Artikel

MENATAP INDONESIA 2020 ; REFORMASI HARI INI SOLUSI ATAU ILUSI ??

Oleh : Anton Permana.

Tak sengaja penulis mendapat kiriman video alm Pak Harto yang berbicara tentang prediksi ancaman terhadap Indonesia di tahun 2020. Tentang serbuan produk-produk asing yang bisa meluluh lantakkan produk lokal Indonesia, karena barang import lebih murah harganya. Kondisi ini akan mengancam ekonomi nasional karena apabila masyarakat Indonesia, anak muda Indonesia lebih memilih membeli produk barang import yg lebih murah, ini sama saja menghancurkan pabrik- pabrik dalam negeri. Karena tak ada lagi yang belanja produksi dalam negeri. Kalau pabrik tutup tentu akan ada PHK. Kalau sudah PHK akibatnya muncul pengangguran.

Dalam video singkat tersebut Pak Harto sudah memberikan pesan bagaimana pentingnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia, untuk memproteksi/melindungi produk dalam negeri. Dan hal ini disampaikan beliau 25 tahun yang lalu. Dan ternyata prediksi beliau akurat.

Kita lihat sendiri bagaimana produk luar negeri (barang import) mempelasah produk dalam negeri. Baik itu fashion, makanan, buah buahan, hasil pertanian, dan perangkat elektronik hampir 90 persen bangsa ini bergantung (candu) pada barang import. Ditambah lagi dengan berkembangnya sistem belanja on line dan unicorn. Puluhan trilyun uang masyarakat Indonesia disedot keluar negeri. Miris kita melihatnya.

Namun apakah kita akan terus meratapi dan sibuk mencari ini kesalahan siapa ? Dosa siapa ? Sampai lebaran tokek pun kalau ini yang kita korek tak akan ada habisnya. Karena, permasalahan kita hari ini adalah bagian dari ‘korban’ skenario global yang sudah dirancang sejak negara ini ada. Konsep nation state (negara bangsa) ini dibentuk.

Bagaimana selanjutnya ? Mari kita telusuri dan bahas bersama dalam tulisan singkat ini. Apakah reformasi yg kita agungkan pada tahun 1998 yg lalu dengan ‘memaksa’ Pak Harto (orde baru) lengser keprabon, itu adalah solusi atau ilusi ??

1. Ada beberapa isu besar yang membuat bangsa ini bergerak serentak meneriakkan reformasi kepada Soeharto di masa orde baru. Walaupun penulis yakin, mereka yg teriak reformasi di jalanan itu sendiri entah tahu entah tidak apa itu makna reformasi.

Namun yg jelas, beberapa isu besar yang di propagandakan ketika aksi 98 itu adalah tentang KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Serta isu sentimentil kedaulatan sumber kekayaan alam yang dikontrol penuh oleh group Cendana. Ada juga isu kebebasan berpendapat yang disuarakan agar rakyat bebas menyampaikan aspirasi di media. Dan terakhir adalah tentang sistem pemerintahan yang sentralistik di pulau Jawa sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan kecemburuan dari daerah.

Setidaknya lima hal tersebut di ataslah yang menjadi isu besar bergulirnya reformasi 98.

Nah sekarang mari kita jawab dan saksikan satu persatu. Pertama tentang isu KKN oleh group Cendana dan kroninya. Apakah KKN hari ini sudah hilang ? Apakah KKN hari ini yang terjadi sudah bisa dihapuskan ??

Faktanya, berbagai kasus mega korupsi melanda hampir setiap pemimpin negara ini pasca reformasi. Gus Dur dengan kasus Bulog Gate nya. Megawati dengan VLCC dan BLBI nya. SBY dengan kasus E-KTP dan Centurynya. Dan hari ini Jokowi dengan beragam kasus yang lebih parah lagi sejak beliau jadi Gubernur Jakarta. Apakah itu tentang Bus Trans Jakarta, pembangunan infrastruktur yang menyalahi UU ratusan trilyunan dan terakhir mega korupsi Jiwasraya yang merugikan negara 13,7 Trilyun.

Belum lagi ratusan bahkan ribuan kasus mulai dari pusat dan daerah. Mulai dari pejabat tinggi negara sampai ke kepala desa. Mulai dari menteri sampai guru sekolah. Seolah tak ada satu organ pemerintahanpun yang selamat dari virus korupsi.

Lalu kita bicara kolusi dan nepotisme. Kalau dulu Mbak Titik Soeharto baru 22 tahun Pak Harto menjabat beliau menjadikan anaknya menteri. Hari ini kita saksikan Puan Maharani ketika pemerintahan Jokowi-JK, dalam hitungan hari ditunjuk jadi Menteri.

Sekarang lihat wajah DPR RI, kepala daerah, bahkan kalangan Istana sendiri. Semua berlomba/lomba mulai dari anak, istri, ponakan, mertua, menantu, besan, adik-kakak untuk menempati posisi dan jabatan tertentu. Tanpa memandang kompetensi apalagi kapasitas. Contoh konkritnya lagi adalah tentang putera Jokowi yang maju di Pilkada Solo dan menantunya di Pilkada Medan.

Kedua. Tentang isu kedaulatan sumber daya alam. Kalau dulu zaman orde baru kita tuding dengan istilah antek Amerika. Hari ini, kita lihat sendiri 90 persen sumber kekayaan alam kita dikuasai asing dan aseng. Masih mending zaman orde baru ada kewajiban pelibatan BUMN dalam negeri dan mempekerjakan tenaga kerja lokal. Sekarang lihatlah. Mulai dari material, peralatan, bahkan tenaga kerja kasarnya semua dari luar. Atau istilahnya ‘turn key project’.

Bukan dalam maksud membela Pak Harto, kalaulah tudingan beliau sebagai antek Amerika itu betul, mana mungkin Indonesia menolak dengan tegas ketika Amerika mau membangun pangkalan militer di Natuna. Mana mau Indonesia didikte tentang kasus Bosnia dan Kamboja. Buktinya, Indonesia tampil dengan wibawa tanpa mau diintervensi Amerika. Beda kalau hal itu terkait kerjasama perdagangan dan lainnya.

Beda dengan hari ini. Indonesia bagaikan ‘punah’ dalam percaturan politik global. Mulai dari kasus Uyghur, Rohingya, Suriah, Indonesia boleh dikatakan gagap dan tiarap.

Ketiga, tentang kebebasan berpendapat. Ini lebih parah lagi. Hari ini apapun masalah yang bertentangan dengan pemerintah langsung dijerat dgn UU ITE. Sudah ribuan korban berjatuhan dan di penjara. Masalah HAM juga buruk. Kematian 700 petugas KPU didiamkan. Puluhan nyawa dibantai ketika rusuh 21-23 Mei pun pemerintah tutup mata. Pembantaian dan pembakaran di Wamena juga dipeti-eskan.

Artinya, kebebasan berpendapat yg digaungkan pada era awal reformasi sekarang sirna sudah. Sempat bangsa ini mendapatkan suasana kebebasan berdemokrasi itu pada zaman pemerintahan SBY dan Gus Dur. Namun hari ini semua seakan balik jauh kebelakang dan lebih parah lagi.

Diskriminasi hukum bertambah parah. Kalau kelompok yang bersalah itu pro pemerintah maka akan aman dan dilindungi. Akan berbeda kalau kelompok itu berseberangan dgn pemerintah. Tak ada kesalahanpun bisa dibuatkan kesalahannya. Dan banyak kasus nyata atas diskriminasi hukum ini dipertontonkan hari ini.

Keempat, tentang sentralistik pemerintahan sehingga menimbulkan ketimpangan. Di awal reformasi dengan semangat otonomi daerah Ketimpangan itu mulai sedikit dikurangi dengan bergeliatnya pembangunan di daerah. Namun efek negatifnya adalah, otonomi daerah menimbulkan masalah batu yaitu melahirkan raja-raja kecil di daerah yang akhirnya juga menimbulkan ketimpangan baru. Makanya tak heran banyak para pejabat daerah yang akhirnya juga teejerat kasus korupsi.

Akhirnya pemerintahan pusat menurut penulis memanfaatkan momen ini untuk kembali menggeser power otonomi daerah ini kepada pusat. Contohnya adalah ; Dalam UU no 22 tahun 1999 bahasa yang digunakan masih otonomi daerah dalam prinsip ‘sharing of power’ (pelimpahan kekuasaan/pembagian kekuasaan) dari pusat ke daerah.

Selanjutnya mari kita lihat dalam UU nomor 32 tahun 2004. Terminologi yang digunakan digeser menjadi “ Pelimpahan kewenangan “ atau disebut ‘sharing of authority’. Kekuasaan otonomi mulai ditarik perlahan satu persatu dan menggantinya dengan kewenangan.

Selanjutnya mari kita lihat hari ini dalam UU no 23 tahun 2014. Terminologi yang digunakan adalah “ Pelimpahan urusan pemerintahan “. Artinya kewenangan di daerah saat ini hanya bersifat administratif semata. Ditambah lagi dengan di keluarkannya PP no 19 tahun 2015 yang merepresentasikan Gubernur sebagai perpanjangan pemerintahan pusat di daerah untuk mengkoordinir dan mengontrol daerah.

Nahh kalau kita jujur, saat ini otonomi daerah itu sekarang secara prinsip ilmu pemerintahan (desentralisasi asimetris) sudah tidak ada lagi. Semua sudah dikontrol pusat melalui perangkat hukum, aparat hukum (Polri-Jaksa-BPK), dan sistem perizinan dan keuangan dgn kementrian terkait. Cuma semua itu ditutupi dengan semangat ephoria Pilkada langsung semata sebagai bentuk atau symbol bahwa otonomi daerah itu masih ada.

Dari pemaparan singkat di atas, mari kita jujur dan jernih menilai. Apakah reformasi itu solusi atau hanya ilusi ??? Untuk itulah penulis sepakat dengan pernyataan PM Malaysia Tun Sri Mahatir Muhammad yang mengatakan, “ Siapa bilang di Indonesia itu terjadi reformasi. Yang terjadi di Indonesia itu adalah penggantian kekuasaan secara paksa dengan baju reformasi “.

Pernyataan ini sangat berkorelasi dengan kondisi kita hari ini. Lihatlah sekarang, yang berkuasa dan bercokol di tampuk kekuasaan semua adalah para aktor yang dulu terdepan ketika reformasi. Dan hasil reformasi itu sendiri bagaimana ?? Semua kita bebas untuk menjawabnya sesuai dengan kapasitas dan pemahamannya masing-masing.

Dalam hal ini tentu kita semua tidak bisa naif dan kacamata kuda memberikan penilaian. Tetapi kita bisa samakan standar manfaat dan mudharatnya bagi bangsa yang kita cintai hari ini.

KESIMPULAN

Untuk itulah penulis sengaja di awal tahun baru ini mengajak kita semua merenung dan berpikir jernih bagaimana arah bangsa ini kedepan. Sudah cukup panjang sejarah bangsa ini dikoyak-koyak permusuhan sesama anak bangsa.

Dan pada kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan beberapa kesimpulan dari perjalanan kehidupan bangsa ini pasca reformasi sebagai berikut :

1. Kita harus sadar. Musuh utama bangsa kita hari ini adalah kombinasi dari neo kolonialisme (penjajahan gaya baru) oleh dua kekuatan besar dunia yaitu ; China dengan konsep komunis-sosialisnya. Dan barat dengan pola liberalisme-kapitalismenya.

Dua kekuatan neo kolonialisme inilah yang saat ini mengepung bangsa kita dari segala penjuru. Hampir dari segala lini kehidupan. Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Hankam.

Jadi bukan isu agama, radikalisme atau khilafah. Justru isu ini dijadikan dua kekuatan besar itu untuk memecah belah bangsa kita. Mengadu domba sesama anak bangsa kita. Agar energi kita terkuras habis dan menjauhkan kita semua dari titik episentrum permasalahan utama yaitu ; penjajahan gaya baru oleh China dan Amerika Cs.

Bagaimana cara mereka mengepung dan menjajah kita ? Dengan pintu reformasi mereka masuk menginfiltrasi tatanan sendi pengelolaan negara kita agar menjadi super liberalis di segala bidang. Kemudian menciptakan demokrasi liberal agar mereka bisa merekayasa para ‘proxy’ bonekanya untuk duduk di jabatan penting pemerintahan. Sehingga dengan leluasa mereka bisa mensetting regulasi dan kebijakan pemerintah sesuai kepentingan negaranya

Ditengah jalan, masuklah pembonceng gelap reformasi bernama Tiongkok. Barat (Amerika Cs) yang terporsir berperang dengan dunia Arab akhirnya lengah dengan kebangkitan China. Yang akhirnya saat ini China telah menjelma menjadi raksasa baru dunia setelah Amerika

2. Perlu perbaikan sistem politik negara Indonesia. Karena, yang tercipta dari reformasi dan liberalisne hari ini adalah kekuasaan segitiga antara ; Pemerintah-Pengusaha-Aparat. Dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa ini kedepan. Karena akan tercipta oligarki politik yang bisa mengarah kepada rezim diktator/otoritarian gaya baru.

Pemerintah sebagai aktor pemerintahan, yang disponsori oleh para taipan (mafia/pengusaha), serta dikawal dan diback up penuh oleh aparat penegak hukum.

Pengusaha dengan peran sponsor uang dan penguasaan opini melalui media, aparat membacking penindakan hukum, pemerintah sebagai regulator. Akhirnya rakyat juga yang menjadi korban. Karena segitiga kekuasaan ini tak lagi mengenal norma verbal hukum apalagi Pancasila

3. Sebagai langkah awal tidak ada sebaik rakyat begerak untuk mendesak pemerintah dan para oligarki partai politik hari ini untuk kembali kepada UUD 1945. Kembalikan keberadaan lembaga tertinggi MPR sebagai mandataris Presiden. Kembalikan GBHN agar memutus diktatorian sistem presidensial. Kembalikan Repelita dan pemurnian adopsi nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara. Rombak komposisi keamggotaan DPR/MPR agar tidak dikuasai penuh oleh kekuasaan rezim/kontrol partai politik. Karena partai politik di Indonesia hanya berperan sebagai alat kekuasaan, bukan kendaraan ideologis penampung asrpirasu rakyat.

Kembalikan komposisi MPR sesuai anatomi bangsa Indonesia yg terdiri dari pada ; Ulama, tokoh agama, pejuang, TNI-Polri, Raja Raja Nusantara, serta para insinyur dan ahli di bidangnya. Agar ada sinergitas seimbang sistem politik negara hari ini yg telah di rusak prilaku pragmatisme partai politik.

Saat ini kehidupan bernegara kita sudah sangat jauh dari nilai Pancasila. Bangsa kita hari ini sudah menjadi sangat super liberal dan sebentar lagi akan menjadi negara new otoritarian dalam bungkus ‘populis otoritarian’.

Demokrasi dan Pancasila hari ini hanya retorika abstrak topeng pemerintahan hari ini. Dan semua sandiwara ini mesti dihentikan.

4. Sudah saatnya rakyat Indonesia bersatu membangun masyarakat civil society. Stop caci maki antar sesama. Ingatlah, bahwa itu semua adalah konflik konflik yang sengaja diciptakan untuk memecah belah persatuan sesama anak bangsa. Cara adu domba ini sudah lazim dilakukan oleh kekuatan global dunia untuk melemahkan bangsa dunia ketiga

Mari kita kembali kepada budaya asli bangsa kita. Yaitu welas asih, saling menghormati, saling tolong menolong dan saling menasihati dan gotong royong.

Membangun masyarakat Civil Society dengan membangun ukuwah kebersamaan di segala bidang, adalah langkah awal untuk membangun social power masyarakat untuk kemudian menjadi kekuatan social politic. Agar kedepan rakyat mempunyai posisi tawar yang kuat dihadapan pemerintahan yang sudah mulai tak jelas dan lari dari amanat konstitusi. InsyaAllah.

Batam, 03 Januari 2020

(Penulis adalah Direktur Eksekutif Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia dan Alumni PPRA 58 Lemhannas RI tahun 2018)

*) Semua isi dari artikel ini tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *