Artikel

ANTARA SI NONOY DAN OM WIR (Oleh : Anton Permana)

Dua nama ini yang paling banyak disebut dan dibicarakan jagad dunia maya dalam satu minggu ini. Dua nama yang secara strata sosial seakan tidak terhubung, namun secara garis sosial sebenarnya sangat mudah dipetakan dan dihubungkan.

Si Nonoy viral dengan video muka lebamnya plus pengakuan atas segala dosa dan kesalahannya menjadi buzzer dan hatter (pembenci) yang bekerja pada penguasa. Namun setelah lepas, tiba-tiba berbalik dengan laporan “ heroik “ seakan jadi korban penculikan dan penganiayaan oleh pengurus masjid dan kelompok 212. Sampai akhirnya 7 orang dijadikan tersangka. Alias air susu di balas air tuba plus racun sianida Jessica.

Belum hilang isu ini di goreng media, muncul lagi video viral penusukan kepada Om Wir tapi bukan “diserang” ya tapi di Padeglang. Yang di lakukan oleh suami istri pakai gunting. Catat ya pakai gunting. Bukan pakai revolver, magnum, glock, atau bom TNT kayak film Valkirie. Langsung juga berita viral dimana-mana. Dalam hitungan menit dan jam, aparat langsung dengan jernih, lugas memaparkan siapa pelaku, motif, modus, sasaran, target dan tujuannya clear and super clear tertata runut dan rapi di jelaskan. Tak sampai 24 jam. Sungguh jauh berbeda dengan kasus Novel Naswedan yang sampai sekarang ‘tak jelas’ siapa pelakunya.

Dari dua berita opini di atas. Semerta-merta mendapat respon beragam dari netizen. Peta komentarnya adalah, 90 persen boleh dikatakan menghujat dan anggap semua itu rekayasa dan tipu daya kelompok penguasa. Tapi di sisi lain sebagai penyeimbang, para media mainstream dan portal-portal on line menyiarkan berita ini dalam versi yang sama, narasi yang sama secara gegap gempita.

Yang menjadi catatan penting bagi penulis itu adalah, yang menggoreng isu ini dominan oleh portal media dan TV. Kemana para buzzer ? Yang biasanya riuh dan ramai ? Masih ada yg gerak tapi tidak seramai biasa. Setelah penulis telusuri, ternyata mereka lagi banyak yang ngambek. Alias tiarap. Karena sudah tahu tak akan di pakai lagi. Karena dianggap kepala KSP pak Moeldoko banyak merugikan istana. Di tambah dengan hasil penelitian dan riset Universitas Oxford yang membongkar praktik buzzer ini dalam mengendalikan opini media.

Terlepas dari itu semua, penulis mencoba menganalisis dan merangkum apa sebenarnya yang sedang dimainkan dari dua insiden kasus di atas. Yang boleh di katakan motif dan tujuannya serupa tapi tak sama. Yaitu sebagai berikut :

1. Walaupun dua insiden ini ‘aktor’ yang jadi korbannya di setting dua orang yg berbeda (satu buzzer satu lagi pejabat teras istana), namun sasaran dan tujuannya adalah sama. Yaitu kelompok Islam, simbol Islam yang selalu dijadikan sasaran utama. Dalam kasus nonoy para pengurus masjid dan pentolan kelompok 212 Ustad Bernard, yang satu lagi di kaitkan dengan ISIS, JAD, dan seterusnya.

2. Ujung dari isu tersebut juga sama yaitu tentang narasi radikalisme, kekerasan, penganiayan yang ditujukan kepada kelompok Islam. Apa maksud dan tujuannya tentu tidak lebih dari narasi agenda Islamphobia (kebencian terhadap Islam) oleh kelompok ideologis musuh Islam dan kelompok opportunis yang menjadi budaknya.

3. Sebagai warga negara yang baik, kita semua tentu menolak segala bentuk kekerasan dan penganiayaan. Namun, dalam penindakan hukum kita tentu juga berharap tidak ada diskriminasi penegakan hukum. Ketika yang berbuat itu adalah kelompok yang bersebrangan dengan penguasa maka akan ditindak setegas-tegasnya. Tetapi kalau yang jadi korban adalah kelompok pendukung penguasa maka akan aman dan dilindungi. Banyak fakta dan data akan hal ini.

4. Ada yang menganggap hal ini khususnya insiden penusukan Om Wir adalah rekayasa untuk tujuan tertentu. Tapi penulis tidak mau sepihak menilainya. Setidaknya penulis memetakan hal ini kedalam tiga kelompok analisa yaitu. Pertama, kalau kejadian ini murni. Maka kita meminta aparat penegak hukum membongkar semua modus, motif secara terbuka menggunakan prosedur hukum. Bukan cuap-cuap cipta kondisi opini sepihak. Kalau kejadian ini murni penusukan, penulis menyampaikan bahwa aparat penegak hukum negara kita adalah aparat terbaik dan terhebat di atas dunia ini. Khususnya lembaga inteligen. Lembaga inteligent dunia seperti CIA, KGB, M16, bahkan Mossad Israel wajib dan harus belajar ke negara kita. Karena hanya dalam hitungan detik dan menit, aparat bisa langsung membongkar motif, modus, sasaran, tujuan, pelaku, semua komplit dan rapi. Jelas, lugas dan tegas. Ini sangat luar biasa hebatnya aparat kita. Apalagi kalau kehebatan ini juga di gunakan untuk bongkar kasus penganiayaan novel baswedan, memburu koruptor BLBI, dan para penganiaya mahasiswa dan ratusan petugas KPU pada Pilpres yang lalu.

Kedua, ada dugaan insiden ini direkayasa untuk tujuan tertentu. Khususnya menjelang pelantikan. Karena sudah rahasia umum, Om Wir tidak masuk lagi dalam jajaran kursi kabinet. Dan Om Wir merasa ditinggalkan so pasti kayak ABG kalau tak mau ditinggalkan ya buat sensasi cari perhatian. Ya mirip sinetron begitulah. Kan Om Wir sudah memperlihatkan dedikasi dan loyalitasnya selama ini dalam menjaga dan mengawal Istana.

Namun penulis berharap hal ini tidak benar hanya bentuk kekesalan publik netizen saja. Karena sudah terlalu jenuh melihat berbagai macam dagelan tipu daya penguasa. Ketiga, bisa jadi insiden ini dimainkan oleh pihak ke tiga dengan motif dan tujuan tertentu. Karena sudah lzim dalam sistem inteligent negara, ada infiltrasi, penyusupan atau ‘invisible hand’ ibarat di dalam rumah ada rumah, di dalam sebuah institusi ada sel-sel inteligent yang bergerak dikendalikan di luar institusi. Bisa saja insident ini untuk menciptakan suasana teror, instabilitas, sehingga aparat perlu meningkatkan kesiap siagaan dan bisa melakukan tindakan preventif.

5. Dari gerak dan pola prmberitaan yang begitu dibuat booming dan viral. Penulis melihat ada upaya dari satu kelompok agar dua indident ini dapat menutup, mengalihkan, bahkan membungkam isu kekerasan, penganiayan aparat selama penanganan demonstrasi kemaren. Serta tindakan anarkis dan radikalisme oleh orang papua kepada muslim perantau di Papua.

Karena stigma atau framing jahat yang di lakukan selama ini kepada Islam tentang radikalisme, anarkisme, sadisme, anti NKRI, anti demokrasi dan intoleransi semua termentahkan sudah pasca kejadian rusuh 21-23 mei, genosida orang asli Papua kepada muslim perantau Papua, dan aksi brutal aparat kepada demo mahasiswa serta pelajar kemaren.

Stigma dan fitnah (framing) ini luluh lantak dan malah jadi bumerang bagi pemerintah. Karena ternyata stigma kekerasan dan kejahatan yang selama ini di tuduhkan pada kelompok Islam di lakukan total oleh kelompok di luar Islam. Dan parahnya lagi, justru kelompok Islam yang jadi korbannya.

Kemarahaan netizen dan masyarakat ini menjadi momok dan citra buruk bagi pemerintahan hari ini. Sebuah pemerintahan yang identik dengan darah serta kekerasan kepada rakyatnya sendiri khususnya ummat Islam yang mayoritas. Dan untuk mengcover fakta kejadian ini, maka antah sengaja atau tidak sengaja dua insiden ini terjadi. So kita bisa melihat sendiri dari tayangan media mainstream, portal online dan para buzzer penguasa menggoreng dua isu dari dua insident ini sedemikian rupa untuk membalik keadaan, membiaskan persoalan, merubah opini bahwa penguasa dan kelompoknya jadi korban. Segala bentuk yang berbau kekerasan, penganiayaan, radikalisme yang mereka lakukan seakan mau dilemparkan balik kepada kelompok Islam melalui kekuasaan yang dimiliki rezim ini.

Namun sayang, rakyat hari ini sudah terlanjur cerdas membaca semua ini. Kecepatan informasi di sosial media dengan mudah mematahkan itu semua. Ditambah lagi masih banyak ‘oknum’ aparat yang merah putih sesuai ilmu dan kepakarannya yang berbagi ilmu dan informasi membongkar, membedah dua insident ini kepada publik. Baik secara terbuka maupun secara anonim.

Penulis sepakat dengan statemen yang dilakukan PBNU tadi malam, bahwa jangan kaitkan setiap radikalisme dengan Islam. Ini sangat menyakitkan hati ummat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini.

Disinilah penulis melihat, dan mengingatkan kita semua terhadap upaya agenda Islamphobia yang semakin gencar di negara ini. Tidak hanya agenda Islamphobi tapi juga adu domba sesama anak bangsa. Sesama ummat beragama, dan juga rakyat dengan aparat. Semua seolah ada yang ingin membenturkan satu sama lain. Rakyat benci terhadap penguasa, sebaliknya penguasa benci dan alergi rakyatnya sendiri.

Upaya adu domba dan Islamphobia ini penulis lihat jadi komoditas utama dalam instrumen mengambil hati penguasa bagi kelompok opportunis. Ini sangat berbahaya bagi instabilitas dan keharmonisan bangsa.

Untuk itu penulis berharap stop dan hentikan upaya jahat ini. Terima fakta Islam sebagai pemeluk agama mayoritas di negeri ini. Konstitusi kita sudah menjamin ini semua. Jangan jadikan rakyat dan keharmonisan bangsa ini menjadi komoditas politik ibarat teori pedang dan perisai. Di satu sisi konflik diciptakan, di satu sisi bertugas sebagai penjaga keamanan negara. Carilah penghiduoan dan prestasi dari cara yang baik dan terhormat. Masyarakat sudah cerdas dan pintar.

Kontestasi Pilpres sudah usai. Tak ada lagi kompetisi. Silahkan lantik presiden kapanpun juga. Jangan buat lagi opini ada upaya penggagalan pelantikanlah dari kelompok radikal. Bullshit itu semua. Kasihan kita rakyat. Kasihan kita aparat yang selalu dibenturkan dengan rakyat. Kasihan kita aparat yang jadi ssaran kebencian dan kemarahan rakyat. Padahal itu semua hanya permainan oknum elit politisi dan elit kapitalis yang mengambil keuntungan (peran) di dalam setiap kekisruhan ini.

Sejatinya, rakyat Indonesia itu adalah masyarakat yang baik, penurut dan ramah. Tapi semua saat ini di rusak dan di obok-obok oleh tangan jahat. Naudzubillah..

Mari kita serukan kepada semua pihak dan lapisan di negeri ini. Agar menahan diri dan objektive. Tidak mudah terprovokasi dan tetap utamakan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang kita cintai ini. NKRI harga mati. InsyaAllah.

Jakarta, 11 Oktober 2019.

(Penulis adalah pengamat sosial dan pertahanan tinggal di Jakarta dan Direktur Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia).

Isi artikel menjadi tanggung jawab penulisnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *