Cerpen: BERINGIN TUA DI SEBERANG JENDELA ( By Mande Hanifah)
Aku selalu kagum pada beringin tua yang tumbuh di sebelah rumah. Selain batangnya yang besar, daun-daun yang rimbun serta akarnya yang berjuntai tampak pongah ketika jendela kubuka. Ia tumbuh persis di sebelah kamarku. Hanya ada pagar setinggi pinggang orang dewasa yang membatasi rumah dengan lahan kosong tempat beringin tua itu tumbuh. Dari kamarku yang terletak di lantai dua, aku bisa melihat cabang dan rantingnya bergoyang tertiup angin. Bila malam, cahaya remang yang menimpa pohon itu membentuk bayangan-bayangan menakutkan di dinding kamarku.
Beberapa orang menyesalkan keputusanku untuk menyewa rumah ini. Mereka bilang, rumah ini terkenal angker karena beringin tua itu ada penunggunya. Kata Tek Las–asisten rumah tanggaku–tak ada orang yang betah tinggal berlama-lama, rata-rata mereka pindah sebelum berakhir masa sewa. Tek Las paham betul, karena ia lahir dan dibesarkan di desa ini. Lahan kosong tempat beringin itu tumbuh juga milik kerabatnya. Katanya lahan itu mau dijual, tapi sampai sekarang belum ada penawaran karena gosip angker yang sudah menyebar ke mana-mana.
Bagiku yang tak terlalu percaya hantu, rumah ini cukup menjanjikan untuk usaha laundry yang sedang kujalani. Selain ada kedai kosong di depannya, halaman rumah ini juga luas, hingga tak menyulitkan orang-orang untuk memarkir kendaraan. Yang paling penting, di desa ini aku bisa melupakan sejenak rasa sakit dikhianati calon suami.
Memilih membuka usaha di pusat kecamatan bukanlah hal yang mudah untuk kuputuskan. Selain aku biasa di kota, desa ini juga lumayan sepi. Hanya ada satu kampus yang membuka beberapa kelas jauh di sini. Salah satu peluang yang bagiku cukup menjanjikan.
“Penunggunya itu kunti, Mi,” mulai Tek Las ketika beberapa saat lalu kuminta menceritakan tentang beringin tua.
“Emangnya Etek pernah lihat, apa?”
“Ya belum. Tapi adikku pernah, Mi. Wih pokoknya wajahnya serem. Udah gitu bajunya menjuntai menyapu-nyapu tanah,” lanjut Tek Las sambil terus menyeterika.
“Tapi selama di sini saya belum pernah mengalami hal-hal aneh, Tek.”
“Ya, semoga saja tidak, Mia. Katanya kunti ga mau mengganggu orang baik.” Tek Las terkekeh di akhir kalimatnya.
**Mande_Hanifah**
Malam mulai merambat ketika Tek Las pamit untuk pulang ke rumahnya. Apak Tek Las sakit gigi, jadi wanita kurus itu pergi mengantarkan obat sekalian bermalam. Sudah lama ia tak pulang, rasanya terlalu berlebihan jika aku tak memberi izin meski harus sendirian malam ini.
Hujan sudah berhenti. Hanya bekasnya yang meninggalkan genangan di pinggir jalan. Salah satu kelemahan tinggal di desa adalah listrik yang tiba-tiba padam ketika turun hujan. Lalu jalanan akan sepi karena orang-orang enggan keluar rumah.
Aku berniat menutup pintu laundry ketika kulirik jarum jam menunjukkan pukul setengah sepuluh. Pelanggan yang berjanji akan menjemput baju-baju yang telah selesai, belum menampakkan batang hidung. Sepertinya mereka batal datang sehingga kuputuskan untuk menutup toko.
Ada aroma berbeda yang terhidu ketika tanganku sibuk mencari kunci di laci meja. Biasanya kunci itu terpasang di gembok yang tergantung di rolling door. Mungkin Tek Las tak sengaja mencabutnya. Aroma itu serupa ikan busuk. Makin lama semakin pekat. Pohon-pohon yang berjejer di depan laundry bergoyang kencang tertiup angin. Hampir saja lilinku mati karenanya.
Ada hawa dingin menyapu tangan, kemudian pindah ke tengkuk, membuatku sedikit bergidik. Rasanya aku tak sepenakut ini. Akan tetapi, cerita-cerita Tek Las sedikit mempengaruhi. Kisah penunggu beringin tua itu tiba-tiba saja bergelantungan dalam kepala, membuatku ngeri.
Dua menit berlalu, akhirnya kunci itu ketemu. Dia terselip di antara nota bon yang terletak di bagian dalam laci meja. Aku menarik napas lega sebelum akhirnya kunci itu terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai. Aku harus berjongkok untuk mengambilnya.
Bayangan cahaya lilin yang bergoyang-goyang tampak jelas di dinding. Mataku juga menangkap siluet seseorang tengah berdiri tak jauh dari meja. Dari kolong meja, aku tak dapat melihat wajahnya. Hanya bagian pinggang ke bawah yang berbalut dengan kain putih serupa jubah. Rambutnya yang hitam legam tampak kontras dengan kain yang sedikit berlumpur. Bau ikan busuk semakin terasa.
Aku menahan napas ketika terdengar suara ketukan jemari pada meja. Rasanya sekujur tubuhku dipasak ke tanah. Aku tak berani berdiri dan tetap pada posisi semula. Kedua pergelangan tangan kutautkan, sekadar menghimpun kekuatan sambil merapal beberapa doa.
Sesaat hening, aku tetap berjongkok dan memicingkan mata. Tak salah lagi, itu benar-benar dia. Penunggu pohon beringin tua yang Tek Las katakan. Tanganku yang gemetar mencoba meraih sapu yang tergeletak di kolong meja. Berharap benda itu bisa menakut-nakutinya.
“Jangan pukul, Uni. Saya cuma mau nge-laundry. Lihat nih baju saya kotor semua kena lumpur,” katanya sambil menggoyang-goyang kain putihnya yang memang penuh cipratan tanah basah.
Astaga, dasar kunti sialan.
Baca juga;