara ini tidak terjadi.

7. Permasalahan inti proses demokrasi sekarang ini adalah murni masalah ketidak adilan, kejahatan, dan perebutan kekuasaan antara proxy kekuatan global.

Stop ungkapan yg menyeret-nyeret masalah SARA kedalam konflik ini. Tidak ada lagi masalah agama, suku, di Indonesia. Semua sudah final. Pancasila sebagai dasar negara, dan NKRI harga mati.

Jangan lagi provokasi msyarakat dgn isu agama dan kebencian berbasis SARA.

Semoga berkah Ramadhan ini, menjadikan kita semua dapat menemukan kebuntuan politik ini dengan bijaksana, dan Allah menurunkan petunjuk dan hidyahnya kepada kita semua. Aammiinn Ya Rabb.

Jakarta, 15 Mei 2019.

(Penulisa adalah Alumni PPRA LVIII Lemahannas RI Tahun 2018).

Isi artikel tanggung jawab penulisnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *